"Elo?!"
Langit terkejut. Kenapa gadis ini bisa berada di rumahnya?
Aya hanya diam. Ia melihat kearah halaman rumah yang sejuk. Indah, rapi, dan asri. Banyak bermacam-macam bunga yang ditanam dan disusun rapi dengan pot-pot yang indah. Lebih baik daripada melihat Langit yang sudah terkejut berlebihan.
Pohon-pohon rindang, bahkan sampai ada kursi beserta meja dibawahnya. Sepertinya menyenangkan jika bisa bersantai disana.
"Pa, kenapa cewek ini disini?" Pertanyaan dari Langit membuat Aya sadar.
"Duduk!" titah Putra.
"Ngapain?"
"Duduk!" ulang Putra dengan menaikkan sedikit nada bicaranya.
Langit mengalah, ia duduk berhadapan dengan meja.
"Aya, kamu bilang kamu tadi nampar anak saya, kan? Sekarang, coba kamu kasitau saya, apa alasannya?" tanya Putra.
Langit yang sudah memakan camilan langsung tersedak.
"Uhuk!"
"Kenapa, nak?" tanya Putra.
Langit mengambil minuman yang disuguhkan bi Inah pada Aya.
"Langit!" bentak Putra. Langit tak peduli, ia meminum hingga tandas.
"Nggak papa, pak," ucap Aya. Putra menatap Aya.
"Malu-maluin!" ucap Putra pelan namun dingin. Ia kembali melirik Langit.
"Pa, papa tau darimana kalo ni cewek nampar Langit?" tanya Langit setelah tenang.
"Jadi, gimana Aya?" tanya Putra tanpa memperdulikan anaknya.
Langit merengut. "Sebenernya aku ini dianggap nggak, sih?" gerutu Langit lirih.
Aya melirik Langit sekilas. Langit menatapnya tajam, seolah-olah mengatakan 'awas kalo lo ngomong!'
Aya tersenyum licik. Ini saatnya membalas dendam, "Pak-"
"Jangan panggil, pak, Ya," potong Putra.
Aya mengernyit. "Kalau om?"
"Kalau om boleh aja."
Aya mengangguk. "Saya nggak tau apakah ini penting atau tidak. Tapi, menurut saya ini penting. Anak om tadi berani megang tangan saya, makanya saya tampar," jelas Aya tenang.
Langit menatap Aya. Putra mengernyit. "Hanya itu?" tanya Putra.
Aya sedikit terkejut. Ia pikir Putra akan marah karena ia sudah berani menampar anaknya.
"Ditusuknya lelaki dengan pasak besi lebih baik daripada memegang wanita yang bukan mahramnya.
Dan saya nggak suka dan nggak mau kalau ada orang yang dengan lancang memegang saya. Maafkan saya kalau saya keterlaluan, tapi tadi saya reflek menampar anak bapak, spontan," jelas Aya.
Langit memutar bola matanya. Cari perhatian, pikir Langit.
Sedangkan Putra kagum, jarang sekali menemukan anak seperti Aya.
"Kamu nggak perlu minta maaf. Seharusnya Langit yang minta maaf karena telah lancang," kata Putra kemudian beralih menatap Langit.
"Pa, kok papa percaya, sih? Langit nggak ada megang tangannya, ogah banget megang tangannya," kata Langit.
"Langit! Jaga bicaramu!" tegas Putra.
Aya menunduk. Entahlah, mendengar perkataan Langit cukup membuat hatinya sakit. Tapi Aya segera menepisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Langit
Teen FictionCAHAYA LANGIT Deskripsi Bukan tentang cahaya langit, melainkan tentang seorang gadis yang bernama Cahaya yang pindah ke sekolah elit karena mendapatkan beasiswa. Bagaimana siswa yang pindah karena mendapatkan beasiswa? Terkadang di bully karena stat...