Cahaya Langit 20

4 0 0
                                    

Aya membuka matanya perlahan. Samar-samar ia mendengar suara orang yang sedang bicara.

"Pukulan di kepalanya cukup kuat. Saya khawatir bisa menyebabkan geger otak. Jika sudah siuman, jangan ditanya terlalu banyak, khawatir kalau tertekan." Suara pria dengan bahasa formal itu Aya tebak adalah Dokter.

Tak ada jawaban. Hanya terdengar helaan nafas.

"Baik, Dok. Terimakasih." Setelah diam beberapa detik akhirnya bersuara juga. Dan itu suara yang familiar di telinga Aya.

Terdengar suara pintu dibuka lalu ditutup kembali, Aya mencoba membuka matanya, menyesuaikan cahaya yang berada di ruangan ini. Ruangan serba putih dengan aroma yang khas membuat Aya menebak jika ini berada di Puskesmas. Terlebih tangannya yang sudah dipasang selang infus.

Aya menggerakkan kepalanya. Namun terasa sakit.

"Astaghfirullah," ucap Aya lirih membuat seseorang yang tengah duduk di kursi itu mengalihkan pandangan kearahnya.

"Ya, lo udah sadar?" tanya orang itu terdengar khawatir.

Aya menggeleng lemah. Ia melihat orang itu, kemudian mengernyit.

"Kamu siapa?" tanya Aya. Aya melihat sekeliling. "Trus aku ngapain di sini?"

Orang itu langsung pucat. Ia semakin khawatir, "Ya, jangan bercanda, Ya. Masa lo nggak kenal gue?"

Aya menggeleng. "Kamu siapa! Ngapain kamu disini! Pergi!" Aya menaikkan nada bicaranya.

"Ya, bercanda lo nggak lucu tau nggak! Jangan kek gini, lah!" bantah orang itu, matanya sudah berkaca-kaca.

"Apa, sih! Sok kenal banget. Ngapain panggil aku Ya? Siapa itu?" Aya menahan sakit di kepalanya. Ia memegang kepalanya.

"Nama lo Cahaya. Gue Langit, temen lo. Masa nggak kenal?" Ternyata orang itu adalah Langit. Langit sudah panik, apakah gadis didepannya ini benar-benar tidak ingat?

"Aku nggak kenal! Pergi!" teriak Aya.

"Iya-iya, oke. Gue pergi, tapi biar gue panggil dokter dulu biar diperiksa." Langit menyeka air mata yang sempat jatuh. Apa-apaan ini, seorang Langit menangis karena gadis menyebalkan ini?

Langit berbalik hendak keluar. Namun suara tawa menahan langkahnya.

"Hahahaha...." Aya tak kuasa menahan tawanya.

Langit berbalik. Ia membaca situasi. Wajahnya yang sudah pucat langsung memasang ekspresi dingin.

"Lo ... lucu banget, sampe nangis gitu?" ujar Aya disela-sela tawanya.

Langit mengusap matanya. "Lo pikir lucu kayak gitu?"

Pertanyaan bernada dingin itu sontak membuat Aya menghentikan tawanya. Ia menatap Langit yang menatapnya dingin. Matanya memerah.

"Jawab, ngapain diem aja?"

"Lo marah?" tanya Aya tanpa menjawab pertanyaan Langit.

Langit mengalihkan pandangan tatkala ia merasa matanya kembali memanas. Sebelum air mata itu keluar, sebaiknya ia segera mengalihkan pandangan.

Langit kembali mendudukkan dirinya di kursi guna menenangkan dirinya. Tidak menjawab pertanyaan Aya.

"Langit?"

Tidak ada sahutan.

"Langit!"

"Lo bisa mikir sendiri, kan? Gimana rasanya panik kayak gitu. Lo kira candaan lo itu lucu? Nggak sama sekali!" bentak Langit.

Aya terkesiap. Tak menyangka jawaban Langit akan seperti itu. Biasanya Langit akan menanggapi dengan santai, namun ini sangat serius.

Apakah aku sudah keterlaluan?

Cahaya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang