Pantai

100 10 1
                                    

Kita berdua hanya duduk di atas pasir tanpa melakukan apapun selain memandang ke depan. Di mana pemandangan indah tersaji di sana. Matahari berwarna jingga kemerahan bergerak turun dan sebentar lagi akan tertelan oleh lautan. Belum lagi langit sore hari ini sangat cantik membuatku nyaman berlama-lama menatapnya.

Terasa menenangkan sekali kegiatan ini. Meskipun tak ada kata yang keluar dari bibirku dan Mas Je. Setidaknya masih ada suara ombak sebagai peneman sepi.

Yang kulakukan adalah memikirkan ulang apa saja kegiatan yang telah dilalui selama dua hari ini. Dan yang teringat oleh otakku hanya kegiatan yang membuatku senang. Tentu, di sini aku tak perlu memikirkan pekerjaan kantor dan aku juga terbebas dari gangguan Reno yang selalu menelponku setiap setengah jam sekali. Itu semua berkat Mas Je.

Aku perlu berterima kasih pada Mas Je karena telah menyita ponselku selama dua hari ini. Katanya, selama di sini aku harus menjernihkan pikiran tanpa memegang ponsel dan ternyata menghabiskan waktu tanpa bermain gawai itu tidak buruk menurutku. Namun sesekali Mas Je masih meminjamkan ponselnya agar aku tidak bosan. Padahal tanpa bermain medsos pun aku tak merasa bosan di sini jika tengah bersamanya dan teman-teman Mas Je yang lain.

"Shay?"

"Iya, Mas?"

"Selama dua hari ini kamu seneng gak?"

"Seneng banget, Mas. Aku udah lama gak main kayak gini." Tentu senang karena di sini terasa beda. Tidak seperti weekend-weekend yang biasa aku dan Mas Je lewati sebelumnya karena kita berdua selalu menghabiskan waktu di rumah tanpa melakukan apapun. Kecuali saat Minggu sore akan kita pergunakan untuk berbelanja mengisi keperluan dapur.

"Beneran?"

"Bener, dong."

"Aku ikut seneng dengernya."

Kali ini aku menatap Mas Je yang tengah tersenyum. "Mas Je juga seneng ada di sini?"

"Iya dong, apalagi lihat kamu seneng juga."

Setelah itu kami kembali terdiam. Sepertinya Mas Je tengah memikirkan topik selanjutnya yang akan dibahas bersamaku. Karena sejujurnya, aku bukan tipe orang yang bisa membuka pembicaraan terlebih dahulu. Maka harus Mas Je yang memulai. Beruntung, Mas Je adalah orang yang pengertian. Dia selalu berinisiatif pada semua hal.

"Shayla?"

"Iya, Mas?"

"Masalah di meja makan," Mas Je bergerak menatap ke arahku dan aku ikut menatap kedua matanya yang terlihat ragu untuk melanjutkan kalimat.

Karena aku sudah tahu gambaran apa yang akan Mas Je bahas maka aku memberanikan diri untuk jujur padanya. Sebab, jika aku diam saja, bagaimana Mas Je tahu apa yang dirasa olehku, kan?

"Mas, sebenarnya aku bingung."

"Bingung kenapa, Shay?"

"Setelah kedua orang tuaku pergi untuk selama-lamanya, aku jadi terbiasa tinggal sendirian, Mas. Bahkan dari dulu aku gak punya temen yang bener-bener nemenin aku." Kini, aku yang merasa ragu untuk melanjutkan ucapanku. Namun tatapan yang Mas Je berikan, seolah meyakinkan aku untuk mengungkapkan semua yang tersimpan di dalam benak ini.

Maka, aku memutuskan untuk menumpahkan segalanya. Urusan menyesal atau tidak, itu akan ku kesampingkan terlebih dahulu. "Temen dekat aku ya kedua orang tuaku, Mas. Maka dari itu setelah mereka pergi, tempat ceritaku hilang. Aku selalu mengandalkan diri aku sendiri di setiap kondisi yang aku hadapi. Dan aku udah terbiasa melakukan semua sendirian, Mas. Aku selalu pendam semua yang aku rasa dan simpan itu semuanya sendiri. Jadi, waktu Mas Je menawarkan diri untuk jadi sandaran aku, jujur aku bingung, Mas."

"Kenapa harus bingung, Shay?"

Aku menunduk. "Aku gak tau, Mas."

Ya, diri aku pun tak tahu apa alasannya. Yang pasti, saat ini aku merasa linglung.

"Shayla." Tangan kiri Mas Je bergerak untuk menggenggam tangan kananku. "Pertama-tama aku berterima kasih karna kamu udah mau jujur sama aku. Makasih banyak, Shay."

Hanya dengan kalimat-kalimat itu, aku sudah ingin menangis saja rasanya.

"Tapi, sekarang kamu harus tau kalau kamu gak sendiri lagi. Sekarang kamu punya aku di hidup kamu. Aku emang gak bisa janji untuk selamanya di samping kamu, tapi aku janji untuk berusaha di samping kamu selama aku bernapas. Aku juga janji mau berusaha bawa rasa bahagia di hidup kamu. Kayak yang udah aku bilang, aku gak akan main-main sama pernikahan kita. Waktu aku minta kamu jadi istri aku, itu artinya aku minta kamu untuk jadi pasangan yang bakal nemenin aku sampe aku tua. Aku gak tau ini terlalu cepat atau ngga. Tapi, ayo kita buka diri untuk masing-masing. Kalau ada yang terjadi sama kamu, kamu harus langsung bilang sama aku. Gak boleh dipendem sendiri lagi. Kamu punya aku sekarang." Kali ini, Mas Je bergerak memelukku. "Tolong terima aku ya, Shayla?"

Tanpa membalas pelukannya, aku menjawab, "Iya, Mas." Karena saat ini, aku malah semakin merasa bingung.

Tak berlangsung lama, Mas Je melepaskan aku dari dekapannya. Walaupun lengan kanannya masih berada di kedua bahuku. "Shay?" 

"Iya, Mas?"

"Kamu suka gak sama lingkungan rumah temen-temen aku?"

Sudah kubilang. Mas Je itu selalu bisa membuka pembicaraan. Sebenarnya ia tak suka jika suasana hening. Mas Je akan selalu mengajak berbincang jika sudah 10 menit kita saling diam di mana pun kita berada.

"Suka, kok, Mas. Adem gitu. Gak terlalu sepi tapi gak terlalu rame juga. Kenapa memangnya, Mas?"

"Kalau aku ajak kamu pindah kesini gimana?"

"Pindah rumah, Mas?"

Mas Je mengangguk antusias. "Iya, kamu mau gak?"

Mau. Aku akan langsung membalas seperti itu jika tidak ingat pada satu hal. "Kalau kita pindah, pekerjaan aku gimana, Mas?"

Dalam sekejap, senyum Mas je luntur. Kedua tangannya pun perlahan terlepas dari bahuku. "Ah iya, kerjaan kamu ada di sana."

"Ya udah deh, gak jadi."

Dan aku akan selalu menjadi 'si pemutus' pembicaraan di antara aku dan Mas Je.

Here With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang