Menjaga pandangan itu sangat penting. Meski sulit tapi tetaplah berusaha.
_Cahaya Langit_
Happy Reading ...
***
Semua peserta sudah berkumpul di ruang tamu untuk makan malam. Mereka duduk melingkar, makan lesehan. Para perempuan sibuk menata makanan, sedangkan laki-laki sibuk menata peralatan makan.
"Sebelum kita makan, ada yang ingin Bapak sampaikan," ujar Pak Rendi. "Setelah makan dan salat Isya, kita belajar sebentar. Kalian harus siap untuk kompetisi besok. Jadi, habis ini jangan ada yang keluyuran," lanjut Pak Rendi. Langit sudah mencomot tahu di piringnya.
"Langit!" tegur Bulan. Langit tersenyum getir.
"Setelah belajar langsung tidur!"
Langit mengangkat tangan. "Pak!"
"Ya?"
"Kok langsung tidur, sih, Pak? Jalan-jalan atau nyantai diluar bentar, lah, Pak. Diluar bagus, adem suasananya. Masa langsung tidur?" protes Langit.
"Kamu mau bangun kesiangan?" Pak Rendi menatap Langit. Meski tak tajam, tapi entah kenapa Langit merasa tatapan Pak Rendi itu tajam. Tapi ia tetap santai.
"Pak, saya nggak terbiasa tidur cepat. Saya harus refreshing dulu, minimal jalan, lah. Baru saya bisa tidur. Kalau enggak, saya susah tidur dan jadi begadang, deh," jelas Langit.
"Boleh, ya, Pak? Bentar doang, kok?" tawar Langit.
Pak Rendi tampak berpikir. "Bagus juga ide kamu." Sungguh, jawaban yang tak Langit duga. Begitu pun dengan lainnya. Biasanya Pak Rendi akan kesal bila ada yang berani memprotesnya.
"Berarti boleh, Pak?" tanya Langit antusias.
Pak Rendi tersenyum tipis. "Bukan cuma kamu, semua peserta yang mau ikut jalan-jalan keluar boleh ikut. Barangkali sebelum kompetisi kita butuh refreshing, nggak belajar terus," kata Pak Rendi membuat peserta bersorak senang.
Langit tersenyum. Ia memandang peserta lain. Matanya tak sengaja melihat Aya yang sedang tersenyum tapi tersenyum menatap makanan didepannya. Langit semakin tersenyum.
Diam-diam, Bella sering memperhatikan Langit. Ia mengepalkan tangannya kala melihat Langit tersenyum menatap Aya.
Langit belajar dengan antusias. Ia tak sabar ingin jalan-jalan diluar. Menyenangkan sekali.
Selesai belajar, beberapa siswa termasuk Pak Rendra sudah bersiap-siap untuk keluar. Disini memang enak suasananya.
"Gimana kalau ke taman kota aja? Bagus banget tadi, terus lokasinya juga dekat," saran Pak Rendra.
"Setuju, Pak!" sahut para peserta.
Semua keluar untuk jalan-jalan. Pak Rendra dan Langit sedang duduk di teras. Mereka berbincang sambil mengenakan sepatu.
"Pak," Aya memanggil Pak Rendra. Sontak kedua lelaki berbeda usia itu menoleh.
"Saya izin nggak ikut jalan, Pak."
"Kenapa?" Bukan Pak Rendra yang bertanya, melainkan Langit.
Aya menatap Langit sekilas. "Saya mau belajar."
"Kamu nggak capek belajar terus? Semuanya pada keluar, di rumah ini nggak ada siapa-siapa," kata Pak Rendra.
Aya diam.
"Bener, tuh, Ya. Rumah sebesar ini sepi banget kalo nggak ada orang. Lo berani sendiri?"
"Ikut aja napa, sih! Nggak bayar juga!" Terkadang Langit memang mirip ibu-ibu yang sedang mengomel. Aya menghela nafas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Langit
Novela JuvenilCAHAYA LANGIT Deskripsi Bukan tentang cahaya langit, melainkan tentang seorang gadis yang bernama Cahaya yang pindah ke sekolah elit karena mendapatkan beasiswa. Bagaimana siswa yang pindah karena mendapatkan beasiswa? Terkadang di bully karena stat...