Jam pun sudah menunjukan pukul setengah tujuh pagi, Septian sudah bersiap dengan baju sekolahnya. Melupakan sejenak rasa penasaran dengan pesan yang baru saja tadi Dero kirimkan kepadanya.
Septian berencana untuk mengunjungi tempat yang di sharelock Dero kepadanya. Septian harus mengetahui apa yang di maksudkan Dero melewati pesan itu.
"Hari ini gua harus bisa ngobrol sama Lea, ya harus," gumam Septian sambil berkaca di depam cerminnya.
Dengan helaan nafas pelannya, Septian berusaha menenangkan perasaannya agar merasa lebih baik setelah semalaman penuh berover thinking karena banyak hal yang Septian pikirkan di tambah dengan pesan yang baru saja ia baca tadi.
Setelah mengambil tas berwarna hitamnya, Septian melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar miliknya.
Dengan langkah santai Septian berjalan menuju dapur mengambil air putih untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Rupanya di sana terlihat Lisna dan Galvin yang sedang sarapan tanpa mengajaknya sama sekali.
"Seharusnya kamu bangun sejak awal, Septian. Jangan seenaknya saja, kamu harus beres-beres di rumah ini," cibir Lisna mendelik ke arah Septian.
Septian menoleh beberapa saat sambil menuangkan air putih pada gelasnya.
"Aku bukan pembantu, Bun," balas Septian dengan senyuman tipisnya.
"Ya bilang kamu pembantu siapa?"
"Kalau gitu stop mempelakukan aku layaknya pembantu. Aku seorang anak, aku bisa bantu ngurus rumah tapi bukan berarti terus-terusan di suruh-suruh kan, Bun?"
Lisna menatap Septian dengan tajam. "Kamu pikir di rumah ini kamu siapa berani-beraninya kamu berbicara lancang seperti itu kepada orang yang telah membesar--
"Aku orang lain, aku sadar diri, Bun. Gak perlu di perjelas lagi, aku udah capek mendengar semua perkataan-perkataan menyakitkan dari Bunda atau pun dari Ayah. Jika emang kedatangan Septian ke dunia ini salah kenapa Bunda harus melahirkan Septian?" tukas Septian dengan tegas. Septian benar-benar berada di situasi kebingungan dengan semuanya.
Dengan semua yang menjurus kepada hal yang sangat Septian takutnya.
"Lo jangan ngomong kasar sama Bunda dong, Sep. Anak gak seharusny---
"Lo mana paham sih, Kak? Gua yang gak tahu apa-apa tiba-tiba di benci, sedangkan lo sama Bang Dero tetap di sayang. So, jangan salahin gua kalau gua tumbuh jadi anak yang ngebangkang," jelas Septian kepada Galvin yang tiba-tiba saja seakan-akan menghakimi nya sekarang.
Galvin berdecak. "Lo bener---
"Bener-bener apa? Gua tegasin lo mana paham jadi gua, Kak!" ujar Septian dengan cepat meneguk air putih itu dan melenggang pergi dari hadapan Lisna yang saat ini hanya mematung.
"Bunda jangan di pikirin apa kata Septian, Bunda gak menyakiti Septian kok dia nya aja yang ngerasa pali--
"Mana yang katanya mau belain gua, Kak? Ujungnya sama aja lo ngehakimi gua seakan di dunia ini emang gua yang paling salah," tukas Septian yang tiba-tiba saja kembali lagi di hadapan mereka.
Galvin bungkam, ia benar-benar melupakan janji manisnya kepada Septian. Terlihat jelas wajah penuh kecewa yang tertera di raut wajah Septian.
"Bunda jika aku berhasil mencari tahu alasan kenapa Bunda sama Ayah benci sama aku, jika itu adalah kenyataan yang sangat menyakitkan aku gak tahu lagi harus bagaimana. Tapi jika memang kesenangan Bunda dengan tanpa adanya aku, aku siap pergi lagi dari rumah," ucap Septian.
***
Septian berjalan di koridor sekolah dengan langkah gontai, tatapanya kosong dengan pikiran yang sangat memenuhi kepala Septian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Septian In September || END
FanfictionIkut serta dalam project 30 day writing challenge with sassi & Semesta Rasi "Hubungan yang sesungguhnya adalah ketika sama-sama sudah tidak saling berada di rumah yang sama." Zelvanio Manuella Septian, harus menelan semua sakit yang di layangkan ked...