Sebelum Pulang

86 7 1
                                    

"GOOD MORNING, SUNSHINE," sapa Darpa yang baru bergabung dengan kita di meja makan. "Aduh orang-orang masih pada bau jigong ini udah berkumpul aja."

Kurang ajar sekali bicaranya tapi entah mengapa aku tertawa dan malah menatapnya geli. Pagi ini, dia sudah rapi dengan celana training serta kaos polo berwarna hitam. Tidak lupa topi dengan warna senada sudah bertengger di atas kepalanya.

"Rapi amat," cibir Mas Brian.

"Iya, dong. Gue mau ke CFD." Kemudian Darpa mengisi kursi di samping kiri aku yang kebetulan memang kosong. "Ikut gue yuk, Mbak? Biar gue gak keliatan jomlo."

"Dih, beraninya ngajak istri orang jalan di depan suaminya sendiri. Punya nyawa sembilan lo?" Dari arah samping kanan, Mas Je protes dengan suara yang nyaring.

"Pelit amat sih, Bang. Kan cuma gue pinjem sebentar."

Aku memundurkan badan untuk memberi ruang kepada Mas Je yang sudah mengambil ancang-ancang agar leluasa melemparkan satu buah roti tawar ke arah Darpa. Dan, syung, roti tawar itu pun mendarat dengan sempurna di wajah Darpa. "Istri gue bukan barang yang bisa lo pinjem seenaknya ya, Jing."

Haduh. Kok malah dibawa serius oleh Mas Je sih? Padahal aku tak apa dan aku menganggap ucapan Darpa tadi hanyalah candaan.

"Udah, mending lo pergi ke CFD-nya sama gue aja yuk, Dar?" Witton segera bangkit setelah mendengar alarm tanda bahaya yang berbunyi dalam diri Mas Je.

Berbeda dengan Darpa yang masih terlihat santai, bahkan dia masih sempat mengunyah roti hasil lemparan Mas Je sebelum akhirnya mengikuti langkah Witton yang akan berganti pakaian. "Pagi-pagi udah sensi aja. Kayak cewek lagi PMS."

"Gue masih bisa denger ya, Darpa."

Witton bergerak menarik lengan Darpa untuk menjauh dari area ruang makan. Sedangkan aku menatap Mas Je yang kini wajahnya sudah tertekuk.

"Sabar, Mas."

"Hadeuh, udah lama gue gak liat pemandangan kayak gini," komentar Mas Shiddiq yang sedaritadi hanya menjadi penonton bersama Mas Brian.

Mas Brian tertawa. "Bener, Bang. Masih rame ternyata."

Well, itu sebuah pembuka hari yang berbeda dengan hari-hari yang biasa aku jalani.

***

Setelah dibujuk oleh Mas Brian, akhirnya Mas Je mau dibawa juga ke CFD. Dan di sini lah kita sekarang berada. Jika Darpa, Witton dan Mas Shiddiq sedang ber-jogging ria. Maka aku, Mas Je dan Mas Brian berada di tim yang sibuk hunting makanan di sepanjang jalan ini. Dengan Mas Brian menjadi pemandu acara.

Sedaritadi Mas Brian selalu membawa kita ke tempat-tempat makanan yang cita rasanya sangat enak. Seperti sekarang, kita tengah menikmati dimsum yang enak sekali.

"Mas Brian sering pergi ke acara kayak gini, ya?"

Lelaki di hadapanku itu mengangguk semangat dengan mulut yang penuh dengan dimsum. Lalu aku menoleh saat merasa lenganku disentuh. "Kenapa, Mas?"

"Mau yang itu satu, Shay." Mas Je menunjuk makanan yang jauh dari jangkauannya membuat aku bergerak mengambilkannya satu menggunakan sumpit dan menyodorkan itu ke pada Mas Je. Aku kira dia akan mengambil alih makanan itu menggunakan sumpitnya sendiri tapi ternyata aku salah. Mas Je malah mendekatkan wajahnya dan langsung menyuap makanan itu. "Makasih, Shay."

Aku mengerjap pelan sebelum akhirnya menoleh ke arah Mas Brian yang kini berbicara. "Iya, La. Gue sering banget diajak Darpa ke sini."

"Oh, jadi ini acara rutin setiap minggu, Mas?"

"Kadang iya. Kadang nggak. Semaunya warga sini aja, La."

