"Ada hal yang sulit diterima oleh pikiran dan hati. Selalu saja. Hati berusaha untuk terus menyangkal. Pikiran selalu mencari-cari alasan bahwa bukan itu maksudnya. Tetapi, rasa itu tetap ada meski berbagai cara dilakukan. Mata terus mencari dimana keberadaannya. Mau disangkal bagaimanapun, perasaan itu sudah ada. Jadi, tinggal bagaimana kita mengelola perasaan itu."
_Cahaya Langit_
Happy Reading ...
***
"Ya Allah, Aya. Kenapa seperti ini. Apa yang terjadi?" Bu Bulan baru saja memasuki ruangan bersamaan dengan Pak Rendi. Begitu memasuki ruangan, Bu Bulan langsung histeris melihat kondisi Aya.
"Alhamdulillah. Udah sadar," ucap Pak Rendi. Ia menoleh pada Langit yang juga ikut masuk.
Bu Bulan tak kuasa menahan air matanya. Ia menangis membuat Aya tersenyum tipis.
"Saya nggak papa, Bu. Cuma kena peluru nyasar," kata Aya mencoba bercanda. Ia melakukan itu supaya suasananya tidak sendu.
"Ya Allah ...," Bu Bulan menatap Aya sendu.
"Bu Bulan lucu kalau nangis. Saya nggak papa, lho, Bu. Alhamdulillaah. Atas izin Allah saya selamat dan operasinya berhasil," kata Aya.
"Alhamdulillaah. Ibu cuma sedih kamu kayak gini. Siapa coba yang Ibu marahin nanti."
Raut wajah senang yang ditampilkan Aya berubah ketika mendengar perkataan Bu Bulan.
Bu Bulan sontak tertawa meski air mata masih tersisa di matanya. "Cepat sembuh, ya. Biar bisa telat lagi," kata Bu Bulan.
"Ibu gitu banget, sih," gerutu Aya pelan.
Keduanya tertawa. Tak terkecuali dengan Pak Rendi. Sementara Langit tersenyum melihat keceriaan yang ditunjukkan Aya. Ia begitu memperhatikan sampai tersenyum sangat lebar.
"Cantik," ucap Langit tanpa sadar.
"Ekhem. Aya memang cantik." Langit terlonjak kaget mendengar ucapan Pak Rendi. Sontak ia alihkan pandangan ke sembarang arah. Kentara sekali seperti orang yang salah tingkah.
"Tapi, jaga pandanganmu wahai anak muda," lanjut Pak Rendi.
Langit merasa pipinya mulai memanas. "A-apaan, sih, Pak. Saya nggak bilangin Aya cantik. Itu ... Ibu. Iya! Saya bilangin Ibu Bulan yang cantik." Nada bicara Langit yang agak nyaring membuat kedua perempuan itu menatapnya.
"Kamu naksir Bu Bulan? Kamu nggak tahu Ibu sudah punya suami?" balas Pak Rendi.
Langit membulatkan matanya. Ia menatap Bu Bulan yang sudah menatapnya tajam.
"Bu-bukan! Saya nggak naksir. Itu ... apa salahnya bilang guru sendiri cantik. Iyakan, Bu?"
Bu Bulan menghampiri Langit. "Jadi anak laki-laki itu coba yang sopan. Jangan jadi playboy!" kata Bu Bulan.
"Enggak, Bu!"
Pak Rendi tertawa. Aya hanya tertawa pelan karena perutnya sakit. Langit tak sengaja menoleh kearah Aya yang sedang tertawa sembari menunduk. Lagi-lagi Langit tersenyum.
"Keterlaluan! Siapa yang mau menculik Cahaya. Apa Aldo? Siapapun itu, aku pastikan dia akan membayar apa yang telah diperbuatnya," batin Langit. Tangannya mengepal dengan erat.
***
Rumah sakit yang Aya tempati ini lokasinya masih cukup jauh dari rumahnya. Aya juga sudah mengabari keluarganya bahwa ia sedang dirawat. Bu Hana dan Nisa ingin menyusul namun Aya melarangnya karena lokasi yang jauh. Terlebih Bu Hana yang masih dalam tahap pemulihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Langit
Teen FictionCAHAYA LANGIT Deskripsi Bukan tentang cahaya langit, melainkan tentang seorang gadis yang bernama Cahaya yang pindah ke sekolah elit karena mendapatkan beasiswa. Bagaimana siswa yang pindah karena mendapatkan beasiswa? Terkadang di bully karena stat...