Cahaya Langit 11

4 0 0
                                    

"Lo unik, gue akuin gue salah menilai lo. Untuk itu gue minta maaf."

Langit
____________________________________________
H

appy Reading ...

Aya mengayuh sepedanya pelan. Kali ini Aya mengajar les dari sepulang sekolah. Sebelum Adzan Asar berkumandang. Oleh karena itu Aya membawa tas berisi mukena.

Aya sengaja berangkat lebih awal supaya tidak terlalu sore pulangnya. Ia sudah izin dengan ibundanya dan Putra saat ia bertemu dengan Putra didepan sekolah.

Siang itu sepulang sekolah, Aya yang baru saja keluar dari gerbang sekolah mendapati Putra dan Langit yang sepertinya sedang berdebat.

Tak mau ikut campur, Aya melangkah pergi. Namun, baru satu langkah, suara Putra menghentikannya.

Dan Aya menghampiri keduanya. Putra memintanya untuk datang lebih awal mengajari Langit, dan itu yang membuat Langit merasa keberatan. Raut wajahnya kesal.

Bahkan sampai sekarang. Dihadapannya, Langit belajar dengan raut wajah yang datar. Tak banyak bicara, diam melihat Aya yang menjelaskan.

"Sampai disini dulu. Ada yang mau ditanyakan?" tanya Aya setelah selesai menjelaskan.

Langit tak menjawab.

Aya menoleh, mendapati Langit yang terdiam sembari menatap kosong papan tulis yang dipakai Aya untuk mengajari Langit.

"Woy!" sentak Aya.

Langit tersentak, kemudian menatap tajam Aya. "Apa?" tanyanya sinis.

"Lo paham nggak?"

Langit menggeleng. Tiba-tiba merebahkan kepalanya di meja.

"Loh, loh, loh. Kok malah tidur itu gimanaaaa! Belajar dulu," kata Aya sedikit menaikkan nada bicaranya.

Putra sedang tidak ada di rumah, tapi Langit yakin saat ini Putra sedang mengawasinya melalui CCTV yang baru saja dipasang di ruangan ini.

Bi Inah sedang pamit ke dapur, ingin membuat minum.

"Lo diem dulu napa," sahut Langit malas.

Langit bingung, moodnya sedang ambyar.

Pertama, Putra memaksanya untuk belajar dengan Aya. Kedua, Papanya terus mengawasinya sampai memasang CCTV di ruangan ini. Lalu, Bella yang dari tadi marah-marah bahkan tidak menjawab telponnya tidak membalas pesannya karena ia dekat dengan Aya. Padahal tidak.

Ting!

Suara notif dari ponsel Langit membuat Aya menoleh. Tertera nama Bella disana membuat Aya menebak, apa mungkin mereka sedang bertengkar?

"Bella chat, tuh," ucap Aya datar. Dari tadi menjelaskan mending istirahat dulu, lah.

Langit mengangkat kepalanya. Ia menjadi sibuk dengan ponselnya.

Tak lama kemudian, Azan berkumandang. Terdengar sangat nyaring karena rumah Langit memang sangat dekat dengan Masjid.

"Alhamdulillah," ucap Aya.

"Langit, gue sholat dulu," ucap Aya sembari mengambil mukenanya dan berjalan tanpa memperdulikan Langit yang sebenarnya juga tidak memperdulikannya. Sibuk dengan ponselnya.

"Loh, kemana, Ya?" tanya Bi Inah. Tangannya membawa nampan berisi sirup dan cemilan.

"Ke Masjid dulu, Bi," ucap Aya.

Bi Inah tersenyum. "Oh iya, Ya. Ya udah, sholat dulu sana. Habis sholat kesini lagi."

Aya mengangguk. "Iya, Bi. Assalamu'alaikum," ucap Aya.

"Wa'alaikumussalam," ucap Bi Inah.

Bi Inah masuk dan mendapati Langit yang sedang bicara dengan seseorang dibalik telepon.

"Enggak, aku nggak deket sama dia. Kamu tenang aja Bella. Aya nggak mungkin bisa ngambil aku dari kamu," kata Langit membuat Bi Inah geram.

"Den!" panggil Bi Inah.

Langit melihat ke arah Bi Inah.

"Nanti lagi telponnya. Sholat dulu, ini udah masuk waktu sholat Asar," kata Bi Inah seraya meletakkan nampan diatas meja.

"Bentar Bi," ucap Langit.

"Jangan lupa, den. CCTV mengintai," ucap Bi Inah lagi.

Langit menghela nafas. Ia sampai lupa jika Papanya sudah memasang kemera pengintai di sini.

Setelah menutup telpon dengan gaya bahasa yang menurut Bi Inah sangat lebay, Langit akhirnya bertanya soal keberadaan Aya.

"Bi, Aya dimana? Ada tasnya tapi nggak ada orangnya?" tanya Langit. Sepertinya ia tak menyadari ketika Aya pamit tadi.

"Emang Aya nggak pamit?" tanya Bi Inah.

Langit menggeleng.

"Aya tadi ke Masjid depan. Mau sholat. Den Langit sholat juga sana," kata Bi Inah kemudian beranjak pergi.

Langit terdiam. Sholat? Sudah berapa lama ia meninggalkannya? Di rumah tidak pernah, di sekolah terkadang, bahkan sempat kabur dan nangkring di kantin.

Ditegur masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tapi ia tidak tau mengapa sekarang ia merasa bersalah, merenung.

***

Aya kembali dengan wajah yang berseri-seri. Lebih fresh dan tidak emosi melihat Langit yang sudah rebahan tak karuan.

"Assalamu'alaikum," ucap Aya begitu memasuki ruangan.

"Wa'alaikumussalam," ucap Langit lirih.

"Come on! Lanjut belajar!" ucap Aya bersemangat. Langit bangkit, ia mengacak rambutnya. "Males, lo lama!" ucapnya.

Aya mengangkat sebelah alisnya. "Lo nggak sholat?" tanya Aya lantaran melihat penampilan Langit yang seperti sebelumnya bahkan, nggak ada segar-segarnya, rambutnya berantakan.

"Mau gue sholat atau enggak sama sekali bukan urusan lo!" kata Langit sinis.

Aya meletakkan pulpennya ke meja dengan cukup kasar. "Gue nanya baik-baik. Ngapain lo jawabnya begitu?" tanya Aya emosi.

Langit terdiam, menatap Aya tajam

"Gue cuma NANYA. Langit!" lanjut Aya.

"Gue nggak sholat. Males," kata Langit membuat Aya ber-istighfar.

"Jangan ngomong kayak gitu. Gue yakin lo pasti tau dan paham kalau sholat lima waktu itu udah kewajiban. Kalau ditinggalkan dosa, dan kalau dikerjakan dapat pahala," kata Aya.

"Gue tau," ucap Langit datar.

"Makanya gue bilang lo itu udah tau. Kalau udah tau, sholat sana!" kata Aya. Langit melirik sinis. "Ngatur?"

"Kewajiban. Sebagai sesama muslim harus saling mengingatkan," kata Aya santai.

Langit menghela nafas.

Aya melihat Langit. "Lo kayak gitu seakan punya beban hidup yang berat banget," ujar Aya kemudian terkekeh pelan.

Langit menoleh. Menatap Aya yang masih terkekeh.

"Ya," panggil Langit.

"Gue ... udah lama nggak sholat."

Bersambung ...

Cahaya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang