Cahaya Langit 2

3 0 0
                                    

Sepulang sekolah, Aya menghela nafas karena ia harus berjalan kaki menuju rumahnya. Dikarenakan ban sepedanya rusak.

Jarak rumah Aya cukup jauh jika berjalan kaki.

“Nggak papa, Aya. Semangat,” ucap Aya menyemangati dirinya.

Aya berjalan seperti biasa, namun, tiba tiba sebuah mobil hampir menyerempetnya. Bukan, mobil itu sengaja mengenai bannya di genangan air yang berada disebelah Aya.

“Astaghfirullah,” ucap Aya. Seragamnya sudah basah dan kotor.

Aya menatap mobil itu tajam. Ia sampai menghafal nomor plat mobil itu, “Tu orang naroh matanya dimana, sih!” gerutu Aya.

“Astaghfirullah ... nggak boleh kayak gitu Aya,” ujar Aya. Ia mengusap dadanya.

Sedangkan pengendara mobil tersebut tersenyum miring. “Itu baru permulaan, lo udah berani sama gue dan berani ngelawan Bella,” kata orang itu.


Setelah mengucap salam, Aya memasuki rumahnya. Adik Aya langsung menghampirinya.

“Kak, kenapa baju kakak?” tanya Nisa. Adik Cahaya.

“Nggak papa, dek. Mmm ... gimana keadaan ibu? Apa ibu sudah makan?” tanya Aya.

Nisa menunduk. Ia mengangguk pelan.

“Alhamdulillah ... tapi kenapa kamu? Kenapa sedih?” tanya Aya menyadari perubahan raut wajah Nisa.

Mata Nisa berkaca-kaca. “Tadi, pas Nisa baru pulang sekolah, ibu pusing banget, kak. Nisa panik, terus langsung bawa ibu ke klinik,” jawab Nisa.

“Trus?”

“Kata bidannya, ibu harus dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang maksimal,” jelas Nisa.

“Ya Allah,” ucap Aya.

“Gimana ibu sekarang?” tanya Aya.

Nisa menoleh ke arah kamar ibunya kemudian kembali menatap Aya. “Ibu lagi tidur, kak. Baru minum obat,” jawab Nisa.

“Ya udah, hari ini kamu nggak usah ikut kakak jualan. Kamu jaga ibu aja, ya,” kata Aya.

“Tapi, kak-“

“Nggak ada tapi-tapi an. Kamu fokus jaga ibu. Nggak usah khawatirin kakak. Ya udah, kakak mau bersih-bersih dulu,” kata Aya. Ia meninggalkan Nisa yang menatapnya nanar.

Nisa masih duduk di bangku SMP kelas 3.

Setiap pulang sekolah, Aya selalu berjualan kue dan bermacam-macam gorengan. Biasanya, Aya berkeliling bersama Nisa. Tapi kali ini Aya sendiri.

Sebelum ibu mereka sakit, ibu mereka yang bernama Hana bekerja disebuah rumah makan. Namun, saat ini sudah tidak lagi karena kondisi yang tidak memungkinkan.

Sedangkan ayah mereka. Aya dan Nisa tidak tau dimana ayah mereka sekarang.

“Kue ... kue!” Aya berteriak sepanjang jalan. Banyak warga di komplek itu yang menyukai kue dan gorengan buatan Aya. Tiap sore, mereka selalu membeli.

Saat melewati rumah besar. Tiba-tiba ada seorang wanita paruh baya yang memanggilnya.

“Kue!” panggil wanita itu.

Aya tersenyum ramah kemudian menghampiri wanita tersebut.

“Bi Inah!” sapa Aya.

Wanita yang dipanggil Bi Inah itu tersenyum. “Seperti biasa, Ya,” ucap Bi Inah. Aya mengangguk, ia membungkus beberapa kue dan gorengan.

Bi Inah selalu membeli dagangannya dalam jumlah banyak. Katanya keluarga itu menyukai kue dan gorengannya.

“Ini lebih banyak dari biasanya, bi?” tanya Aya melihat Bi Inah membeli kuenya lebih banyak dari biasanya.

“Iya, Ya. Soalnya anak dari Pak Putra baru datang kemarin,” jawab Bi Inah seraya menyerahkan uang berwarna biru.

“Ooohhh ... gitu, ya, Bi.” Aya menyerahkan kembaliannya.

“Oh iya, Ya. Kamu bikin gorengan ini kapan. Kamu sekolah dulu, apa sempat? Terus Nisa mana?” tanya Bi Inah.

Aya tersenyum. “Ada Nisa di rumah, Bi. Biasanya adek buat adonannya pas pulang sekolah Nisa masih SMP. Terus sekolahnya nggak terlalu jauh. Jadi pas Aya pulang, Aya masak dulu, Nisa di rumah jaga ibu” jelas Aya.

“Ooohhh ... Nggak cape, kah?”

“Alhamdulillah ... Aya udah biasa, Bi. Jadi nggak cape-cape banget, nggak kaya waktu pertama kali jualan,” jawab Aya.

“Semangat, ya, Ya,” ucap Bi Inah. Ia menatap Aya dengan mata berkaca-kaca.

“In Syaa Allah, Bi,” ucap Aya.

“Bi Inah!” Panggil seseorang membuat Bi Inah dan Aya terkejut dan menoleh ke sumber suara.

“Iya, den!” sahut Bi Inah.

“Murid baru?” gumam Aya menatap cowok yang mengenakan kaos putih lengan pendek dengan celana hitam selutut. Rambutnya acak-acakan persis seperti orang yang bangun tidur.

“Ya, Bibi masuk dulu, ya. Makasih, ya,” ucap Bi Inah.

“Iya, Bi.”

“Bibi masuk dulu.”

Aya mengangguk. Langit tidak melihat Aya dikarenakan terhalang pagar rumah, ditambah dirinya yang baru bangun tidur, tidak akan memperhatikan.

Namun, saat Aya hendak berbalik. Ia melihat sesuatu yang tampak familiar.

“Mobil itu ....”

Aya menatap mobil yang sama dengan yang mencipratkan genangan air di jalan tadi.

Aya mencoba mengingat-ingat nomor plat mobil itu.

“Nggak salah lagi! Ooohhh ... jadi ini mobilnya dia ... awas aja lo, ya. Lo pikir gue takut sama ancaman lo. No way! Lo yang cari masalah sama gue,” kata Aya, ia menatap tajam pintu rumah itu.


“Den, cobain, deh. Ini kue sama gorengannya enak banget. Tuan dan nyonya aja seneng banget sama kuenya.” Kata Bi Inah. Bi Inah meletakkan piring yang berisi kue dan beberapa gorengan.

Langit menatap makanan didepannya tanpa minat. “Aku nggak suka makanan itu, bi, kampungan. Pasti nggak higienis,” jawab Langit. Ia kembali fokus pada permainan game online di ponselnya.

Langit memang terbiasa memakan makanan yang mahal. Sekedar berdiri di warteg saja enggan, dengan alasan tidak higienis.
“Coba dulu, den,” bujuk Bi Inah.
“Nggak mau, Bi.”
“Satu aja,” ucap Bi Inah masih membujuk Langit.

Langit menghela nafas, ia mengalah juga dan mengambil satu buah kue dan menggigitnya pelan.

Langit mengunyah dengan hati-hati.

“Gimana, den? Enak?”

Langit terdiam sejenak kemudian menatap bi Inah. “Lumayan,” jawab Langit pelan. Padahal di hatinya mengatakan bahwa rasanya sangat enak. Oke, kue ini akan habis saat Bi Inah pergi.

“Nggak usah pake kata lumayan. Kalo enak bilang aja enak,” kata Bi Inah.

Langit tak menjawab, ia sibuk memakan kue itu.

Bi Inah terkekeh. “Gimana hari pertama sekolah, den?” tanya Bi Inah.

Langit berhenti mengunyah. Pikirannya kembali mengingat gadis yang duduk disebelahnya. Gadis yang tidak ia ketahui namanya, “Biasa aja, Bi,” jawab Langit datar.

“Kok biasa aja?”

“Terus aku harus gimana, Bi? Emang biasa aja kok sekolahnya, yang bikin spesial itu Cuma Bella,” kata Langit.

Bi Inah terdiam. Ia menatap putra majikannya itu sendu. “Den, jangan terlalu dekat sama Non Bella,” ujar Bi Inah.

Langit menatabiBi Inah. “Bi, udah berapa kali Bibi bilang kayak gitu? Emang kenapa sama Bella, Bi? Bella itu baik, kok. Ya ... emang, sih dia suka bully di sekolah, tapi nggak pernah keterlaluan. Lagian Bella juga selalu bersikap baik kalau ke rumah,” kata Langit panjang lebar.

Bi Inah menghela nafas, entah kenapa Bi Inah tak begitu menyukai pacar Langit.

“Mending den Langit sama Aya,” gumam Bi Inah lirih, namun masih terdengar oleh Langit.

“Apa, Bi?”

Bi Inah kaget, lantas menggeleng. “Bibi ke dapur dulu, den,” kata Bi Inah


Sebelum azan Subuh berkumandang, Aya dan Nisa sudah selesai membungkus kue dan gorengannya. Sebelum berangkat sekolah, mereka akan menitipkannya di pasar Subuh atau pasar yang selalu buka saat pagi setiap hari.

Aya berjalan kaki menuju sekolah, ia belum memperbaiki ban sepedanya.

Tit!

Aya terperanjat. Ingin rasanya ia memaki orang yang mengagetkannya.

Seorang laki-laki menaiki motor ninja berhenti tepat disebelah Aya. Ia membuka penutup helmnya.

Alvin.

“Ngagetin tau nggak!” kesal Aya.

Alvin tersenyum tak enak. “Sorry,” ucapnya.

“Mau nebeng?” tanya Alvin. Aya menatap jok belakang Avin yang super tinggi itu. Apalagi yang menyetir cowok. Dengan mantap Aya menggeleng.

“Makasih, Vin. Gue jalan aja, sekolah juga udah deket. Tuh. Gerbangnya aja udah keliatan,” jawab Aya sambil menunjuk gerbang sekolah yang memang sudah terlihat.

“Yakin, nggak mau nebeng?” ulang Alvin.

“Kagak. Ya udah, gue lanjut jalan,” kata Aya dan langsung meninggalkan Alvin yang menatapnya.

Bersambung ...

Cahaya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang