Aku tidak bisa tidur malam ini. Walaupun cuacanya sejuk dan diluar sedang turun hujan, aku tidak bisa memejamkan mataku sedikitpun.
Saat ku lirik jam yang ada diatas nakas, ternyata sudah pukul setengah satu dinihari. Tidak sedikitpun rasa kantuk menguasai ku, padahal tadi seusai makan malam aku merasa mengantuk.
Aku bahkan sengaja pamit untuk masuk ke kamar lebih dulu pada Mas Darma dan anak-anak yang tengah asyik bermain PlayStation.
Dan nyatanya saat aku membaringkan tubuhku diatas tempat tidur, tidak sedikitpun mataku bisa benar-benar terpejam, rasa kantukku menghilang seketika.
Udara disini dingin, aku bahkan mematikan pendingin udara dan bergelung dibalik selimut tebal sambil memainkan ponselku. Ku pikir bermain ponsel akan membuatku mengantuk, pada kenyataannya hal tersebut malah membuat mataku lebih segar lagi.
Padahal besok pagi kami berencana untuk berjalan-jalan keliling kota dan makan di beberapa restoran kesukaan anak-anak.
Aku yakin anak-anak dan Mas Darma sudah tidur. Aku tidak lagi mendengar suara mereka sejak tadi.
Karena tak kunjung bisa memejamkan mata, aku memutuskan untuk turun dari tempat tidur lalu mencari sesuatu di dalam tas tanganku.
Sebungkus rokok dan sebuah pemantik api ku keluarkan. Sepertinya aku butuh rokok untuk sekedar bersantai sembari menunggu rasa kantuk menyerang.
Aku duduk didekat kaki ranjang, menyalakan sebatang rokok, lalu mulai menghisapnya dalam-dalam. Tatapanku tertuju pada layar televisi yang menyala dengan suara yang tidak terlalu besar. Jika tidur sendirian di tempat baru, aku memang selalu menyalakan televisi. Suara dari televisi bisa membuatku merasa tidak terlalu kesepian.
Rokok adalah salah satu caraku untuk menenangkan diri dan bersantai, aku tidak terlalu ketergantungan pada benda ini, namun selalu membawanya kemanapun aku pergi dan menghisapnya saat aku merasa perlu untuk menenangkan pikiranku.
Dulu sebelum menikah aku sudah akrab dengan benda ini, bahkan aku sudah mulai merokok semenjak di bangku kuliah, namun berhenti saat memutuskan menikah karena Mas Darma tidak suka saat mengetahui bahwa aku seorang perokok. Dan aku kembali merokok saat bercerai dari pria itu.
Bukan untuk balas dendam karena selama menikah harus berhenti dan menjauhi benda ini, tapi aku membutuhkan sesuatu yang bisa menenangkan pikiranku yang terus berkecamuk, aku butuh tenang, aku butuh untuk menghentikan otak dan hatiku memikirkan Mas Darma.
Aku butuh ketenangan dan rokok bisa membuatku untuk tenang di kala pikiranku berkecamuk.
Saat aku tengah duduk diam sembari menikmati rokok di tanganku, aku mendengar pintu kamarku di ketuk dari luar.
Hal tersebut sontak membuatku terkejut, lama kubiarkan ketukan itu, lalu kudengar suara dari arah depan pintu kamarku.
"Din, kamu belum tidur?" Itu suara Mas Darma.
Tanpa mematikan rokok di tanganku, aku berdiri dan melangkah menuju pintu.
"Kenapa Mas,?" Aku bertanya sembari melongok setelah membuka setengah pintu kamarku, sengaja aku lakukan untuk menyembunyikan rokok di tanganku.
Mas Darma berdiri didepan pintu. Aku harus menahan tawaku saat melihat ada sebuah jepit yang menempel di rambut cepaknya, itu pasti kerjaan Gema.
"Saya mau bicara sebentar, bisa?" Tanyanya lagi.
"Oke." Jawabku singkat sembari berbalik.
Sebenarnya aku ingin mematikan rokok yang ada di tanganku, lalu keluar dari kamar untuk menemui Mas Darma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Kedua
RomanceAdine Farra memilih bercerai saat menyadari bahwa ia menjadi wanita kedua, pilihan terakhir dari sang suami. Ia lebih memilih menghancurkan pernikahan yang sudah sepuluh tahun terakhir ini dijalaninya setelah tau bahwa sang suami tidak pernah bisa s...