Omongan berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan. Olehku, tentunya.
Aku mengatakan bahwa aku membenci Mas Darma, berulang kali dan didengar langsung oleh pria itu.
Namun pada kenyataannya, kami tidur didalam satu selimut yang sama dengan Mas Darma yang terus memeluk tubuhku. Ia tidak meninggalkanku, bahkan sebelum aku jatuh tertidur pria itu terus menerus mengucapkan kata maaf padaku.
Aku marah padanya, aku benci saat tau dia tidur dengan Rumi di hari kami resmi bercerai secara kedinasan. Seharusnya aku tidak terkejut, seharusnya aku tidak marah karena saat itu aku dan dia sudah berpisah. Tapi disangkal sekalipun aku tetap merasa sakit hati.
Aku tertidur dalam dekapan hangatnya. Dan tidur ku semalam sayangnya harus kuakui sangat nyenyak, tanpa mimpi, tanpa terbangun sedikit pun hingga pagi menjelang.
Suara dering dari ponsel Mas Darma yang membangunkan ku, begitupun dengan dia.
Pria itu melepaskan diri dariku untuk mengambil ponselnya yang ada diatas nakas.
Aku tetap bertahan di posisiku, bahkan berusaha memejamkan kembali mataku karena aku tau ini masih terlalu pagi untuk bangun. Aku masih ingin beristirahat karena semalaman aku menangis.
"Halo Rum, kenapa?" Mas Darma bertanya.
Itu Rumi, tentu saja. Aku sempat menegakkan kepalaku dan menoleh untuk meliriknya.
Pria itu balas menatapku dengan tatapan yang entah apa artinya. Namun aku memutuskan untuk mengabaikan dia dan panggilan dari kekasihnya itu. Kembali ku baringkan kepalaku diatas bantal.
"Saya masih di Bandung sama anak-anak dan Dine."
Walaupun mataku terpejam, tapi aku berusaha mendengarkan percakapan itu dengan seksama.
"Pulang besok sore. Saya belum tau, nanti saya kabari."
Hanya itu yang ku dengar, lalu Mas Darma mematikan ponselnya dan terdengar meletakkan kembali benda itu keatas nakas.
"Kenapa? Pacar kamu itu marah?" Tanyaku masih memunggunginya.
"Saya dan dia tidak pacaran. Dan dia hanya bertanya saya sedang dimana, dia ingin mengirimkan makanan."
"Baik banget si Rumi, cocok sama kamu. Sama-sama sok baik." Sindir ku.
"Kalau kamu nggak mau saya terima makanan dari dia, saya turuti Ne."
"Terserah. Aku nggak peduli. Kita ngga punya hubungan apa-apa lagi."
Mas Darma tiba-tiba membalikkan tubuhku. Ia menatapku, kali ini dengan tatapan tajamnya.
"Apa?" Tanyaku balas menatapnya tajam.
"Kita sudah tidur bersama, Ne. Kamu nggak menganggap itu spesial? Kamu nggak menganggap bahwa kita bisa kembali baik-baik seperti dulu?"
Aku dengan cepat menggeleng.
"Kamu juga tidur dengan Rumi. Apa kamu nggak menganggap dia spesial? Kenapa nggak kamu nikahi saja dia biar kamu bisa lebih bebas untuk menafkahinya? Bukannya kamu cinta banget sama dia? Ayu bilang kamu sering datang ke rumahnya, dia juga sering kirim foto kamu waktu disana. Sama anak-anaknya, sama Rumi. Bahkan ada satu foto kalian pergi ke pusat perbelanjaan bersama, layaknya keluarga kecil. Kenapa nggak langsung kamu nikahin saja dia?! Sana urus dia dan anak-anaknya!!" Aku melemparkan bantal kearah muka Mas Darma dengan perasan marah yang kembali bangkit menyeruak di hatiku.
"Saya nggak mau dia Ne! Saya cuma kasihan sama anak-anaknya! Berapa kali harus saya katakan bahwa saya sudah tidak mencintai Rumi?!"
"Sejak kapan?" Tanya ku dengan nada menantang.
"Sejak saya memutuskan untuk menikahi kamu! Sejak saya memutuskan untuk menjalani dan memulai kehidupan baru bersama kamu, Ne!"
Hampir saja aku melemparkan makian padanya, namun ku urungkan karena yang ku tangkap di kedua mata Mas Darma adalah sebuah kejujuran.
"Mungkin kamu beranggapan bahwa saya tidak menganggap kamu spesial di hati saya. Tapi kamu salah Ne! Kamu salah! Kamu adalah wanita paling berarti di hidup saya, kamu wanita yang spesial di hati saya! Kamu ibu anak-anak saya!"
"Kamu menganggap aku spesial cuma karena aku ibu dari anak-anakmu, Mas. Nggak lebih kan?" Aku kembali memprovokasinya, aku ingin mengorek semuanya.
Dia harus tau apa yang selama ini mengendap di hatiku.
"Kamu yang beranggapan seperti itu, Ne! Kamu yang terlalu menganggap remeh perasaan saya! Kamu yang sebenarnya tidak pernah yakin dan percaya sama perasaan saya ke kamu!"
"Pikiran kamu penuh akan Rumi! Kamu selalu beranggapan tidak ada satupun orang yang mencintai kamu! Saya setia sama kamu, Ne. Walaupun pada kenyataannya saya tidak terbuka sama kamu, tapi tidak pernah sekalipun saya berniat menduakan kamu, meninggalkan kamu. Tidak pernah, Ne! Tidak pernah!"
"Saya akui saya salah, Ne. Saya akui saya yang memulai semua ini dengan tidak jujur tentang bantuan saya ke Rumi. Saya yang salah, Saya! Saya melakukan itu semata-mata agar kamu tidak terluka, saya tidak mau kamu berfikir aneh tentang saya atau dia. Tapi saya tidak menyangka bahwa akan berakhir seperti ini, Ne. Saya tidak pernah berharap kita berakhir."
"Saya cinta kamu dan anak-anak, Ne. Selama kita menikah, selama kita bersama, yang saya cinta hanya kamu dan anak-anak kita. Sepuluh tahun kita bersama Ne, kamu pikir hati saya ini terbuat dari batu hingga saya tidak bisa mencintai kamu? Saya cinta kamu Ne! Dan berpisah dari kamu membuat saya gila!"
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Kedua
RomanceAdine Farra memilih bercerai saat menyadari bahwa ia menjadi wanita kedua, pilihan terakhir dari sang suami. Ia lebih memilih menghancurkan pernikahan yang sudah sepuluh tahun terakhir ini dijalaninya setelah tau bahwa sang suami tidak pernah bisa s...