Drama

71 6 1
                                    

Aku memutuskan untuk pergi ke toilet terlebih dahulu sebelum kembali ke ruangan tempat aku bekerja.

Di dalam kamar mandi aku hanya terduduk di atas closet yang tertutup. Mencoba membangun kembali ketenangan dalam diriku yang tadi sempat hilang.

Tak pernah terlintas dipikiranku kalau Reno akan berubah seperti itu. Tidak, dia tidak berubah. Memang itu sifat aslinya. Seperti iblis. Namun dia itu terlalu pandai untuk menutupi sifat aslinya. Membuat orang lain menganggap dia sosok sempurna yang patut untuk dijadikan panutan. Padahal sifat aslinya sangat payah.

Mau menang sendiri, selalu melempar kesalahannya kepada orang lain, tidak mau disalahkan, sombong, angkuh, bajingan, dan brengsek. Mungkin huruf R di namanya memiliki arti redflag.

Tapi yang tak kusangka, hari ini dia berani berbuat sejauh itu. Selama aku di dekatnya, dia selalu memperlakukanku dengan sopan meskipun ucapannya memang kadang payah sekali. Namun perlakuannya tadi sudah sangat kurang ajar!

"Lo tau Shayla?"

"Tau, lah. Siapa yang gak tau dia?"

"Hahaha iya sih, rumor kalau dia pelacurnya Pak Reno waktu itu kan pernah nyebar ke seluruh kantor."

Aku terdiam mendengarkan suara-suara yang berasal dari luar sana.

"Tapi bukannya bulan kemarin dia tiba-tiba nikah ya?"

"Iya. Paling hasil coblos malam tahun baru jadi terpaksa nikah dadakan. Apalagi gue denger dari Devina, pernikahannya gak ada resepsi. Untung endingnya dia gak sama Pak Reno yang ganteng itu, ya."

"Ih iya, sumpah. Gue bersyukur banget, cowok sesempurna Reno bebas dari benalunya."

"Haha, bener. Tapi lo udah denger belum kalo dia dapet promosi dari Pak Reno?"

"Hah? Demi apa?"

"Iya, gue denger dari Devina."

"Ih sumpah. Kok bisa? Padahal lebih mending kerjaan Devina daripada si Shayla."

"Iya, lah, gila lo? Paling itu hasil dari ngegoda Pak Reno."

"Tapi kan dia udah punya suami."

"Ya elah, zaman sekarang satu aja gak cukup. Di rumah ada, di kantor juga harus ada."

"Stres ya tuh cewek."

Aku rasa semua ini sudah cukup. Kini aku membuka pintu kamar mandi membuat dua perempuan yang sedang touch up itu menatap ke arahku dengan kedua mata yang membulat sempurna. Mungkin, mereka tidak menyangka kalau bahan gibahannya ini mendengar gibahan mereka secara langsung.

Dengan sengaja aku mencuci tangan di samping mereka berdua dan sesekali melirik keduanya dari cermin. Setelah beres mencuci tangan aku mengambil tisu untuk menyeka air yang masih tertinggal di tanganku. Tapi mereka masih diam. Tak bergerak sama sekali, selain matanya yang sedikit bergetar saling melempar pandangan.

Cih, ke mana suara yang tadi terdengar sangat nyaring itu?

"Saran dari saya, kalau mau berbagi informasi sebaiknya cari tahu dulu kebenarannya. Jangan asal bunyi seperti burung." Aku langsung meninggalkan mereka setelah berucap seperti itu.

Sebenarnya itu bukan kali pertama aku memergoki orang lain tengah berbicara buruk tentang diriku. Dan yang tadi itu belum ada apa-apanya. Aku bahkan pernah mendengar lebih buruk dari itu. Tapi aku diam saja.

Sedih? Tentu. Bohong jika aku tidak sedih, tidak kepikiran, dan akan baik-baik saja saat mendengar ucapan mereka. Malah ini salah satu alasan kenapa dulu aku ingin cepat mati.

Tapi aku bisa apa selain diam dan memendam itu sendiri? Aku tidak bisa mengatur pola pikir orang lain. Aku tidak bisa mengatur apa yang mereka dengar dan bicarakan tentang diriku. Aku tidak bisa.

Here With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang