Hari ini terhitung hari kedua aku menjadi pengangguran dan aku masih malas untuk bepergian ke mana-mana. Karena lelah di tubuh masih terasa. Tetapi aneh juga jika hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan apapun. Bayangkan saja, sudah bertahun-tahun aku bekerja keras sendirian lalu tiba-tiba aku dipaksa untuk beristirahat yang bahkan aku saja sempat lupa rasanya 'istirahat'.
Namun di pukul dua siang ini aku harus melawan rasa lelahku saat Mas Je tiba-tiba mengajak untuk menonton bioskop. Katanya ia tertarik pada satu film yang bertepatan dengan dirilisnya hari ini. Maka di sini lah kami, Mas Je yang sedang duduk di balik kemudi dan aku duduk di kursi sebelahnya.
"Shay, tadi Mama telepon aku, loh." Ini kalimat pertama dari Mas Je setelah kita meninggalkan rumah sepuluh menit yang lalu.
"Edisi kangen sama anak bungsunya?"
"Nggak. Malah langsung nanyain kabar kamu. Kabar anaknya sendiri mah gak ditanya."
Intro lagu yang baru diputar oleh Mas Je kini terdengar dan secara otomatis menjadi backsound perbincangan kita kali ini. Setelah beberapa kali bepergian bersama, aku jadi tahu kalau Mas Je suka dengan lagu-lagu milik Sheila on 7 dan Fiersa Besari. Salah satunya yang sedang kita dengarkan ini, Tanpa Karena.
"Cemburu gak?" Maksudku, ia cemburu tidak jika Mama lebih dulu menanyakan kabar menantunya daripada Mas Je yang berstatus anak kandungnya.
"Nggak. Biasa aja." Wajah Mas Je benar-benar menunjukkan perkataannya. "Kata Mama, udah dari kemarin kepikiran kamu tapi gak berani telepon ke kamu soalnya takut ganggu dan baru sempet telepon aku sekarang. Ikatan batin Mama sama anak emang kenceng."
"Kenapa takut ganggu, Mas?"
"Mama kan tau akhir-akhir ini kamu lagi sibuk kerja." Benar sih, karena setiap hari Mama selalu menanyakan kabar serta kegiatanku dan tentu aku sangat senang menceritakannya tapi aku tidak terus terang dengan kejadian yang aku alami seminggu ke belakang. Tentunya aku takut Mama akan khawatir jadi beberapa hari ini aku mengatakan kalau aku sedang sibuk bekerja saja.
"Terus Mas Je bilang apa? Kenapa gak panggil aku waktu nerima teleponnya?"
"Aku bilang, kamu lagi sedih karena baru jadi pengangguran kayak suaminya." Jawaban Mas Je memang selalu di luar nalarku.
"Mas? Yang bener aja?"
Dan Mas Je selalu tertawa saat melihat reaksiku atas setiap perkataanya. "Bener. Terus Mama bilang, gak apa-apa. Kamu disuruh Mama ongkang-ongkang kaki sambil porotin aku." Bagaimana aku bisa?Semenjak menjadi istrinya Mas Je, hari-hariku sangat berubah dan semakin random saja. Sudah tidak ada lagi hari yang monoton di hidupku sekarang.
"Jadi, berhenti cari lowongan kerja ya, Shay? Aku masih mampu beliin emas batang sepuluh kilogram buat koleksi kamu, kok."
Aku memang senang mengkoleksi emas Antam. Setiap bulannya aku pasti menyisihkan sebagian gajiku untuk membeli beberapa gram emas. Dan Mas Je tahu kebiasaan aku itu saat pertama kalinya melihat koleksi yang aku miliki di hari kepindahanku ke rumahnya.
Namun kali ini aku lebih tertarik pada satu hal tapi bukan pada penawaran emas sepuluh kilogramnya. "Mas Je, tau aku lagi nyari kerja?"
"Tau. Kamu pernah pake laptop aku juga buat nyarinya, kan?"
Mengapa aku sangat bodoh? Bisa-bisanya meninggalkan jejak di laptop Mas Je yang kemarin sempat aku pinjam. Jika sudah begini, aku hanya bisa terdiam.
"Shayla." Mas Je memanggil. "Kalau aku minta kamu jadi ibu rumah tangga aja, boleh gak? Biar aku yang kerja buat mencukupi semua kebutuhan kamu. Gak perlu khawatir sama kebiasaan yang selalu kamu lakuin setiap kamu gajian, karena kamu masih bisa jalani kayak biasanya kok. Misalnya, beli emas. Semua aku yang jamin."
Dan setelah menjadi istrinya, aku semakin merasa tak pantas untuk bersanding dengan Mas Jheriel.
"Asal jangan Mas-mas jawa. Soalnya kamu udah punya Mas Je yang ini, ya?" lanjutnya.
***
Menjadi ibu rumah tangga sama sekali tidak pernah terlintas di pikiranku selama aku bernapas di Bumi. Sebelum bertemu Mas Je, aku bahkan tidak pernah berniat untuk menikah. Alasan utamanya karena aku takut untuk memulai dan aku takut sakit.
Bukan tanpa alasan mengapa aku takut, sebab sudah beberapa tahun ini aku mengamati kehidupan pernikahan orang-orang di sekitarku dan setiap harinya aku sukses dibuat takut.
Perselingkuhan adalah hal yang biasa mereka lakukan. Bahkan di kantor tempat kerjaku dulu, mereka semua sudah menormalisasikan perselingkuhan yang terjadi di sana. Bukan hal yang baru jika ada seseorang berhubungan dengan orang lain yang sudah memiliki pasangan sah, nyatanya mereka malah mendapat dukungan dari teman satu circle-nya. Tak hanya itu, penggerebekan oleh istri sah di indekos yang dulu aku tempati pun sudah menjadi aktivitas rutinan setiap minggunya.
Dari situ aku berpikir, untuk apa menikah jika mereka masih bisa bebas melakukan segala sesuatunya? Bukankah pernikahan juga bersifat mengikat?
Aku tahu memang tidak semua pernikahan berakhir seperti itu, namun survei membuktikan tak sedikit pula yang seperti itu. Hingga rasa takutku diluluh lantahkan oleh keluarga Mas Je. Mereka menunjukkan sisi lain dari sebuah pernikahan dan keluarga bagiku. Aku melihat bagaimana Mama-Papa mertuaku masih harmonis di hari tua mereka dan masih bermesraan sepanjang waktu.
Papa yang tak pernah lupa mengucapkan kata terima kasih setelah dibantu untuk mengancingkan baju oleh Mama, Papa juga yang tak sungkan mengatakan maaf dan tolong kepada Mama saat beliau meminta untuk dibuatkan secangkir kopi di sore hari.
Lalu Mama yang tidak malu bermanja pada Papa saat kita semua berkumpul di ruang keluarga yang otomatis setiap Mama meminta dipeluk atau hanya sekadar menyenderkan kepalanya di dada Papa akan menjadi tontonan anak-anak dan menantu-menantunya yang sudah dewasa juga.
Kemudian pasangan Kak Gea serta suami juga membuatku ingin merasakannya juga. Merasa diperlakukan baik ketika tengah hamil. Aku ingat saat kita semua sedang menginap di rumah Papa, Bang Rey rela keluar malam-malam mencari kue balok untuk Kak Gea yang sedang mengidam. Bahkan Bang Rey sangat sabar dan telaten ketika istrinya muntah-muntah akibat hormon kehamilannya. Sering kali mood Kak Gea juga berubah drastis namun Bang Rey selalu menyikapinya dengan dewasa.
Dan terakhir dari pria yang sekarang menjadi suamiku. Mas Jheriel selalu menanyakan kepadaku setiap harinya sebelum menjelang hari akad dengan pertanyaan yang sama yaitu, "Shayla, kamu yakin nikah sama aku?" Dan di malam terakhir sebelum aku sah menjadi istrinya, Mas Je menambahkan pertanyaannya. "Karena sampai detik ini kamu tetep yakin untuk nikah sama aku, aku mau nanya hal lain. Apa kamu mau jalanin sisa waktu kamu sama aku? Kalau aku pribadi mau, Shay. Aku mau pernikahan kita jadi yang pertama dan terakhirnya buat aku dan kamu. Aku juga mau bangun keluarga yang bahagia entah nantinya kita diberi kepercayaan untuk punya anak ataupun pada akhirnya kita cuma berdua sampai ujung usia kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Here With Me
ChickLitPerasaan kosong, kesepian, takut, dan ingin hilang dari Bumi adalah hal yang selalu ingin aku lupakan. Tapi nyatanya, mereka selalu kembali datang. Lagi dan lagi. Kadang kala ingin menyerah, namun aku masih waras untuk tidak mengakhiri hidup dengan...