11. 💯

2.7K 204 7
                                    

Sesuai janji sekarang Xander dan Devan berdiri di depan rumah ibu Chika, keduanya saling pandang mengangguk mendekat mengetuk pintu, setelah beberapa menit menunggu seorang wanita paruh baya keluar dengan wajah sembab, terlihat sangat kusut juga lemas, mata wanita itu terbelalak kaget melihat wajah Xander dan Devan hendak menutup pintu namun dengan cepat Xander memahan.

"Bu, jangan di tutup dulu biarkan kami bertanya terlebih dahulu", ujarnya lembut memohon.

Mendengar permohonan cowok itu ibu Chika akhirnya membuka pintu lebar mempersilahkan kedua cowok itu masuk, Devan meringis melihat rumah sederhana yang terlihat begitu berantakan, "ibu apa kabar ?", tanya Xander mengusap lembut tangan ibu Chika.

Air mata kembali jatuh membasahi pipi terisak pelan, "ibu ngak kuat hiks, anak ibu pergi begitu mengenaskan, ibu ngak punya siapa-siapa lagi sekarang", lirihnya

Devan mengatupkan bibir ikut merasakan sakit, "kenapa ibu meminta polisi menutup dan tidak melanjutkan penyelidikan ?", tanya Xander masih dengan intonasi lembut seakan takut ibu itu merasakan sakit karena suaranya.

Nafas ibu Chika tercekat mendengar pertanyaan cowok itu, kembali histeris menggelengkan kepala, Xander meringis menarik kedalam pelukan mengusap punggung wanita itu lembut menenangkan, Devan memalingkan wajah tidak kuat melihat bertapa kacaunya ibu Chika sekarang, "hiks dia mengancam saya untuk meminta polisi berhenti menyelidiki, katanya orang seperti kami tidak akan bisa melawan", ujarnya.

Xander melepas pelukan menatap wajah ibu Chika lekat, Devan menoleh menatap dengan alis terangkat tinggi, cowok itu kini mendekat bersimpuh menatap ibu Chika tersenyum lembut, "siapa yang mengancam ibu ?", tanya Devan sama lembutnya dengan Xander.

Ibu Chika menghembuskan nafas panjang mencoba menghentikan tangisan, "salah satu polisi yang ada di rumah sakit".

Ddddddduuuuuuaaaaaaaarrrrrr

Xander dan Devan saling pandang dengan detak jantung tidak menentu, "apa ibu mengenal siapa polisi yang mengancam ibu ?", tanya Xander

Ibu Chika menggelengkan kepala, "saya tidak melihat wajahnya, hanya saja orang itu salah satu polisi yang ada di rumah sakit saat mayat Chika di otopsi masih menggunakan seragam polisi memakai masker hitam menutupi sebagian wajah", ujarnya masih mengingat begitu jelas.

"Apa ibu yakin jika polisi itu adalah salah satu polisi yang berada di rumah sakit ?", tanya Devan semakin lemas.

Ibu Chika menganggukan kepala yakin, "ibu yakin, karena polisi di rumah sakit ada lima orang saat mayat Chika di otopsi, tidak ada tambahan sama sekali", ujarnya.

"Ibu tahu pangkat polisi yang mengancam ibu ?", tanya Xander lagi.

Ibu Chika menggeleng, "orang itu memakai jaket kulit berwarna coklat tapi tidak terkancing sehingga seragam di dalam terlihat jelas tapi saat kembali dari toilet ada tiga polisi yang menggunakan jaket kulit senada", jelasnya.

Tubub Devan bergetar mundur mencoba menguasai diri, "siapa di antara ketiga polisi itu bu ?", tanya Devan dengan suara bergetar lirih terlihat menahan tangis.

Ibu Chika menipiskan bibir tidak mengerti perubahan mimik wajah kedua cowok itu, "pak Zein, pak Rizal dan pak Temi", ujarnya mengenal kelima polisi semalam karena di rumah sakit mereka memperkenalkan diri sebelum mayat Chika di tangani

Deg

Devan teruduk, air mata keluar tanpa permisi, dada sesak menggelengkan kepala kecurigaannya pada ayahnya semakin menumpuk di dalam hati, Xander mengatupkan bibir menepuk pundak Devan pelan menenangkan, "makasih infonya bu, ibu harus kuat, tetap bertahan demi anak ibu, almarhumah tidak mungkin bisa melihat ibunya hidup terpuruk karena kepergiannya", ujar Xander mengusap lembut punggung ibu Chika menguatkan.

Hati ibu Chika menghangat tersenyum tipis menganggukan kepala, kedua cowok itu keluar, Devan mengusap wajah kasar frustasi memggelengkan kepala benar-benar takut fikiran negatifnya benar-benar terjadi,"lo ikut gue pulang ke rumah bersihkan diri, setelah itu gue bawa lo ke tempat yang bisa membuat hati lo tenang", ujar Xander.

Devan melirik menganggukan kepala menaiki motor mengikuti Xander dari belakang, sampai di rumah milik cowok itu Devan kembali meringis ingata  tentang ibu Arini muncul begitu saja, melihat ekpresi wajah cowok itu Xander menepuk pundak Devan pelan menenangkan, "sana masuk langsung mandi, kita nongkrong di luar sampai malam, di jamin suasana hati lo berubah", ujar Xander tersenyum tipis.

"Lo ngak bawa gue ke gudang milkita kan ?", tanya cowok itu menatap menyelidik, Xander memutar bola mata malas, "untuk apa gue bawa lo, ck ngurangin milkita gue aja", ujarnya.

Devan melongo mendengus kesal masuk kedalam kamar mandi membersihkan tubuh menganti pakaian dengan pakaian milik Xander, setelah selesai Devan berbaring di tempat tidur Xander menunggu cowok itu termenung menatap langit-langit kamar Xander, dadanya kembali sesak, tersentak mendengar pintu kamar mandi terbuka.

"Ngak usah melamun lo, ayo berangkat", ujar Xander tidak lupa mengambil milkita di meja belajar di dalam toples, Devan sampai meringis, "lo ngak pernah sakit gigi, Xan, liat aja gigi gue langsung ngilu", ujarnya.

Xander menggelengkan kepala keluar kamar, setelah mengunci pintu kedua cowok itu mendekati motor masing-masing menancap gas menuju tempat yang di janjikan Xander, alis Devan terangkat tinggi melihat Xander berhenti tepat di depan cafe yang terlihat begitu damai.

"Gue ngak tahu ada cafe senyaman ini", celetuk Devan mendekati Xander yang sudah duduk di samping kolam ikan.

Xander tersenyum tipis, "lo lebih ngak nyangka kalau lo tahu siapa penilik cafe ini", ujarnya membuat Devan menyeritkan dahi penasaran.

"ZEANNEEEEE AWAS LO"

Teriakan keras dari dalam membuat kedua cowok itu tersentak, Xander menahan tawa melihat ekpresi Devan, "jangan bilang _".

"XANDER"

"DEVAN"

Teriakan kompak dari kedua gadis itu berlari kecil mendekat membuat kedua cowok itu meringis menggelengkan kepala, "ck tingkah kalian ngak pernah berubah", celetuk Devan menghembuskan nafas panjang.

"Bacot Dev, kalian mau pesan apa biar gue langsung yang bikinkan", ujar Zea.

Devan berfikir sejenak menyebutkan pesanannya juga pesanan Xander, Zea meninggalkan ketiga terlebih dahulu masuk ke dalam membuatkan pesanan mereka, "wah makasih ya datang ke cafe milik Zea, sering-sering datang", ujar Vanes tersenyum manis menatap wajah kedua cowok itu.

"Ehmm iyaa Nes iya", ejek Xander

Vanes melototkan mata garang, Devan menautkan alis tidak mengerti satu yang pasti Xander benar suasana hatinya berubah begitu saja.

●●●●●

Pembunuhan Di Kampus 💯 (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang