Bab 4

1.4K 143 13
                                    

Nafas Septian terasa tercekat melihat Galvin berdiri di sana, ada rasa rindu yang Septian rasakan karena sudah cukup lama tidak bertemu dengan kakak keduanya.

Septian tersenyum dan turun dari panggung membuat Rafka kebinguan padahal masih ada beberapa lagu yang harus Septian nyanyinya.

"Kak Galvin," sapa Septian.

Tidak mau menjadi pusat perhatian orang banyak, Galvin meraih lengan Septian dan menariknya ke luar Coffe.

Setelah memastikan situasi jauh dari jangkauan orang banyak, Galvin pun melepaskan lengan Septian dari genggamannya.

"Akhirnya kita ketemu, Kak," kata Septian tersenyum lebar. Galvin ikut tersenyum melihat senyuman tulus adiknya itu.

"Gimana kabarnya?" tanya Galvin.

Septian mengangguk sebagai jawaban dari hatinya. "Gua jauh lebih baik, Kak."

"Setelah lama ninggalin bunda dan gua lo merasa lebih baik?" tanya Galvin begitu saja.

Galvin langsung membuang muka setelah melontarkan pertanyaan yang membuat Septian terdiam kaku.

"Gua gak pernah ninggalin lo sama bunda, Kak," gumam Septian berusaha menahan rasa sesak dalam hatinya. Ya, Septian harus menegarkan hatinya agar lebih kuat lagi.

"Terus apa?" tanya Galvin.

"Gak ada yang nerima gua dengan tulus, Kak. Perginya gua juga di terima lapang dada sama bunda, sama ayah," sambung Septian.

"Itu karena lo selalu beranggapan lo yang paling tersakiti di keluarga kita," sambung Galvin dengan tegas kembali menatap sang adik.

Bohong jika Galvin tidak menaruh rindu kepada Septian. Adik kecilnya yang dahulu sangat dekat kepadanya. Melihat Septian sudah tumbuh tinggi bahkan setara dengannya membuat Galvin merasa bangga.

"Gua gak pernah di terima baik sama ayah, Kak. Bukannya emang menyedihkan?" Galvin langsung menatapnya dengan penuh tanda tanya.

"Kalau ngomong itu jangan asal ceplos, Sep. Gak ada orang tua yang gak menerima kehadiran anaknya, termasuk lo," ucap Galvin yang tidak menerima pernyataan dari Septian.

"Gua seneng ketemu lo, Kak. Apalagi ngelihat lo sehat," kata Septian mengalihkan pembicaraan mereka yang selama hampir dua tahun ini tidak pernah selesai.

Sebenarnya Galvin sadar bahwa ayahnya tidak pernah perduli kepada Septian. Sewaktu mereka masih menjadi keluarga utuh sering sekali ia memergoki ayahnya yang sedang memarahi Septian dengan nada yang keras.

Tetapi pada saat itu Galvin merasa bahwa hal itu adalah hal yang lumrah, tentang orang tua yang mengomeli anaknya yang sedang bandel.

Setelah perceraian kedua orang tuanya, baru lah Galvin sadar bahwa ayahnya sangat tidak menginginkan Septian.

Bahkan, Galih lah yang meminta secara terang-terangan untuk membuat Septian tinggal sendirian tanpa ikut kepadanya maupun ikut kepada Lisna.

"Gua selalu sehat."

"Baguslah, Kak. Kabarnya bunda gimana? Masih sibuk kerja?"

"Kalau bunda gak kerja siapa yang ngasih gua makan," balas Galvin seadanya.

Walau pun Galih masih memberikannya uang jajan secara rutin, tapi tidak bisa menutupi kebutuhannya sehari-hari bersama bunda. Lalu bagaimana Septian yang berjuang sendirian.

"Baguslah, Kak. Lo bisa main kepan pun ke Coffe ini, ini punya sahabat gua Rafka, kalau lo sering main ke sini gua seneng," ucap Septian yang selalu berharap hubungannya dengan sang kakak selalu membaik.

Septian In September || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang