Satu jam berlalu. Aya duduk sembari mengusap kepala Nisa yang tertidur di pangkuannya. Sesekali memperhatikan lampu yang berada diatas pintu ruang operasi, menandakan bahwa didalam operasi masih berlangsung.
Aya beralih menatap pemuda disampingnya. Berjarak satu meter. Lelaki itu memejamkan matanya.
"Langit," panggil Aya.
Langit membuka mata. Ia tidak tertidur hanya memejamkan mata. Lantas menoleh menatap Aya.
"Lo nggak pulang? Orang rumah pasti khawatir sama lo," kata Aya.
Langit tak menjawab. Dirinya pun bingung, kenapa ia masih berada di Rumah Sakit ini? Tapi hati Langit enggan untuk pergi. Selain ingin mengetahui keadaan Hana, Langit juga khawatir dengan kedua gadis disampingnya ini.
Melihat tidak ada respon, Aya kembali bicara.
"Soal tadi, yang Ibu gue minta lo buat jagain gue ... itu ... mmm ... nggak usah aja, gue bisa jaga diri gue sendiri," lanjut Aya. Aya sebenarnya ragu dan gugup saat mengatakan itu. Maksud Aya supaya Langit tidak berfikir aneh-aneh.
Karena yang Aya tau, Langit tidak menyukai dirinya. Terbukti sejak pertama bertemu seperti sudah memusuhinya dan enggan ketika ia menjadi guru lesnya.
Langit kembali menatap Aya. Ia melihat sisi yang berbeda. Benar. Aya jauh sekali dari ekspektasinya. Bahkan saat ini Aya yang biasanya cerewet mendadak lebih banyak diam. Langit sadar, sedari tadi Aya berusaha menahan tangis meskipun ia sering melihat Aya menghapus air mata yang jatuh ke pipinya.
Wajahnya pucat, matanya berkaca dan memerah. Membuat Langit sadar.
"Lo sakit, Ya?" tanya Langit tanpa menanggapi satupun perkataan Aya.
"Lo mau ngalihin pembicaraan?" kesal Aya. Namun dengan suara pelan karena adiknya sedang tertidur.
"Lo ngaca, deh. Muka lo pucet banget. Lo demam?"
Aya diam. Setelah dihukum tadi pagi, ia memang merasa tidak enak badan. Tiba-tiba merasa dingin. Ia pun tidak makan lantaran tidak nafsu makan. Terlebih ketika Aya mendapat telepon dari pihak Rumah Sakit bahwa Ibunya akan di operasi membuatnya bergegas ingin ke Rumah Sakit.
"Gue nggak papa," ucap Aya datar.
Langit berdecak. "Bohong!" sanggah Langit. Tangannya tiba-tiba sudah melayang hendak menyentuh kening Aya.
Aya terkejut. Ia memundurkan badannya. "Jangan berani! Gue patahin tangan lo kalau lo pegang kening gue!" bentak Aya meski tidak nyaring.
Langit kembali menarik tangannya.
Nisa yang berada dipangkuan Aya terusik. Ia bangun. "Ada apa, Kak?" tanya Nisa sembari mengucek matanya.
"Nggak papa, Dek. Kamu kebangun, ya? Maaf, ya kakak gerak-gerak tadi," kata Aya.
Langit justru tersenyum. "Dek, Kakak kamu sakit. Coba kamu pegang keningnya," ujar Langit tiba-tiba. Aya membulatkan matanya.
Nisa menatap Aya. Lalu dengan cepat, punggung tangannya mendarat di kening Aya.
"Astaghfirullah! Kak Aya! Panas banget, Kak!" pekik Nisa histeris.
"Kenapa Kakak nggak bilang dari tadi?"
Nisa sudah panik. Aya memegang tangannya. Pening yang mendera tak ia rasakan.
"Nggak papa, Dek. Nggak usah panik gitulah," ujar Aya menenangkan Nisa. Dalam hati ia kesal pada Langit yang kini tengah mengulum senyum.
"Kakak udah makan?" tanya Nisa.
Aya menggeleng. Ia tidak mau berbohong.
"Nah ...."

KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Langit
Teen FictionCAHAYA LANGIT Deskripsi Bukan tentang cahaya langit, melainkan tentang seorang gadis yang bernama Cahaya yang pindah ke sekolah elit karena mendapatkan beasiswa. Bagaimana siswa yang pindah karena mendapatkan beasiswa? Terkadang di bully karena stat...