19. 💯

2.4K 192 7
                                    

Keempatnya masih berdiri di koridor hendak kembali melangkah menuju kelas masing-masing namun langkah mereka berhenti melihat Nina baru saja datang dengan mata sembab, "Nin", panggil Devan lembut membuat gadis cantik itu menoleh tersenyum tipis berjalan mendekat, Vanes mengigit bibir bawah merasa cemburu namun sekuat tenaga gadis itu menguasai diri tidak memperlihatkan, tentu Zea yang sudah paham menggenggam tangan sahabatnya itu memberi kekuaran.

Diam-diam Xander memperhatikan mengulum bibir menahan senyum, walaupun sering berdebat, semua hal mereka perdebatkan tapi tidak menutup kemungkinan keduanya sama-sama saling peduli satu sama lain, "hy", sapa Nina ramah.

"Lo kenapa ? Masih sedih soal Saskia, lo harus ikhlasin agar dia tenang di alam sana", ujar Devan mencoba menguatkan

Nina menghembuskan nafas dengan tatapan nanar, "makasih, gue juga sedih setelah Saskia di makamkan tiba-tiba orang tuanya pindah ke semarang".

Deg

Xander dan Devan saling pandang, "apa orang tua Saskia memberi tahu alasan mereka pindah ?", tanya Xander angkat bicara membuat Nina menoleh menggelengkan kepala lesu.

"Mereka tidak mengatakan apa-apa soal kepindahan mereka yang tiba-tiba hanya saja sebelum pergi orang tua Saskia memberi pesan sama gue katanya ngak perlu penasaran tentang kematian Saskia ikhlasin saja kalau tidak nyawa gue akan melayang lebih mengerikan di bandingkan yang Saskia alami dan juga keluarga gue akan ikut menanggung akibatnya", ujar Nina menyampaikan pesan orang tua Saskia sebelum berangkat menuju bandara.

Tanpa sadar kepalan tangan Xander menguat menahan emosi, Devan mencoba menguasai diri perasaan cemas muncul di hati, fikiran tentang ayahnya semakin menjadi, kecewa menyeruak di dalam sana semakin besar, "Xan, ayok ke kelas, kalian juga sekarang ke kelas masing-masing", ujar Devan terdengar lesu.

Zea dan Vanes menautkan alis bingung merasakan perubahan cowok itu, berbeda dengan Nina yang tidak menyadari menganggukan kepala bergegas pergi, "Dev, lo ngak apa-apa ?", tanya Vanes memberanikan diri.

Devan mengerjapkan mata tersenyum tipis melihat wajah khawatir yang terpancar jelas di wajah gadis itu, "gue ngak apa-apa makasih sudah khawatir", ujarnya mengacak rambut Vanes gemas sebelum beranjak pergi bersama Xander, Vanes mengerjapkan mata dengan mulut sedikit terbuka tidak percaya, rasa panas sudah menjalar di wajah gadis itu.

"Ck gini nih kalau sakit cinta, woy sadar Nes", teriak Zea membuat Vanes tersentak kaget hanya tiga detik karena setelah itu Vanes memekik senang berjalan meloncat kecil menuju kelas, Zea tersenyum tipis menggelengkan kepala menoleh menatap punggung kedua cowok itu yang sudah menjauh dengan pandangan menyendu.

***

Zein menghembuskan nafas lelah duduk di ruang keluarga belum beranjak sedikit pun, fikirannya di penuhi dengan kasus yang terjadi di westren university, perlahan pria itu menarik kotak di bawah meja yang tertutup taplak meja membuka memperlihatkan berkas-berkas menumpuk di dalam sana terlihat jelas di sampul, "kematian Arini Wulandari",

Zein mengambil satu foto yang memperlihatkan seorang remaja yang beridiri menatap ke arah depan, "kamu di mana ?, saya sudah mencari tapi tidak kunjung bertemu, maaf belum bisa menegakan keadilan untuk ibu kamu, jika benar kamu masih hidup tolong muncul ke hadapan saya, kita berjuang sama-sama untuk keadilan ibu kamu", lirihnya mengusap foto di sana.

Pria itu kembali meletakan foto di sana mengambil berkas terkait orang-orang yang di curigai menjadi tersangka, semua pengurus senat ada di dalam beserta anak jurnalistik, bukan hanya itu banyak mahasiswa yang masuk ke dalam daftar di curigai, bahkan Atika dan Dilla termasuk di dalamnya bukan tanpa alasan pria itu memasukan tapi karena pria itu tahu bertapa bencinya kedua gadis itu pada ibu Arini karena mengambil perhatian pengurus senat lainnya.

"Maaf Bram, belum bisa memberi keadilan untuk istri kamu, maaf belum bisa menemukan anak kamu yang saya anggap masih hidup, maaf belum bisa menepati janji melindungi orang yang kamu cintai", lanjutnya lirih menutup berkas bersandar di sofa menatap langit-langit ruangan, kenangan tentang dia dan Bram terngiang, masih jelas pesan pria itu pada Zein sebelum meninggal.

"Zein, kamu sudah tahu kan aku ngak punya siapa-siapa selain kamu yang masih tetap setia menjadi sahabat sampai sekarang, aku sulit percaya pada siapapun selain kamu, aku punya anak seumuran dengan anak kamu, aku titip istri dan anak aku ya, jaga mereka anggap mereka seperti keluarga kamu sendiri".

Zein meringis dada bergemuruh mengepalkan tangan semua kejadian-kejadian berputar dalam fikiran seperti film layar lebar.

"Kamu gila hah, ngak, kamu ngak perlu menghadapi dia sendirian Arini, aku sudah janji pada Bram untuk melindungi kamu, tunggu aku pulang kita hadapi lenguntit itu bersama", ujar Zein nampak tidak terima keputusan wanita itu.

Ibu Arini tersenyum tipis menatap sendu ponselnya, "aku akan menghadapinya sendirian Zein, makasih sudah melindungi aku dan anakku selama ini walaupun kamu belum pernah melihat wajah anakku", ujarnya terdengar lirih.

Zein mengusap wajah kasar terlihat sangat frustasi, "Arini kamu tunda pertemuan sama penguntit itu, aku akan pesan tiket pesawat untuk pulang hari ini juga, kenapa kamu ngak bilang dari awal Arini tentang masalah ini?", tanyanya terdengar geram.

Ibu Arini terkekeh, "kamu sangat mirip dengan Bram jika menyangkut keselamatan aku dan anak, Bram akan bertingkah kayak kamu sekarang".

"Berhenti tertawa Arini, aku segera pulang, untuk menghadapi langsung penguntit itu dan bertemu anak kamu", ujarnya meminta bawahannya memesan tiket untuk pulang ke jakarta.

"Aku tunggu kepulangan kamu, anakku sedang tidak di sini dia ada di luar kota ada acara sekolah di luar", ujar Arini meringis perlahan air mata keluar membasahi pipi.

Zein mematikan ponsel kembali ke penginapan membereskan semua barang-barang setelah tiket sudah di pesan, "Arini jangan buat hal yang nekat, tolong jangan bertingkah seperti almarhumah istri aku", ujarnya.

Namun nas sampai di jakarta kabar mengerikan yang Zein dapatkan Arini sudah meninggal di kampus, tanpa pulang ke rumah Zein langsung bergegas menuju kampus dengan perasaan hancur penuh rasa sesal.

"Maaf Bram", lirihnya menutup mata cairan bening keluar dari sela-sela mata.

●●●●●

Pembunuhan Di Kampus 💯 (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang