Cahaya Langit 8

5 0 0
                                    

Langit berjalan dengan gontai. Menaiki tangga sekolah dengan malas. Raut wajah yang tidak ramah sama sekali, membuat para siswi yang melihatnya lekas menunduk.

Seragam yang dikeluarkan, rambut yang acak-acakan. Namun tak mengurangi kadar ketampanannya. Meskipun tidak ada siswi yang berani menyapanya, tetapi tetap saja, bisik-bisik berupa pujian masih terdengar di telinga Langit.

Dan itu sedikit membuat suasana hati Langit membaik.

Langit melewati kelasnya, ia terus berjalan. Tujuannya adalah rooftop, entah kenapa ia rindu dengan rooftop yang ada di sekolah lamanya dan penasaran dengan bentuk rooftop sekolah ini.

Sesampainya di rooftop, Langit berdecak kagum. Indah, bersih, dan nyaman. Ini akan menjadi tempat favoritnya. Pikirnya.

Sedang sibuk memperhatikan sekitar, netranya tak sengaja menangkap siluet seseorang yang familiar di ingatannya.

Seorang gadis berhijab yang sedang duduk disebuah kursi. Posisinya membelakangi Langit.

Gadis itu adalah Aya. Benar, itu Aya.

Suasana hati Langit yang mulai membaik hancur lagi. Karena gadis itulah yang membuatnya sampai dimarahi, bahkan diancam kemarin oleh ayahnya.

Langit menghampiri Aya dengan tangan terkepal dan tatapan tajam.

"Heh!" bentak Langit.

Aya tersentak. Lantas menoleh. Sedang asik menikmati semilir angin di rooftop, tiba-tiba dikejutkan oleh bentakan seseorang membuatnya emosi.

Aya berdiri. "Apa!" bentak Aya tak mau kalah.

"Lo ngomong apa sama bokap gue, kenapa lo harus jadi guru les segala!" kata Langit emosi.

Bukannya menjawab, Aya malah memindai penampilan Langit dari rambut sampai sepatu kemudian menggeleng.

"Ck, ck, ck. Lo mau sekolah apa balapan?" tanya Aya merasa heran. Saat siswa yang lain tidak berani berdandan ala berandal di sekolah ini, tapi Langit?

"Kenapa? Masalah?" tanya Langit menantang seraya mengangkat dagunya.

Aya mengedikkan bahunya. "Masalah buat lo lebih tepatnya. Bukan masalah gue," jawab Aya santai.

Langit mengusap kasar wajahnya. "Nggak usah ngubah topik pembicaraan. Sekarang, gue mau lo jangan jadi guru les gue. Jangan datang ke rumah gue, jangan ganggu hidup gue. Paham lo!"

Aya terkekeh pelan, "Hei, siapa juga yang mau ganggu kehidupan lo. Gue nggak tertarik sama sekali. Lagian, mau lo ngelarang gue, gue tetep datang ke rumah lo karena bokap lo yang minta," kata Aya.

"Lo pasti juga udah tau konsekuensinya kalau lo nolak gue jadi guru les lo," lanjut Aya.

Aya tersenyum sinis melihat Langit terdiam." Gue bukan tokoh Cinderella atau orang yang diancam langsung diem seribu bahasa. Mau lo nyuruh gue diem atau ngancam gue sekalipun, gue akan tetep kasitau bokap lo kalau lo bilang kek gini sama gue," lanjut Aya.

Kini, giliran Langit yang tersenyum sinis. "Oh, jadi, lo nggak keberatan menyandang status sebagai tukang ngadu?" kata Langit menekankan dua kata terakhir.

Aya mengalihkan pandangannya, menatap pemandangan dari atas, "No problem."

***

Langit sangat kesal lantaran ada yang mengadukan perbuatannya di sekolah pada Putra. Bukan Aya, melainkan Alvin, sepupunya.

Alvin sampai datang ke rumah hanya karena ingin memberitahu Putra kalau dirinya berpenampilan kurang rapi. Ralat, bukan kurang, lebih tepatnya tidak rapi sama sekali di sekolah.

Lebay, kata itu yang disematkan Langit untuk Alvin. Sepupunya sekaligus rivalnya sejak kecil itu terlalu lebay menurutnya. Mentang-mentang ketua OSIS, penampilan selalu oke, langsung bersikap begitu.

"Ngaku aja, lo kek gini pasti karena kalah ganteng dari gue." Perkataan tidak bermutu itu keluar begitu saja dari mulut Langit membuat sang ayah memarahinya habis-habisan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 15.30. Lewat satu menit, Aya sudah sampai di rumahnya.

"Assalamu'alaikum, om," ucap Aya kala Putra sudah berdiri di depan rumahnya seraya tersenyum menatap Aya.

"Wa'alaikumussalam. Masuk, Ya," ucap Putra.

Aya mengangguk sopan.

Langit duduk sembari memainkan ponselnya disebuah ruangan yang elegan. Seperti perpustakaan, namun dengan hiasan dan cat dinding yang mirip seperti perpustakaan kerajaan.

Rak buku yang dipenuhi buku-buku, ditambah pendingin ruangan yang membuat ruangan itu semakin nyaman dan menenangkan.

Dan, ruangan itulah yang digunakan untuk tempat les Langit.

Ceklek

Aya masuk bersama Putra dan Bi Inah. Sontak membuat Langit menoleh. Ia memutar bola matanya malas.

"Langit, kamu belajar yang benar!" Tegas Putra.

Aya masuk ditemani Bi Inah membuat Langit mengernyitkan dahinya. "Kok Bi Inah disini?" tanya Langit heran.

"Aya nggak mau sendiri, den. Nggak baik kalau laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berduaan. Jadi Bibi temenin," jelas Bi Inah.

Langit mengusap rambutnya. Rencananya untuk mengerjai Aya jadi buyar.

"Bi, biar Aya tangani," ucap Aya seolah sudah paham dengan sikap Langit. Padahal baru kenal beberapa hari.

"Nggak usah banyak ngomong lo. Sekarang, gue guru lo. Dengerin penjelasan gue dan jangan membantah!" kata Aya tegas.

"Emang lo siapa berani ngatur-ngatur gue?"

"Langit!" suara Putra terdengar dari luar. Langit menepuk jidatnya. Ternyata ayahnya juga mengawasinya dari luar.

"Kenapa gue terjebak di situasi seperti ini."

Bersambung ...

Cahaya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang