Bab 7

1.3K 118 3
                                    

***

Ceklek

"Bagaimana keadaanya, Dok?" tanya Ken yang tidak bisa menahan rasa khawatirnya melihat seseorang yang tidak berdaya terluka di depannya tadi.

Dokter bername tag Syaputra itu menghela nafasnya lega, menatap Ken dan Zura secara bergantian.

"Pasien belum sadarkan diri karena mengalami syok, untuk luka pasien mengalami luka yang tidak terlalu berat hanya ada beberapa luka memar dan kaki kirinya yang mendapat jahitan," tukas Dokter Syaputra.

"Tidak ada luka dalam kan, Dok?" tanya Zura.

"Tidak ada. Jika sudah sadarkan diri pasien bisa langsung dibawa pulang, tetapi dengan catatan tidak ada keluhan lain seperti muntah dan lain-lainnya," kata Dokter Syaputra.

Sepertinya tidak ada luka yang harus Ken dan Zura khawatirkan. "Saya ingin pasien mendapatkan perawatan terlebih dahulu," ucap Ken.

Dokter itu mengangguk. "Baiklah kami akan memindahkan pasien keruangannya."

***

Ken dan Zura sudah berada diruangan rawat Septian yang sampai saat ini belum juga sadarkan diri. Sedari tadi Zura terlihat gelisah karena orang yang ia tolong dengan sang kakak belum memperlihatkan tanda-tanda akan sadarkan diri.

"Kamu minum dulu, De," ucap Ken memberikan Zura sebotol air mineral yang sempat ia beli untuk adiknya.

Zura menerima botol mineral itu dan menegaknya sedikit. "Kakak, kamu udah kasih kabar ke ayah kalau kita lagi bantuin orang dulu?" tanya Zura.

"Udah. Ayah udah tidur dan ibu yang balas, kalau kamu udah ngantuk kamu tidur aja di sopa biar Kakak yang nunggu dia bangun," tukas Ken menunjuk sopa kosong yang ada diruangan ini.

Zura yang memang sudah mengantuk dari tadi menganggukan kepalanya, tetapi merasa kasian dengan Ken yang harus menunggu Septian yang entah akan tersadar kapan.

"Jangan kasian sama Kakak, Kakak udah biasa nemenin orang sakit," ucap Ken mengingat bahwa kekasihnya yang sering bolak-balik di rawat di rumah sakit untuk mengobatan.

"Kalau dia udah sadar secepatnya kasih kabar orang tuanya dia ya, Kak. Biar kita bisa pulang." Ken menganggukan kepalanya melayani adik nya yang sangat bawel tersebut.

"Gih tidur kamu pasti ngantuk."

"Aku udah ngantuk banget, Kak," tutut Zura mendekat ke arah sopa dan membaringkan tubuh mungilnya di sopa yang tidak terlalu besar itu.

"Baru sehari di Jakarta udah ada kejadian kayak gini aja," keluh Ken sembari duduk di kursi samping brankar tempat Septian terbaring.

Dua puluh menit sudah berlalu, Ken hanya bisa menghela nafas kasar menyadari bahwa orang yang ia tolong belum juga sadarkan diri. Ken melirik jam tangan yang terpasang di lengan kanannya, rupanya sudah menunjukan pukul setengah satu pagi.

Sudah cukup malam. Ken melirik Zura yang sudah tertidur dengan lelapnya.

"Eunghh.."

Suara lenguhan Septian membuat Ken yang awalnya memperhatikan sang adik langsung menoleh dan memastikan Septian terbangun.

"Awh.." ringis Septian saat menggerakan kaki kirinya langsung terasa sakit.

"Eh jangan dulu gerak, kaki lo baru aja di jahit," ucap Ken.

Suara Ken membuat Septian menyernyitkan dahinya karena merasa asing dengan orang yang ada di sampingnya. "Lo siapa?" tanya Septian heran.

Guratan rasa sakit sangat terlihat jelas di dahi Septian, membuat Ken terkekeh.

Septian In September || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang