Cahaya Langit 12

2 0 0
                                    

Aya melihat ke arah Langit sekilas kemudian kembali mengalihkan pandangan.

"Kenapa nggak sholat?" tanya Aya datar.

Langit menunduk, entah kenapa hatinya merasakan perasaan bersalah, hati yang menyesal karena telah meninggalkan sholat lima waktu yang jelas itu merupakan sebuah kewajiban.

"Gue juga bukan orang baik. Kelakuan gue nggak jelas. Lo pasti udah denger gosip di sekolah tentang gue," kata Langit.

Aya mengernyit. Gosip? Gosip apa?

Aya mencoba mengingat tentang hal yang beberapa hari belakangan ini menjadi bahan pembicaraan murid-murid terutama dikalangan siswi.

"Gosip yang banyak cewek yang nge-fans sama lo?" tanya Aya.

Langit melongo dibuatnya. Apa gadis ini hanya tahu sebatas itu? Kenapa?

Langit akui dirinya memang banyak yang nge-fans. Ia tidak menyangkal hal itu. Hehe. Langit tersenyum bangga.

"Lo nggak tau?"

Aya menggeleng.

"Gue terkenal orang yang bandel, nakal, suka melanggar aturan sekolah, dan lo nggak kapok pas gue kerjain kemarin?" jelas Langit menatap Aya. Apa yang Langit katakan belum semuanya.

"Terus?"

What? Responnya?

"Yaaaa ... gue ngerasa nggak pantes gitu sholat. Lo nggak tau kelakuan gue," kata Langit yang sudah kehabisan kata-kata.

Aya menghela nafas. "Dengar. Mau lo bandel, nakal sampai kejam pun, sholat harus tetap dijalankan."

Langit terdiam. Menunggu Aya kembali bicara.

"Bismillah," ucap Aya lirih.

"Sholat, terutama sholat wajib yang kita tau bahwa itu sholat yang dikerjakan lima waktu, itu harus dikerjakan. Gue tau, kok, lo itu muslim. Nah, sebagai seorang muslim, kita itu harus sholat, kita butuh sholat, Langit," kata Aya hati-hati. Ia takut penjelasannya salah. Namun, ia tidak bisa membiarkannya.

Langit tak menanggapi.

"Pas masih kecil, lo ngaji nggak?" tanya Aya tiba-tiba.

Langit mengangguk.

"Ngaji dimana?"

"Masjid."

"Pasti sholat, kan?"

Langit mengangguk lagi.

Aya tersenyum tipis." Lo nggak kangen masa-masa itu? Masa-masa dimana kita tiap hari ngaji, sholat di masjid bareng temen-temen. Seru tau kalo inget itu," kata Aya sembari menatap halaman di samping rumah Langit.

Langit menatap Aya.

"Emang, sih. Beda cerita kalau kita udah besar gini. Tapi, kalau di ingat-ingat, pas kecil kita ada yang ngarahin, ada yang ngajarin. Untuk megang dan main HP aja jaraaangg banget. Nggak terlalu sibuk sama  urusan sekolah dan urusan yang bersifat keduniaan," lanjut Aya.

Langit tak berkutik. Ia memperhatikan Aya tanpa ada niat untuk menyela dan membantah apa yang dikatakannya.

"Sorry, gue ngomong kek gini. Gue bukan orang yang paham agama Langit. Tapi, gue mau bilang, sholat wajib itu harus di laksanakan. Kalau ditinggalkan berdosa dan kalau dikerjakan In Syaa Allah akan dapat pahala."

Aya melihat ke arah Langit yang masih diam tak berkutik.

"Gue yakin lo udah tau. Mau gimanapun lo sekarang, sholat aja dulu. Kena air wudhu, sholat, Maa Syaa Allah adem, tenang rasanya," lanjut Aya.

Aya memang belum mengetahui semuanya. Ia hanya mengatakan apa yang ia ingat dan ia rasa pernah mendengarnya. Aya masih belajar, masih banyak yang harus ia pelajari.

Aya khawatir apa yang ia sampaikan masih ada salah atau bahkan cara ia menyampaikan kurang dipahami oleh pendengarnya.

"Hei, lo ngerti, kan maksud gue?" tanya Aya pada Langit yang masih terdiam.

Langit bergerak. Ia menghelas nafas pelan. "Gue ... paham," jawab Langit pelan. Langit merasa tersentuh. Selama ini, ia disibukkan dengan kesenangan dunia. Semenjak beranjak remaja sampai Ayah dan Ibunya yang tidak lagi memperhatikannya membuatnya menjadi sedih dan mencari hiburan diluar sana.

Ditambah pengaruh akibat pergaulan yang tidak terkontrol membuat Langit remaja yang masih labil terpengaruh.

"Alhamdulillah," ucap Aya sembari tersenyum. "Oke, ini masih ada waktu buat sholat Asar. Lo mau sholat dulu?" tanya Aya hati-hati.

Langit tak menjawab.

Aya menghela nafas. Ia menganggap Langit tidak menjawab artinya tidak.

Namun ...

"Gue sholat dulu," ucap Langit tiba-tiba saat Aya hendak membuka buku paket.

***

Langit menatap kran didepannya. Ia berusaha mengingat tata cara berwudhu.

"Bismillah dulu," ucap Langit lirih kemudian memulai wudhu dengan pelan.

Langit tersenyum kala ia tak melupakan tata cara berwudhu. Ia menuju kamarnya untuk mencari sarung dan sajadah yang sudah tersimpan rapi namun tak pernah dikenakan yang berada di lemari.

Segar. Segar yang Langit rasakan. Perasaan ngantuk, suntuk, dan gelisah yang ia rasakan sedari tadi hilang. Ia menggelar sajadah dan mulai mengucap niat.

Takbiratul Ikram kembali terucap. Bersamaan dengan kedua tangan yang terangkat. Langit membaca surah Al-Fatihah dan surah yang berusaha ia hafal. Sudah lama tak mengaji dan memegang kitab suci Al-Qur'an membuat hafalan surah-surah pendek pun hampir menghilang dari ingatan.

Bahkan sudah ada yang hilang. Namun, Langit membaca surah yang masih dihapalnya saja.

***

Menunggu Langit menunaikan kewajiban, Aya keluar rumah sembari sesekali melihat jam dinding. Aya menatap taman yang terletak disamping rumah Langit. Sedari tadi menarik mata Aya untuk selalu melihat ke arah sana.

Ada gazebo, kolam ikan yang berisi ikan-ikan hias, pepohonan rindang, bunga-bunga dengan beragam warna dan spesies sampai rumput jepang yang semakin menyejukkan mata yang memandang.

"Ma Syaa Allah."

"Woi!" sentak seseorang. Aya terperanjat, lantas membalikkan badan dengan raut wajah kesal.

Di depannya, Langit mengenakan baju koko dan sarung. Serta peci yang membuatnya tampak berbeda. Ciri khas seorang Langit yaitu rambut acak-acakan seolah hilang pergi kemana.

Aya sempat terpana. Kemudian tersadar saat Langit bicara.

"Gue tau gue ganteng," ucap Langit dengan kepercayaan diri yang tinggi.

"Astaghfirullah," ucap Aya lirih.

"Se-ganteng apa, sih gue, sampai lo terdiam, nggak cerewet kek biasanya," ujar Langit sambil bergaya didepan jendela.

"Pede banget," ucap Aya sinis.

"Pede itu harus," balas Langit.

Bersambung ...

Assalamu'alaikum teman-teman ...

Ada yang kangen sama cerita ini nggak, sih? Sepi bangettt. Ramein dong, kasih kritik dan saran gitu.

Cahaya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang