5. 💯

3.4K 236 1
                                    

Pagi harinya, Xander sudah berada di kampus berjalan di koridor menuju ruang kelas di pertengahan koridor cowok itu di kejutkan dengan kedatangan Devan yang tiba-tiba merangkul dari samping, "anj_ gue kaget", umpat Xander langsung mendorong tubuh Devan menjauh, Devan terkekeh melihat wajah Xander yang terlihat di tekuk.

"Ngak usah marah-marah pms lo", ujar Devan.

Xander memutar bola mata malas berhenti melihat kedatangan para pengurus senat membuat semua pasang mata spontan menatap ke arah mereka, "lebay bangat ngak sih, cuma manusia kok bukan alien di liatin kek gitu amat", celetuk Devan tiba-tiba, Xander menabok pundak temannya itu keras kembali berjalan menuju kelas.

"Gimana kelanjutan kasus kemarin ?", tanya Xander setelah sampai di kelas.

Devan menoleh menghembuskan nafas, "gue juga bingung Xan, keluarga korban tiba-tiba ngak mau melanjutkan penyelidikan tentang kematian anak mereka, padahal awalnya keluarga korban sangat ngotot untuk menemukan pelaku, saat di tanya alasan keluarga korban enggan memberi tahu", jelasnya dengan suara pelan agar tidak terdengar orang lain selain Xander.

Xander menyeritkan kening, "keputusan om Zein gimana ?", tanya Xander lagi.

"Ayah terpaksa mengikuti permintaan atasan yang setuju dengan keputusan keluarga korban untuk berhenti menyelidiki, hm tapi ada hal yang begitu gue takuti Xan", ujarnya terdengar lirih.

"Apa ?", tanya Xander.

Devan menghembuskan nafas tatapan nanar terlihat jelas dari pancaran mata cowok itu, "gue takut kecewa dengan ayah gue sendiri, kemarin setelah sampai di rumah gue sengaja mancing ayah soal kasus ibu lo tapi ayah enggan menanggapi, gue rasa ayah menghindari pembahasan tentang kejadian dua tahun lalu", ujarnya jujur.

Nafas Xander tercekat, diam-diam kepalan tangan di bawah meja menguat menahan gejolak yang tiba-tiba muncul di hati mendengar pengakuan cowok itu, polisi menyembunyikan sesuatu tentang kasus ibunya, "gue mau nanya sama lo, jika gue tetap maju menyelidiki tentang kasus yang menyangkut kematian ibu dan suatu saat nanti semuanya terbongkar membuat lo kecewa dengan hasilnya, menurut lo gimana ?", tanya Xander mencoba terlihat santai.

Devan tersenyum penuh keyakinan menepuk pundak cowok itu pelan, "gue tetap mendukung lo untuk mencari tahu, apapun hasilnya kedepan, walaupun akhirnya gue harus kecewa dengan ayah, lo sudah tahu bagaimana arti ibu Arini untuk gue Xan, beliau memperlakukan gue dengan baik layaknya anak kandung sendiri, maaf tidak mengenali foto-foto ibu dua tahun lalu", ujar Devan merasa bersalah.

Xander tersenyum tipis, "lo pasti ngak bisa mengenali tubuh ibu, di foto wajah ibu tidak nampak sama sekali bagaimana lo bisa mengenali tanpa melihat wajah, lo tidak melihat langsung mayat ibu, berhenti merasa bersalah, satu lagi tetap percaya sama bokap lo", ujarnya mencoba meyakinkan diri dengan kalimat terakhirnya.

Devan tersenyum lega menganggukan kepala, Xander benar-benar tidak berubah sama sekali dari zaman SMP membuat Devan diam-diam bersyukur, tidak lama dosen masuk kedalam kelas.

***

Di ruangan senat terlihat wajah pengurus senat menegang, tidak ada satupun yang mengeluarkan suara setelah melihat sesuatu di dalam kotak yang sudah ada di meja tepat di tengah-tengah, "Sam, kemarin lo paling terakhir keluar dari ruang senat, apa lo tahu tentang kotak ini ?", tanya Marvin dengan tatapan tajam mengintimidasi.

Sam terlonjak menggelengkan kepala, "lo bisa lihat dari cctv Vin", ujarnya terdengar frustasi.

Marvin menghembuskan nafas mencoba mendinginkan fikiran, tentu emosi cowok itu terpancing begitu saja melihat isi kotak, di sana ada foto semua pengurus senat tanpa terkecuali, bukan hanya pengurus inti saja, dengan seekor tikus yang sudah mati begitu mengerikan, tubuh hewan kecil itu terlihat tercabik-cabik.

"Lo tenang Vin, gue fikir ini hanya ulah anak-anak yang benci dengan senat, lo tahu sendiri dari dulu banyak yang membenci kita", ujar Rion mencoba menenangkan Marvin.

"Rion benar Vin, lo harus tenang untuk memikirkan jalan keluar", ujar Atika mengusap pundak cowok itu lembut.

Dilla mendekat membuat semuanya menoleh kompak, "gue sudah cek cctv tapi anehnya setelah beberapa menit Sam meninggalkan kampus cctv tidak beroperasi selama dua puluh menit", jelasnya membuat yang lain menautkan alis bingung.

"Leon, lo bisa mencari tahu siapa yang tengah meretas cctv sampai bisa mengaturnya ?", tanya Marvin.

Leon yang sedari tadi duduk di kursi menatap layar komputer menggelengkan kepala, "ngak bisa Vin, gue sudah coba tapi yang muncul hanya tulisan eror", ujarnya menghembuskan nafas.

"Apa kita harus melapor ke polisi ?", tanya Sam.

Marvin menggelengkan kepala menghembuskan nafas, "gue rasa Rion benar ini ulah anak-anak yang benci dengan senat, dari awal banyak yang tidak suka dengan kita, apa lagi kekuasaan kita di sini, semakin banyak yang suka semakin banyak pula yang membenci kita".

Yang lain mengangguk mengerti, Leon berdiri mengambil alih kotak itu membawa keluar kampus membuang di tempat sampah.

Setelah istirahat tiba Xander dan Devan berjalan menuju perpustakaan bukan untuk tidur, tapi untuk mencari petunjuk tentang kematian ibu Arini, sampai di dalam perpustakaan, keduanya menuju rak paling belakang yang biasa di isi tentang berita kampus, mereka terlalu fokus mencari sampai tidak menyadari kedua gadis yang duduk di kursi menatap dengan alis terangkat, "kalian berdua cari apa ?", tanya Vanes tiba-tiba.

Kedua cowok itu terlonjak hampir mengumpat keras kalau tidak sadar berada di perpustakaan, "cari berita, kita punya tugas", ujar Xander berbohong.

Kedua gadis itu mengangguk percaya kembali melanjutkan mengerjakan tugas, "kenapa kalian duduk di kursi ujung di depan masih ada kosong?", tanya Devan sambil mencari.

"Lebih tenang", ujar Zea seadanya.

Devan menganggukan kepala membiarkan kedua gadis itu fokus mengerjakan tugas, Xander menarik satu buku tipis bersampul warna coklat yang menarik perhatiannya, alis terangkat tinggi melihat buku sedikit berdebu, Xander mengusap sampul buku membelalak kaget tertulis jelas di sampul, "dosen primadona kampus Westren University Arini Wulandari"

Xander perlahan membuka satu persatu lembaran, tersenyum tipis membaca artikel tentang ibunya yang menjadi perbincangan di hari pertama masuk sebagai dosen kampus karena kecantikan yang ibu Arini miliki.

●●●●●

Pembunuhan Di Kampus 💯 (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang