Cahaya Langit 4

2 0 0
                                    

Langit gelisah. Terkadang ia menatap bendera, kadang menatap sekeliling, dan terkadang menatap gadis disebelahnya yang terus menunduk.

Langit melihat sekeliling. Ternyata mereka menjadi pusat perhatian.

"Apa cewek ini malu makanya nunduk terus?" batin Langit. Ia menatap Aya.

Langit tidak merasa keberatan jika dihukum. Bahkan menurutnya ini biasa saja. Jangan lupakan Langit yang saat di sekolahnya dulu bahkan pernah mengelap jendela, membersihkan toilet bersama temannya.

Teman? Langit merindukan mereka.

Walaupun begitu, Langit tetap diidolakan dan banyak gadis yang menyukainya. Terlebih ketika Langit yang terkadang bersikap dingin dan ramah. Rambut yang terbiasa acak-acakan membuat kadar ketampanannya bertambah.

Tapi, menurut Aya tidak sama sekali.

Langit jengah. Kalau saja yang disebelahnya ini temannya, pasti mereka akan saling bercanda dan tertawa bersama.

Tapi Langit senang karena berhasil membuat gadis disampingnya ini tidak masuk kelas bahkan membuatnya dihukum. Siap-siap nilainya terancam.

"Hiks."

Langit yang semula menatap kedepan menoleh kala mendengar suara isakan tangis.

Sontak Aya menghapus air matanya. Rupanya sedari tadi Aya berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Tetapi tidak bisa. Air mata tetap meluncur deras. Ia melirik Langit sebentar, namun tetap menunduk. Aya hanya melihat sepatunya Langit saja.

Aya berharap Langit tak mendengar isakan tangisnya.

"Heh! Lo nangis?" tanya Langit dengan nada yang ... tidak ada ramah-ramahnya sama sekali.

Aya tak menjawab, menggeleng pun rasanya enggan.

"Cengeng banget. Berlebihan tau nggak. Cuma dihukum berdiri gini aja masa nangis," cibir Langit. Namun Aya sama sekali tak menanggapi. Ia tetap pada posisinya. Bergerak saja tidak.

Langit kembali menatap Aya, kemudian mengernyit. Merasa heran dengan sikap Aya.

Walaupun baru bertemu sehari, tapi Langit sudah melihat sikap Aya yang biasanya melawan, cerewet dan tak bisa diam. Bahkan tadi pagi dengan berani Aya membangunkan dirinya yang sedang tidur dan sangat mengantuk.

Baru sehari, namun Langit menilai Aya orangnya aktif, apalagi kemarin ia dengan percaya diri maju kedepan untuk presentasi di mata pelajaran ekonomi.
"Lo pingsan apa tidur, sih?" Tanya Langit tak sadar.

Mungkin saja gadis itu pingsan karena terlalu lama berdiri. Apalagi dirinya tidak bergerak sedari tadi, mungkin karena terlalu kaku hingga membuatnya pingsan dengan posisi berdiri. Hehe.

Pikir Langit.

"Eh? Ngapain gue nanya? ya udah terserah dia mau diem kek, mau teriak, mau nangis juga gue nggak peduli," batin Langit. Langit kembali menatap kedepan.

Kriiiiiinggggg!

Bel istirahat berbunyi. Aya langsung menurunkan tangannya dan pergi tanpa mengucap sepatah katapun. Langit mengekorinya.

"Aya! Langit! Ikut saya ke ruang BK sekarang!" titah Rendi saat Aya dan Langit hendak menuju kelas.

"Pak, ini udah istirahat. Saya laper," kata Langit.

"Baik, pak," ucap Aya pelan. Ia terus menunduk dan berjalan menuju ruang BK.

"Langit! Jangan banyak alasan. Cepat keruang BK sekarang juga!"

Langit menghela nafas. Tapi tetap mengikuti Rendi.

Sepulang sekolah, Aya bersiap akan pulang. Namun, saat berada di gerbang sekolah, sebuah klakson motor mengagetkannya.

Cahaya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang