Setelah bertemu dengan Lea, Septian memutuskan untuk kembali ke dalam kamarnya tanpa mengikuti acara ulang tahun Galvin, bahkan sejak awalpun Septian merasa tidak layak berada di sana. Septian merasa semua yang ada di sekelilingnya nampak asing, itu sebabnya Septian memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
Pikirannya berkecamuk memikirkan apa yang baru saja ia ketahui tentang Lea dan Galvin. Rupanya, Lea merahasiakan kekasihnya kepada siapapun dan saat ini Septian tidak tahu harus bagaimana.
Hanya menatap dinding kamarnya dengan tatapan kosong yang saat ini bisa Septian lakukan, tentu saja untuk menenangkan isi pikirannya walau nyatanya ketenangan itu tidak kunjung ia rasakan.
"Maksud perkataan Ayah barusan aja belum bisa gua pahami," gumam Septian.
Septian menghela nafas dan merubah posisinya menjadi duduk, perasaannya tidak kunjung tenang. Kecewa, sakit, dan sesak Septian rasakan secara bersamaan.
"Sebenarnya apa aja yang gua lewatin?" tanya Septian kepada dirinya sendiri.
Begitu banyak hal yang Septian tidak mengerti, tentang keluarganya dan tentang Lea.
Apa bisa ia mengikhlaskan Lea dengan Galvin? Apa itu tidak menyesakan bagi ia yang belum sempat memiliki Lea
"Nyimpen perasaan itu gak mudah, Le." Septian memejamkan kedua matanya, semua moment kenangan bersama Lea berputar bak kaset rusak di dalam pikirannya.
Senyuman Lea, perhatian Lea, semua yang gadis itu miliki, Septian menyukainya.
"Apa mengikhlaskan sebelum memiliki itu memang harus, Le?"
Septian tidak banyak berbicara dengan Lea tadi, Septian merasa sulit untuk melontarkan pertanyaan dan perasaannya pada Lea. Takut Lea merasa terbebani dengan perasaannya, namun semenjak Lea mengertahui perasaanya apakah Lea perduli? Itu sebabnya Septian memutuskan banyak membungkam perkataanya dan bersikap seolah tidak begitu menyakitkan baginya.
Septian
|Raf, ternyata Lea pacar kakak gua..|
|Dunia gak asik.|
|Yang asik cuma elo, Raf.|***
Ceklek
"Bagus ya malah tidur!" pekik Lisna setelah membuka pintu Septian dengan keras membuat Septian yang semulanya baru saja memejamkan matanya langsung tersentak.
"Maaf, Bun," gumam Septian sedikit meringis dan memijit keningnya yang tiba-tiba saja terasa pening karena bangun secara mendadak.
Lisna mendekat dan menarik lengan Septian membuat Septian mau tidak mau bangun dari posisi duduknya. Septian menyernyitkan dahinya, apa ia melakukan kesalahan?
"Turun dan bersih-bersih di bawah!" tukas Lisna menatap Septian dengan tatapan tajam tidak lupa sudah menepis lengan Septian yang sebelumnya ia pengangi.
"Nanti pagi aja ya, Bun. Ini udah jam berapa," balas Septian.
"Kamu pikir kamu di sini ngapaian? Beres-beres atau selamanya kamu enggak Bunda anggap sebagai anak!" ancam Lisna membuat Septian tersenyum tipis.
"Bukannya semenjak dua tahun yang lalu Bunda udah gak anggap aku sebagai anak?" tanya Septian membuat darah Lisna mendidik.
"Septian Bunda cuma minta kamu beres-beres di bawah, mengapa hidup di luaran sana membuat kamu tumbuh menjadi anak yang tidak tahu diri!" ujar Lisna.
Septian mengangguk dan tersenyum tulus ke arah Lisna. "Iya Bunda, aku bakal bantu beresin di bawah. Bunda gak perlu khawatir aku tetep jadi Septian yang nurut apa kata Bunda, walaupun aku tahu aku sudah tidak mendapatkan kasih sayang yang sama kayak dulu," tutur Septian mempertahankan senyumannya untuk melihat reaksi Lisna akan seperti apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Septian In September || END
FanficIkut serta dalam project 30 day writing challenge with sassi & Semesta Rasi "Hubungan yang sesungguhnya adalah ketika sama-sama sudah tidak saling berada di rumah yang sama." Zelvanio Manuella Septian, harus menelan semua sakit yang di layangkan ked...