Aya tersenyum sumringah. Perasaannya tak lagi diliputi kekhawatiran dan rasa takut lagi. Beberapa hari tanpa dihantui bayang-bayang Aldo membuat Aya perlahan melupakannya.
Semua peserta sudah selesai dengan ujian mereka. Kini mereka tengah menikmati makan siang disebuah rumah makan yang berada tak jauh dari rumah Bu Bulan.
Inilah yang membuat Aya senang bila mengikuti kegiatan diluar sekolah. Mendapatkan pengalaman, jalan-jalan, makan minum terjaga. Meskipun ia tak berbaur dengan yang lain, tapi tetap ia merasa senang.
Hanya saja, terkadang ia memikirkan keadaan Hana dan Nisa di rumah. Aya juga tidak suka jika kegiatan diluar sekolah sampai menginap berhari-hari.
Guru memberitahukan bahwa mereka akan pulang setelah makan siang. Nanti di perjalanan mereka akan singgah sebentar di sebuah tempat wisata. Yaitu hutan pinus.
Aya melirik kearah Langit yang entah kenapa ia melihat sikapnya tak seperti biasanya. Kemarin malam Langit masih cerewet dan itu membuatnya terhibur. Tapi kali ini, Langit tampak sering diam dan hanya sesekali menanggapi teman yang duduk disebelahnya.
Perlahan, ada yang mau menegur Langit. Mereka pikir, Langit tak sekejam itu. Ia orang yang humoris dan ramah. Meski sesekali menunjukkan sikap dingin dan galak ketika sedang emosi saja.
Kabar tentang Langit itu anak berandal dan punya geng motor tak dipedulikan lagi.
"Astaghfirullah," ucap Aya. Tak seharusnya ia memperhatikan Langit sampai segitunya. Aya mencoba untuk kembali fokus pada makanan dihadapannya.
***
Bus berhenti ditempat wisata yang dituju. Hutan pinus yang asri, indah dan sejuk. Para siswa dan siswi antusias dan ada yang sudah siap dengan kamera di genggaman.
Aya pun demikian. Tak ingin melewatkan kesempatan, ia nyalakan kamera di ponselnya. Meski tak suka berfoto, namun jika memotret alam sangat ia sukai.
"Maa syaa Allah," ucap Aya menatap hutan didepannya.
"Baik anak-anak. Kalian masuk dengan tertib, ya. Jangan berpencar jauh-jauh. Tetap memperhatikan sekitar dan teman-teman kalian," seru Pak Ahmad.
"Baik, Pak," sahut semua murid.
Awalnya semua murid berjalan dengan tertib. Tapi semakin kedalam, mereka ada yang mulai berpencar dengan kelompok masing-masing. Terkecuali Aya yang hanya sendirian.
"Sendiri aja, Ya?" Aya menoleh. Mendapati Bella yang berdiri disampingnya.
"Lo lihat sendiri, kan?" sahut Aya.
Bella terkekeh. Tapi bukan tawa meremehkan seperti biasanya. Melainkan tawa bersahabat. Aya mengernyit heran. "Tumben," gumamnya lirih. Lirih sekali.
"Jalan bareng gue, yuk," ajak Bella. Semakin membuat Aya tak habis fikir.
"Lo ... kesambet apa keselek? Tumben pake banget sikap lo bersahabat gini sama gue. Biasanya juga enggak," kata Aya. Menatap Bella lekat. Yang ditatap tersenyum.
"Manusia bisa berubah. Gue ... nyesel karena sikap gue selama ini kurang ajar banget ke elo. Gue minta maaf, ya?" kata Bella.
Mata Aya menyipit. Entah kenapa, tapi ia merasa ada yang janggal.
"Astaghfirullah. Nggak boleh berburuk sangka," batin Aya.
"Nggak papa," ujar Aya singkat.
"Serius?"
Aya mengangguk samar. "Lagian sikap lo juga nggak pernah gue masukin ke hati. Santai aja," kata Aya. Ia menatap kedepan. Menyiapkan kamera di ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Langit
Teen FictionCAHAYA LANGIT Deskripsi Bukan tentang cahaya langit, melainkan tentang seorang gadis yang bernama Cahaya yang pindah ke sekolah elit karena mendapatkan beasiswa. Bagaimana siswa yang pindah karena mendapatkan beasiswa? Terkadang di bully karena stat...