13. 💯

2.6K 200 3
                                    

Devan masuk kedalam rumah tepat pukul 11.15 malam, awalnya cowok itu enggan pulang ke rumah namun Xander mengingatkan cowok itu agar tidak menghindar, semuanya belum jelas tidak seharusnya langsung mengambil kesimpulan, Devan berhenti di ambang antara ruang tamu dan ruang keluarga menatap punggu Zein yang tengah berdiri menerima panggilan, cowok itu menghembuskan nafas bergegas masuk kedalam kamar tanpa menyapa.

Zein yang menyadari kehadiran anaknya melirik dengan alis terangkat tinggi tidak biasanya Devan tidak menyapa sesibuk apapun Zein, "baik pak saya tutup dulu", ujarnya mematikan panggilan memghembuskan nafas lelah duduk di sofa menyandarkan tubuh menutup mata.

Devan yang sudah berbaring di tempat tidur menatap langit-langit kamar, dada sesak mengingat pengakuan Marvin dan ibu Chika, "gimana kalau ayah yang keduanya bicarakan tadi", gumamnya menekan dada yang semakin terasa sesak begitu takut kecewa dengan orang yang selama ini jadi panutannya.

Jauh dari kediaman Devan terlihat seorang cowok masuk kedalam rumah besar layaknya istana dengan keadaan lemas berhenti mengerjapkan mata menatap seorang pria paruh baya yang kini berdiri bersedekap dada menatap tajam ke arah cowok itu, "MARVIN", bentak pria itu.

Marvin hanya diam menipiskan bibir enggan untuk menanggapi bergegas beranjak pergi, "Marvin, siapa yang ajarin kamu mabuk-mabukan hah, kayak ngak perna di didik saja kamu itu", omel pria itu mendengus kesal.

Cowok itu berhenti tepat di dekat tangga kembali menoleh terkekeh sinis, "lah bukannya dari kecil aku ngak pernah didik ya, punya ayah serasa anak sebatang kara", ujarnya kembali melangkah menuju kamar, pria itu menipiskan bibir bungkam dengan ucapan anak semata wayangnya itu.

Pria itu sadar selama istrinya meninggal tidak ada waktu sekedar bercengkrama dengan anaknya, selama ini keduanya mengobrol seadanya saja, pria itu menghembuskan nafas mengusap wajah kasar, selama ini dia terlalu egois untuk menyembuhkan luka hati karena di tinggal istri anaknya terimbas.

Marvin berbaring di tempat tidur ingatan tertuju pada sosok ibu Arini perlahan air mata keluar membasahi pipi.

Flashback

Marvin berjalan dengan santai bersama Rion, Sam dan Leon, seperti biasa selalu menjadi pusat perhatian semenjak menjadi mahasiswa di kampus langkahnya berhenti membuat ketiga cowok itu berhenti melihat seorang wanita paruh baya berjalan dari arah koridor di depan mereka, paras cantik senyuman menawan mampu membuat keempat cowok itu terpesona begitu saja.

"Permisi, kalian tahu di mana ruangan dosen fakultas Teknik, kebetulan saya dosen baru di sini belum sempat keliling kampus", ujarnya berhenti menatap wajah ke empat cowok itu yang terlihat masih terdiam.

"Eh di sana bu kebetulan kami jurusan teknik biar kami antar bu, oh iya kenlin bu Leon", ujar Leon tersadar memperkenalkan diri.

"Arini Wulandari panggil saja ibu Arini", ujar wanita itu, senyuman cantik di wajahnya belum memudar sama sekali.

Leon menyadarkan ketiga sahabatnya yang terlihat masih terpesona, "eh, Marvin bu", ujar Marvin setelah tersadar ikut memperkenalkan diri.

"Arion bu".

"Samuel bu Arini".

Ibu Arini terkekeh menjabat bergantian tangan ketiga cowok itu, "yaudah bisa antar ibu ke ruangan dosen fakultas teknik", ujarnya lagi.

Keempat cowok itu berjalan beriringan menuju fakultas teknik bahkan mengantar ibu Arini sampai ke ruangan dosen sebelum kembali ke ruang kelas.

Tepat istirahat tiba, Marvin menyendiri di taman belakang menatap kedepan dengan pandangan kosong, tersendak begitu kaget merasakan tepukan dari bahunya, cowok itu menoleh membelalak melihat ibu Arini berdiri di belakang dengan senyuman cantik yang menenangkan.

"Kenapa? ada masalah ? Ibu tadi keluar dari toilet tidak sengaja lihat kamu berjalan ke sini dengan lesu", ujarnya.

Marvin menahan nafas terpesona tersenyum miris kembali menoleh ke depan, "hanya kesepian bu, mama sudah meninggal waktu aku kecil, sedangkan ayah selalu sibuk", ujarnya dengan suara lirih.

Ibu Arini mengusap rambut Marvin lembut layaknya anak, tentu melihat Marvin seperti itu mengingatkan pada anaknya yang masih SMA, "ibu dosen baru di sini, ini hari pertama ibu masuk, tapi ibu tidak akan menghalangi kamu kalau mau menganggap ibu sebagai ibu kamu, curahkan semua perasaan kamu pada ibu, jangan pernah merasa hidup sendirian, kamu banyak teman di tambah sekarang ada ibu".

"Ayah kamu menyibukan diri untuk masa depan kamu, satu lagi yang harus kamu tahu seseorang yang sudah di tinggalkan pasangannya butuh waktu yang lama untuk menyembuhkan luka di hatinya, apa lagi jika pasangan kita adalah orang yang sangat kita cintai, begitupun dengan ayah kamu, alasan sibuk bukan hanya untuk masa depan kamu tapi untuk menyembuhkan luka hati", lanjut ibu Arini lembut.

Tentu dia memahami hal seperti itu karena ibu Arini sudah merasakan kehilangan pasangan hidup, bahkan sampai kapan pun suami ibu Arini tidak pernah tergantikan di hati wanita paruh baya itu.

Sejak saat itu kehidupan Marvin berubah begitu saja, sosok yang biasanya datang ke kampus dengan wajah masam, cuek tidak peduli berubah begitu saja menjadi Marvin di masa remaja dulu, ramah dan peduli, sejak saat itu Marvin semakin dekat dengan ibu Arini, namun tanpa tahu kedekatan mereka membawa petaka besar untuk ibu Arini.


Marvin mengusap wajah kasar menutup mata ingatan tentang ibu Arini masih terngiang jelas pada ingatanya, cowok itu meringis merasakan sakit yang luar biasa di hati mengingat bagaimana kondisi ibu Arini saat di temukan di koridor menuju ruang dosen fakultas kedokteran, tentu cowok itu tahu kenapa ibu Arini berada di ruangan dosen fakultas kedokteran waktu itu, karena setiap minggunya ada waktu untuk dosen berkumpul di ruangan dosen setiap fakultas.

Ayah Marvin sengaja memberi peraturan seperti itu agar semua dosen di kampus saling mengenal dan akrab satu sama lain, peraturan itu tentu di ketahui semua orang, ayah Marvin sudah menyiapkan ruangan seperti aula setiap jurusan khusus untuk dosen.

"Maaf bu, maaf, karena aku ibu Arini meninggal, aku yang membuat kehidupan ibu hancur seperti ini maaf bu maaf, kalau aku kita tidak pernah dekat ibu sekarang masih ada di sini", lirihnya menutup mata menikmati rasa sakit di dalam hati yang terasa semakin menyakitkan

●●●●●

Pembunuhan Di Kampus 💯 (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang