Seorang gadis berlari sekuat tenaga. Matanya menatap gerbang sekolah yang hampir ditutup.
"Pak Bimo! Stop!" teriak gadis berhijab itu nyaring.
Pak Bimo yang hendak menutup pintu gerbang terkejut mendengar suara itu. Lantas menatap gadis yang sedang berlari dengan sekuat tenaga.
Gadis itu berusaha mengatur nafasnya ketika sudah tiba didepan pak Bimo.
"Neng Aya? Tumben terlambat. Untung belum bapak tutup,” kata pak Bimo sembari menatap gadis didepannya.
Gadis itu adalah Cahaya. Ia kerap dipanggil Aya dilingkungan sekolah maupun rumahnya.
Aya tidak menjawab. Ia masih mengatur nafasnya.
"Mau minum, neng?"
Aya menggeleng. "Nggak usah, pak. Terima kasih. Aya mau langsung masuk aja keburu gurunya masuk kelas. Tapi ... ini Aya boleh masuk?" kata Aya.
"Emmm, boleh atuh, neng. Selama pintu gerbang belum terkunci, masih dimaklumi," canda pak Bimo.
Aya tertawa pelan. "Makasih, pak. Kalau gitu Aya masuk dulu. Assalamu'alaikum," ucap Aya.
"Wa'alaikumussalam," jawab pak Bimo.
Aya berlari lagi. Sesampainya di teras, Aya tidak berani untuk lari karena suasana yang sudah sepi.
Saat di koridor Aya membulatkan matanya saat melihat ketua OSIS bersama antek-anteknya menghalangi jalannya.
Aya tersenyum getir.
"Kenapa terlambat, Ya?" tanya Alvin yang merupakan ketua OSIS.
Tangan Aya refleks memegang hijabnya seolah-olah memperbaiki posisi hijabnya padahal tidak rusak. Itu sudah menjadi kebiasaan ketika Aya dilanda kegugupan.
"Itu ... gue ... tadi kesiangan," jawab Aya.
"Tapi, kata pak Bimo tadi. Selama pintu gerbang belum dikunci masih dimaklumi. Jadi gue belum terlalu terlambat," lanjut Aya.
"Terus lo juga masih disini, berarti guru belum ada yang masuk," lanjut Aya tanpa sadar.
"Yang namanya terlambat tetep aja terlambat! Lagian Alvin itu ketua OSIS. Bertugas!" bentak Arini yang biasa dipanggil Rini. Ia merupakan anggota OSIS. Sekelas dengan Aya. Begitu juga dengan Alvin.
"Rin! Jaga nada bicara lo, ini koridor!" tegur Alvin menatap Arini tajam.
Aya menatap Arini malas.
"Iya, Ya. Nggak papa, sekarang lo cepat masuk kelas, keburu gurunya datang," ujar Alvin. Aya tersenyum senang.
"Thanks. Gue duluan, Vin," ucap Aya langsung berlari secepat kuda. Sedangkan Rini menatap sinis punggung Aya yang menjauh. Dan Alvin diam-diam tersenyum tipis
Aya tiba didepan kelas. Aya berusaha menetralkan kegugupan yang semakin bertambah lantaran guru sudah berada didalam.
Tok, tok, tok.
"Masuk!"
"Waduh ... ini suara Bu Bulan. Habis gue. Dimarahin terus dihukum," gumam Aya sembari memejamkan matanya.
Huft.
Ceklek!
Aya tidak percaya tangannya sudah menekan gagang pintu. Ingin rasanya ia berbalik dan pergi meninggalkan kelas.
Aya heran ketika pintu sudah terbuka. Terlihat semua yang berada di kelas itu menatap Aya. Namun, bukan itu yang membuat Aya heran, melainkan ada orang asing di kelas itu.
Seorang cowok yang berdiri di depan papan tulis yang sekarang juga sedang menatap Aya.
"Aya! Kenapa kamu terlambat?!" tanya Bulan dengan nada tinggi.
Aya terperanjat kaget. "Ma-maaf, Bu. Saya kesiangan," jawab Aya.
