Bab 22

1.1K 102 3
                                    

Mungkin tanpa Lisna dan Galvin sadari, Septian mendengar semua obrolan mereka. Septian hanya bisa menghela nafas pelan menahan hatinya untuk tidak berteriak meminta keadilan sebagai anak kepada orang tuanya, Septian hanya berdoa semoga kedepannya akan menjadi lebih baik tidak melulu tentang rasa sakit yang Septian rasakan.

"Eh ternyata ada lo, Sep," cibir Galvin.

Septian hanya tersenyum kikuk. "Ngapain lagi kamu di sana, sana beres-beres," tukas Lisna dengan sangat judes.

"Iya, Bun," balas Septian dan kembali melangkahkan kakinya untuk masuk ke area dapur. Tidak lama dari itu Lisna membawa Galvin untuk duduk bersamanya di sopa ruang keluarga.

"Kenapa sekarang wajah kamu murung, Kak? Apa ada masalah lain yang menganggu pikiran kamu?" tanya Lisna.

Galvin menghela napas pelan dan menatap Lisna dengan pandangan dengan sendu. Bukan perihal masalah tentang ayah dan kakaknya hanya saja saat ini Galvin sedang memikirkan tentang masalahnya dengan Lea.

"Bun ternyata Lea ity sahabatnya septian dan  septian gak tahu kalau ternyata Lea yaitu pacarnya aku. Dan yang buat aku kaget ternyata Septian mempunyai perasaan yang sama kayak aku ke Lea," sambung Galvin.

"Serius kamu kak terus bagaimana kelanjutannya kok bisa ya?" Galvin tertunduk lesu, Galvin sendiripun tidak tahu mengapa Lea memutuskannya dengan sepihak. Apa karena Lea juga mempunya perasaan terhadap Septian.

"Lea ngajak aku udahan, Bun. Bahkan di saat aku bilang aku gak mau pun Lea tetap mau udahan dan aku dah gak bisa maksa Lea lagi. Bun apa karena Lea mementingkan perasaannya septian dari pada aku? Atau karena Lea juga mempunyai perasaan yang sama kepada Septian?" jelas Galvin.

"Bunda coba bilang sama Septian ya? Biar Septian mau ngalah dan kamu bisa kembali dengan Lea, Bunda gak terima kamu di sakiti karena Septian," tukas Lisna mengebu-ngebu saat mendengar sedikit cerita dari Galvin.

Lisna beranjak dari sofa dan melangkahkan kakinya ke arah dapur untuk mencari keberadaan septian tentu saja untuk menegur septian agar mau melepaskan Lea dan mengikhlaskan Lea untuk Galvin.

"Septian bunda mau ngomong sama kamu," ucap Lisna  saat melihat Septian yang sedang mencuci piring yang kotor.

Septian menoleh. "Apa, Bun?"

"Berani-beraninya ya kamu menyakiti Galvin hanya karena satu perempuan."

"Maksud Bunda apa?" tanya Septian.

"Lupain semua perasaan kamu kepada Lea, sebelum adanya kamu hubungan mereka itu baik-baik saja. Ikhlasin Lea untuk Galvin dan kamu bujuk Lea untuk mau kembali kepada Galvin. Jika tidak, Bunda gak segan-segan tidak menganggap kamu lagi sebagai anak," tukas Lisna berhadapan langsung dengan Septian.

"Siapapun berhak mempunyai perasaan kepada siapapun, Bun. Bunda gak bisa bilang gitu aja, yang punya hati dan perasaan itu bukan hanya Kak Galvin, tapi Septian juga, dan anak Bunda bukan Kak Galvin," balas Septian tidak mau kalah.

"Putusnya Kak Galvin dan Lea itu bukan urusan aku," sambung Septian dan melenggang pergi begitu saja dari hadapan Lisna.

"SEPTIAN! KURANG AJAR YA KAMU!" teriak Lisna murka melihat tingkah laku Septian yang terlihatnya sangat tidak sopan.

"TIDAK SUDI SAYA MEMPUNYAI ANAK SEPERTI KAMU YANG TIDAK TAHU TANDA BERTERIMA KASIH!" teriak Lisna lagi yang tentu saja sangat nyaring terdengar, bahkan Galvin yang sedang berada di sopa ruang tengah pun mendengar teriakan Lisna yang meneriaki Septian.

Septian menutup pintu kamarnya dengan sangat keras menimbulkan suara, tentu saja Septian marah mendengar teriakan Lisna terlebih perkataan Lisna yang memintanya untuk membuat Lea kembali kepada Galvin padahal Septian sama sekali belum bertemu dengan Lea lagi setelah malam itu.

Septian In September || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang