Aya pelan-pelan memakan buburnya. Sakit di kepalanya membuatnya sulit untuk makan. Langit sudah selesai makan dari tadi, kini ia fokus pada ponselnya.
"Lama banget, sih. Lo makan bubur apa permen karet?" sindir Langit.
Aya langsung membanting sendok ke lantai.
"Napa?" Aya menatap Langit tajam.
Langit tertawa getir. "Saya cuma bercanda, mbak. Jangan galak-galak," ujar Langit dengan nada bercanda.
Aya mendengus kesal. "Tangan kanan gue di infus. Gue gerak pelan-pelan, takut jarumnya gerak. Udah gue bilang, gue trauma di infus," jelas Aya tanpa diminta.
Langit melihat Aya yang masih pucat. Ia sibuk dengan bubur didepannya.
"Mau gue panggilin dokter?"
Aya melihat Langit sekilas. "Nggak usah, gue nggak papa, mending lo pulang aja."
Langit mendelik. "Ngusir?"
"Bukan. Emang lo nggak pulang?"
"Trus kalau gue pulang, yang jagain lo disini siapa?" tanya Langit.
"Gue pulang juga," jawab Aya terdengar ambigu.
"Nggak usah cerewet, deh, Ya. Gue nginep disini jagain lo," putus Langit.
"Lo mau tidur dimana?"
Langit mengedarkan pandangan. Langit tau bahwa Aya tak mungkin mau satu ruangan dengannya. Apalagi mendengar penjelasan Aya tadi sore. Langit pernah mendengar penjelasan gurunya juga sewaktu kecil.
"Diluar," jawab Langit singkat.
Aya menghela nafas. "Jangan. Ntar lo sakit. Mending lo pulang, atau gue pulang juga, gue udah nggak papa, kok," cegah Aya.
Langit berdiri. "Lo nurut apa kata dokter napa, sih. Gue tunggu diluar, titik! Nggak ada bantahan!"
"Tapi-"
"Cepat habisin bubur lo terus tidur. Jangan banyak mikir, nggak usah banyak ngomong," potong Langit cepat, ia berjalan menuju pintu.
"Nggak usah Langit, gue nggak papa, gue nggak mau ngerepotin lo ... arghhh! Astaghfirullah!" Aya memegang kepalanya kuat, berteriak saja membuat kepalanya sakit.
Langit terkejut lantas berbalik. Ia berlari menghampiri Aya.
"Ya, lo kenapa?" tanya Langit cemas.
"Nggak, gue nggak papa," jawab Aya pelan, ia menyandarkan punggung dan kepalanya di sandaran kasur.
Langit menatap Aya tajam. "Makanya jangan cerewet! Coba istirahat diem, anteng biar cepet sembuh. Nggak usah ge-er, gue nyuruh lo istirahat biar lo cepet sembuh, pulang dan nggak ngerepotin gue lagi!" kata Langit membuat Aya melihat ke arahnya.
Aya terdiam.
"Gue nyesel, kenapa gue yang nolongin lo. Kenapa nggak orang aja!" omel Langit. Ia mengambil hoodie yang ia letakkan di meja.
Langit berjalan keluar.
Aya meneteskan air mata. Benar yang dikatakan Langit, ia sempat ge-er dan menyimpulkan bahwa sikap Langit ini karena ia peduli padanya.
"Kenapa gue kayak gini? Sadar diri Aya," gumam Aya.
"Astaghfirullah," ucap Aya lirih setelah itu ia memejamkan matanya.
Langit mengatur nafasnya. Kekhawatiran itu kembali melanda dirinya. Langit melihat Aya lewat celah pintu yang memang tak ia tutup sepenuhnya supaya bisa melihat kondisi Aya.
Rasa bersalah. Ia merasa bersalah karena sudah mengatakan semua itu pada Aya. Dirinya terlalu panik sampai mengatakan hal yang bisa menyakiti orang lain.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Langit
Teen FictionCAHAYA LANGIT Deskripsi Bukan tentang cahaya langit, melainkan tentang seorang gadis yang bernama Cahaya yang pindah ke sekolah elit karena mendapatkan beasiswa. Bagaimana siswa yang pindah karena mendapatkan beasiswa? Terkadang di bully karena stat...