"Alasan! Padahal ini hari pertama kamu masuk kelas 12, tapi udah memberikan contoh yang nggak baik untuk adek-adek kelasmu!" omel Bulan.
Aya menunduk. "Alamat dihukum ini,” batin Aya.
"Ngapain kamu berdiri aja disitu? Nggak punya kursi!"
Semua siswa di kelas sudah mulai berbisik-bisik membicarakan Aya.
Aya mengangkat kepalanya. "Saya nggak dihukum, Bu?" tanya Aya tidak percaya.
Bulan langsung berdiri. "Oooohhh ... jadi kamu mau dihukum?" teriak Bulan.
Sontak Aya menggeleng. "Enggak, Bu. Makasih, ya, Bu," ucap Aya lalu ia berjalan cepat menuju kursi yang masih kosong.
"Ih! Apaan, sih caper banget."
"Mentang-mentang ada cowok cakep didepan langsung sok kecantikan."
"Kampungan!"
Bisik-bisik itu terdengar ditelinga Aya. Aya menghela nafas dan tetap melanjutkan langkahnya.
Seperti biasa. Bangku yang tersisa berada di sudut ruangan paling belakang sebelah kanan. Bedanya, di sebelahnya masih ada satu bangku lagi.
Aya memilih duduk di bangku paling pojok. Karena menurutnya tempat itu yang paling aman di kelas, tidak terganggu, dan kalau istirahat bisa sandaran di dinding.
"Maaf, Langit. Tadi ribut. Ya sudah, silakan duduk,” kata Bulan mempersilahkan cowok yang ia sebut 'Langit' itu duduk.
Langit yang sedari tadi melihat Bulan terkejut.
"Iya, Bu. Terima kasih," ucap Langit kemudian berjalan menuju bangku yang masih kosong dengan raut wajah datar.
"Oh, murid baru. Ternyata baru selesai perkenalan," batin Aya, ia kembali fokus pada buku tulis yang baru saja ia keluarkan dari dalam tasnya. Tidak peduli meskipun teman sekelasnya mulai ribut dan histeris.
Aya menoleh sekilas kala Langit menempati bangku di sebelahnya. Di kelas ini, kursi dan meja terpisah, tidak meja panjang yang ditempati dua murid sekaligus.
Langit pun hanya melihat sekilas. "Sombong banget tu cewek,” batin Langit sembari menatap Aya. Saat semua cewek di kelas ini menatap dan memuji dirinya, hanya Aya yang tampak cuek dan tidak peduli.
Saat istirahat tiba, hampir semua siswa di kelas 12 IPS 1 itu berhamburan keluar kelas untuk mengisi perut mereka. Hanya satu dua orang yang masih didalam. Dan itu adalah Aya dan Langit.
Aya masih sibuk menulis, tidak peduli dengan manusia di sebelahnya.
Begitu juga dengan Langit. Ia sibuk dengan ponselnya, meskipun sesekali menoleh pada Aya.
Tak lama kemudian seorang gadis memasuki ruangan itu seraya menyapa Langit.
"Hai, Langit!" sapa gadis itu antusias.
Langit tersenyum dan berdiri. Gadis itu langsung berhambur memeluk Langit.
Aya terusik, kemudian ia membulatkan matanya ketika kedua orang itu saling berpelukan.
"Nggak dianggap, sih nggak dianggap. Tapi nggak gini juga. Nggak lihat apa masih ada orang disini,” batin Aya. Ia mengalihkan pandangannya.
"Eh! Ada cewek norak disini? Yank, kok mau, sih satu ruangan sama dia. Nggak level banget tau nggak," cibir gadis itu yang sangat Aya kenal. Namanya Bella.
Bella satu angkatan dengan Aya. Ia merupakan siswi kelas 12 IPA 1. Bisa dibilang, Bella merupakan primadona di sekolah ini karena wajahnya cantik. Bella orang blasteran Korea-Indonesia. Tapi wajahnya dominan mirip orang Korea.
Bella bukan cewek yang suka dandan menor ke sekolah karena memang kulitnya sudah glowing. Ia hanya memakai liptint tipis dan itu sudah membuatnya cantik bagaikan peri.
Selain karena wajahnya yang cantik, Bella memiliki segudang prestasi. Dapat dikatakan Bella dan Aya itu bersaing. Apalagi ayah Bella merupakan kepala sekolah sekaligus pemilik SMA ini.
Namun, satu yang membuat Bella cukup disegani dan ada yang menjauhinya. Yaitu Bella sering membully orang terutama gadis yang dikenal cupu atau masuk karena beasiswa.
Mereka takut? Tentu saja. Aya. Aya juga pernah hampir menjadi korban bully. Namun Aya sama sekali tidak takut, ia melawan Bella walaupun akhirnya Aya yang masuk BK karena Bella merekayasa kejadian yang sebenarnya.
Aya sama sekali tidak menghiraukannya. Ejekan itu sudah biasa baginya. Tidak ada rasa apa-apa.
Bella kesal. Ia menghampiri Aya dan menggebrak mejanya.
Brak!
Aya tersentak, namun hanya diam.
"Lo budeg apa gimana?!" bentak Bella.
Aya mengepalkan tangannya. Ia berdiri menatap Bella kesal.
"Apa? Lo mau ngomong apa?" tanya Aya tanpa rasa takut.
Bella mencebik. Memang, hanya Aya yang berani melawannya dan itu membuat Bella semakin tak suka pada Aya.
Sedangkan Langit hanya diam. Jika Aya sampai melawan Bella. Kekasihnya. Maka dirinya yang akan bertindak.
Se-cinta itu?
"Lo lama-lama makin ngelunjak. Kalo gue mau, gue bisa tendang lo keluar dari sekolah ini!" Ancam Bella.
"Yang punya sekolah ini bukan lo, tapi bokap lo. Mau lo ngancam gue beribu-ribu kali juga nggak bakal mempan, sorry,” kata Aya sinis.
"Lo percaya diri banget," ujar Bella dengan nada meremehkan.
"Harus," ucap Aya.
"Heh, lo!" sahut Langit tiba-tiba. Matanya menatap tajam Aya.
Langit menghampiri keduanya. Ia memindai penampilan Aya yang memang sederhana menurutnya.
Aya yang risih langsung membentak Langit, "Lo lihat gue kek gitu gue congkel mata lo!" bentak Aya.
Langit terkejut. Namun ia malah tersenyum sinis. "Sok-sok an sekolah disini. Cewek modelan kek lo emang suka banget cari perhatian. Sok manis, sok lugu apalagi didepan bu Bulan tadi,” kata Langit sini.
"Lo sama sekali nggak pantes sekolah disini," lanjut Langit.
Aya mencebik. Ternyata sama saja, siswa baru ini juga ikut-ikutan.
Bella tersenyum menang.
"Hei murid baru. Gue tanya sama lo. Emang gue butuh penilaian lo? Terus lo jadi orang sotoy banget, ya. Emang lo tau gue?" tanya Aya sinis.
"Kurang aj ar," umpat Langit dalam hati.
Aya melirik tangan Bella yang mengepal. Kemudian tersenyum miring. "Bel, lo kalo mau nampar gue silahkan, dengan senang hati. Terus kalo mau banyak yang lihat, tuh. Ada cctv yang merekam,” kata Aya seraya menunjuk CCTV yang berada di kelasnya.
Bella keluar kelas dengan kesal. Langit menatap Aya datar, tiba tiba ia tersenyum licik. "Lo berani sama Bella. Lo berurusan sama Langit. Gue bakal bikin hidup lo nggak tenang sekolah disini,” kata Langit pelan namun menusuk. Ancamannya terdengar serius.
Setelah mengatakan itu, Langit meninggalkan Aya yang mematung.
"Kok ada, ya cowok kayak gitu?" gumam Aya seraya menggelengkan kepalanya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Langit
Ficção AdolescenteCAHAYA LANGIT Deskripsi Bukan tentang cahaya langit, melainkan tentang seorang gadis yang bernama Cahaya yang pindah ke sekolah elit karena mendapatkan beasiswa. Bagaimana siswa yang pindah karena mendapatkan beasiswa? Terkadang di bully karena stat...