Cahaya Langit 13

5 0 0
                                    

Aya malas meladeni Langit. Ia kembali menatap taman samping rumah Langit.

"Mmmm ... Langit, gimana kalau tempat les nya pindah ke gazebo itu? Boleh?" tanya Aya sembari menunjuk gazebo yang berada ditengah taman.

Langit mengalihkan pandangannya, menatap gezebo kemudian beralih menatap Aya. "Kenapa?" tanya Langit.

Aya mengulum bibir, apakah ia harus mengatakan hal yang sebenarnya?

Aya merasa tidak nyaman jika mengajar Langit didalam ruangan. Meskipun ada Bi Inah dan CCTV, tetap saja ia merasa tak nyaman.

Bi Inah tidak selalu berada disisinya, CCTV pun yang mengintai dari jarak jauh. Tetap saja Aya merasa sangat tidak nyaman hanya berdua-duaan dengan lelaki yang bukan mahramnya.

Sedangkan di gazebo itu, banyak orang berlalu lalang di jalan, dan ada satpam didepan rumah yang siap memperhatikan. Dan Aya selalu melihat seorang pria paruh baya yang selalu berada di halaman dan taman, entah meyiram bunga, mencuci mobil, membersihkan halaman dan lain sebagainya.

Itulah yang membuat Aya ingin mengajar les di gazebo saja.

"Kalau pindah tempat, lo keberatan?" tanya Aya tanpa menjawab pertanyaan Langit.

"Dari awal les aja gue keberatan," kata Langit. Aya menghela nafas.

"Langit, pindah ke situ aja, ya. Adem lho disitu," ujar Aya.

Langit memperhatikan taman itu lagi. "Iya, terserah," sahut Langit.

Aya loncat kegirangan.

***

Aya sangat bahagia dan bersyukur, kemarin ibunya sudah bisa ke rumah sakit dan saat ini di rawat inap. Walaupun Aya masih khawatir tentang penyakit yang di derita Hana.

Putra menepati janjinya, ia membantu Aya membawa Hana ke rumah sakit.

Aya memasuki kelasnya seraya mengucap salam. Seperti biasa, di kelas belum terlalu banyak orang.

Aya memutuskan untuk ke rooftop terlebih dahulu. Cuaca pagi hari yang cerah membuatnya ingin ke atas sembari menikmati semilir angin dan membaca.

Sesampainya di rooftop, Aya berjalan dengan santai. Namun, netranya menangkap dua orang berbeda jenis tengah berdebat disana.

"Langit? Bella?" batin Aya.

Aya tak mendekat, ia memperhatikan keduanya.

"Bel, udah berapa kali aku bilang sama kamu. Aya cuma disuruh papa buat ngajarin aku, nggak lebih! Kamu kenapa, sih nuduh aku segitunya?" Langit berusaha meyakinkan kekasihnya.

"Terus kenapa kamu mau? Biasanya guru les kamu yang sebelumnya udah berhenti! Ini udah dua hari dan kamu nggak ada bilang sama aku!" kata Bella menaikkan nada bicaranya.

Langit mengusap wajahnya frustasi. "Papa ngancam aku, Bella. Kamu ngertiin posisi aku, dong!" ujar Langit. Ia menahan emosi, terlihat dari wajahnya yang merah padam.

"Sebenarnya papa kamu setuju nggak, sih sama perjodohan kita! Kenapa harus Aya! Aku juga bisa, kok kalo disuruh jadi guru les kamu!" bentak Bella.

Langit memegang kedua bahu Bella. "Bella, aku sama Aya itu nggak dekat, nggak seperti yang kamu bayangkan. Papa setuju kok sama perjodohan kita.

Aya nggak seperti yang kamu pikirkan. Dia nggak ada caper atau apapun yang pernah kamu bilang ke aku. Kamu nggak perlu khawatir," kata Langit.

"Tuh! Kamu udah belain dia! Kamu udah suka sama Aya, Langit!" bentak Bella. Ia menghempaskan tangan Langit yang memegang bahunya.

Cahaya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang