"Gue bukan tokoh Cinderella atau orang yang diancam langsung diam seribu bahasa."
Cahaya
***
Aya cukup lelah mengajari Langit. Bagaimana tidak? Langit diam saja ketika ditanya, sibuk dengan ponselnya. Sampai ditegur Bi Inah berkali-kali tetap mengulangi.
Langit baru menurut ketika Putra menegurnya dengan ancaman yang membuatnya tak berkutik.
"Ini udah gue jelasin tadi, lo paham nggak?" tanya Aya. Langit hanya menatap tulisan yang diperlihatkan Aya padanya tanpa minat.
Ini pelajaran ekonomi, bagian akuntansi. Dan itulah yang tidak disukai Langit. Tapi bagaimana mau mengerti, sedari tadi Langit tidak memperhatikan sama sekali.
"Nggak," jawab Langit singkat, padat, dan malas.
Aya menghela nafas, stok kesabarannya mulai menipis. Jika tak ingat ia ingin sekali memarahi Langit.
"Dari tadi gue ngomong lo nggak perhatiin?" tanya Aya tak percaya. Menurutnya ia sudah menjelaskan dengan pelan-pelan.
Langit menatap Aya malas. "Gue emang nggak bisa soal akuntansi. Susah menurut gue. Rumit," kata Langit berbohong. Walaupun tidak sepenuhnya, karena memang dirinya tidak menyukai pelajaran yang satu ini.
Aya kembali menghela nafas pelan. Ia terdiam sembari memainkan pulpennya.
Langit menatap Aya. "Lagian lo emang nggak ada bakat jadi guru, makanya gue nggak paham," kata Langit diakhiri kekehan kecil.
Aya mendelik. Ia sebenarnya tau bahwa Langit tidak memperhatikan penjelasannya sejak tadi. Saat ini, ia tengah berpikir bagaimana caranya supaya Langit mau belajar.
Putra memang menyuruhnya mengajari Langit pelajaran sekolah. Namun, dibagian akuntansi memang harus lebih diajarkan karena ia tau bahwa putranya itu belum terlalu bisa.
"Sekarang gue coba jelasin lagi. Kali ini lo perhatikan betul-betul. Nggak banyak, sedikit dulu yang penting lo perhatikan," kata Aya tanpa menanggapi perkataan Langit sebelumnya.
Langit yang awalnya menatap ke arah jam kembali menatap Aya. Ia terkejut, tumben Aya bicara dengan santai didepannya. Dan kenapa tadi ia tak mengomel seperti biasanya?
"Bi Inah, Aya minta tolong awasi Langit, ya, Bi. Kalau dia nggak merhatiin tolong ditegur," ujar Aya pada Bi Inah.
"Siap, Ya," ucap Bi Inah seraya mengacungkan jempol.
Langit mendelik. Kenapa Bi Inah memihak Aya?
Aya menjelaskan dengan telaten. Ia sampai menghitung diatas kertas dan memperlihatkannya pada Langit. Tanpa sadar, Aya seperti guru SD yang sedang mengajari muridnya. Langit juga diam memperhatikan.
Langit merasa tertarik mendengar penjelasan Aya. Perlahan-lahan Langit mulai paham dengan materi yang diajarkan Aya.
"Gitu caranya Langit. Kalau sudah selesai, dibikin jurnalnya," jelas Aya. Kemudian meletakkan pulpen dan menggeser sedikit buku yang berisi penjelasan tadi didepan Langit.
"Bikin jurnalnya gimana?" tanya Langit.
"Mmmm ... In Syaa Allah itu besok lagi dibahas. Yang penting ini tadi lo udah paham, tapi beneran paham, kan?" kata Aya.
Langit mengangguk tanpa melihat Aya, ia fokus pada catatan didepannya, "Gue paham," ucap Langit.
Aya tersenyum. "Alhamdulillah," ucap Aya.
Aya melihat ke arah jam dinding yang jarum pendeknya sudah mengarah ke angka lima.
"Bi, Aya pulang dulu, ya," ucap Aya sembari membereskan barang-barangnya.
Bi Inah yang sedari awal memperhatikan keduanya berdiri. "Sekarang, Ya?" tanya Bi Inah.
Langit sedikit terkejut ketika Aya mengatakan itu, ia juga ikut berdiri.
Aya mengangguk. "Iya, Bi. Tadi Aya izin ke Ibu sama Nisa sampe jam lima aja. Aya khawatir ibu juga khawatir sama Aya kalau belum pulang," jelas Aya dengan raut wajah yang tiba-tiba terlihat cemas.
"Masa telat dikit aja takut banget, sih. Lo anak mama, ya?" kata Langit yang tidak ditanggapi Aya.
"Bi, Aya pamit dulu," ucap Aya seraya menyalami tangan Bi Inah. Ketika melihat kearah Langit ia berkata, "Gue pulang. Assalamu'alaikum," ucap Aya kemudian kembali menatap Bi Inah sejenak dan keluar dari ruangan itu.
"Wa'alaikumussalam," jawab Bi Inah.
"Wa'alaikumussalam," jawab Langit pelan.
"Bi, kenapa, sih kok dia kelihatan khawatir banget gitu? Takut dimarahin apa gimana?" tanya Langit tiba-tiba.
Bukannya menjawab, Bi Inah malah tersenyum. "Cieee ... mulai kepo, nih?" goda Bi Inah.
Sontak Langit menggeleng. "Ya enggaklah, Bi. Ngapain aku kepo coba? Kurang kerjaan banget!" sahut Langit tak terima.
Bi Inah tertawa pelan. "Bibi bercanda, Den," ucap Bi Inah.
Langit yang merasa kesal langsung pergi meninggalkan Bi Inah yang masih berusaha menghentikan tawanya.
***
Aya ke sekolah seperti biasa. Masih pagi dan sepi. Namun, saat di koridor, jalannya dihalangi oleh seorang gadis.
Melihat ekspresi gadis itu tidak bersahabat membuat Aya menghela nafas.
"Apa?" tanya Aya tegas.
Gadis itu menghampiri Aya, "Saking nggak ada yang mau sama lo, lo sampai nekat buat jadi guru les Langit." kata gadis itu.
Aya mengangkat sebelah alisnya.
"Teknik lo murahan banget tau nggak!"
"Bella!"
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Langit
Teen FictionCAHAYA LANGIT Deskripsi Bukan tentang cahaya langit, melainkan tentang seorang gadis yang bernama Cahaya yang pindah ke sekolah elit karena mendapatkan beasiswa. Bagaimana siswa yang pindah karena mendapatkan beasiswa? Terkadang di bully karena stat...