Bisa begitu, ya.

"Kenapa, Mas?" Aku menoleh kembali ke arah Mas Je yang baru saja menepuk-nepuk lengan kananku.

"Mau minum," katanya membuat aku bergerak mengambil air putih dan memberikannya kepada Mas Je.

Namun tiba-tiba perhatian kita teralihkan saat terdengar suara teriakan yang sangat keras, "HUAAAAAAA BUNDAAAAA."

Aku mengerjapkan mata setelah melihat kejadian yang berlangsung dengan cepat itu. Di mana Witton serta Darpa yang berlari kencang, kemudian disusul oleh seekor anjing berbadan besar tengah mengejar dari belakang mereka. Dan di barisan terakhir, ada Mas Shiddiq dan satu orang pria yang tidak dikenal olehku tengah mencoba menyusul ketiga makhluk di depan sana.

Ya ampun. Ada-ada saja.

***

Mas Je memutuskan untuk kembali pulang ke rumah pukul empat sore. Dan setelah siap aku ke luar dari kamar yang semalam kita tempati diikuti oleh Mas Je dengan membawa koper kami.

Di ruang tamu, teman-teman Mas Je sudah berkumpul.

"Bang, beneran mau pulang sekarang?" Tanya Darpa yang entah kini terlihat sedih. Padahal saat aku dan Mas Je datang, cowok itu terlihat jual mahal.

"Iya. Males lama-lama sama lo."

"Nanti juga lo bakal kangen gue." Dengan secepat itu, wajah Darpa langsung berubah menjadi tengil khas dirinya.

"Gue? Sorry to say aja nih ya, tapi gak bakal. Palingan lo yang kangen sama gue."

Tanpa disangka Darpa malah mengangguk setuju. "Iya, Bang. Gue bakal kangen lagi."

"Giliran pisah saling kangen. Kalau disatuin malah ribut terus," sindir Mas Shiddiq.

"Ya itu love languange mereka, Bang."

"Syahla, jangan kapok main ke sini ya." Masih saja Mas Brian salah menyebut namaku.

"Gak akan kapok, Mas. Kalian semua bener-bener baik banget sama aku. Makasih banyak udah nerima aku selama di sini, ya." Aku bergerak untuk menyalami mereka satu persatu.

"Sama-sama, Syahla."

"Masama, Shayla."

"Kita juga berterima kasih banget, La. Karena lo udah bawa Je ke sini." Aku mengangguk sambil menatap Mas Shiddiq. Walaupun aku tak mengerti mengapa Mas Shiddiq dari kemarin berterima kasih pada hal yang sama. Padahal kan yang membawaku ke sini tuh Mas Je. Bukan sebaliknya.

"Mbak, boleh peluk?" Aku menatap Mas Je meminta pendapatnya.

"Satu menit. Gak lebih."

Mendengar itu, Darpa langsung menghambur ke pelukanku. "Mbak, makasih banget. Gue seneng Bang Je punya lo. Dia beruntung banget. Jaga dia di sana ya, Mbak. Biar gue gak khawatir di sini." Aku menahan tangis saat Darpa membisikkan kalimat-kalimat itu. Padahal, sebenarnya aku yang lebih beruntung bisa bertemu dengan Mas Je.

"Iya, Darpa." 

"Udah, lepas." Mas Je menarik tubuh Darpa menjauh dariku. Membuat aku terkekeh dan Darpa berseru tak terima.

Kini bagian Mas Je yang berpamitan dengan teman-temannya. Mereka bertos dan berpelukan ala lelaki. Tapi yang membuatku sedikit tertegun yaitu ketika Mas Je dan Darpa berpelukan. Durasi mereka lebih lama dibanding dengan yang lain. Apalagi kini Darpa sedang menangis di pelukan Mas Je. "Bang, lo janji ya bakal ke sini lagi?"

"Liat nanti aja."

"Gak. Harus janji. Dan lo harus nepatin itu. Pokoknya harus balik lagi sama kita-kita." Aku tidak tahu alasan apa yang membuat Mas Je meninggalkan teman-temannya ini beberapa tahun yang lalu.

"Shay?"

"Iya, Mas?" Aku menoleh ke arah Mas Je yang tengah fokus mengendarai mobilnya. "Di deket sini ada pantai. Mau mampir dulu?"

"Boleh. Mumpung langit juga lagi cerah."

Here With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang