Bab 18

1K 97 0
                                    

Septian menghela nafas gusar menatap barang bawaannya yang akan Septian bawa ke rumah sang bunda. Keputusannya sudah bulat walaupun ada rasa takut yang Septian rasakan. Septian hanya takut dengan respon Lisna.

"Udah siap? Gua gak bisa lama-lama, gua harus ngurusin pesta ulang tahun gua tiga hari lagi, Sep," tukas Galvin saat ia sudah duduk di sopa rumah ini hampir satu jam lamanya.

Septian masih terdiam. Ada rasa berat hati meninggalkan rumah pemberian sang kakek di masa hidupnya, mungkin rumah ini tidak seberapa bagusnya tetapi kenangannya begitu berarti bagi Septian.

"Sep.."

"Rumah ini peninggalan Kakek, gak mudah buat gua ninggalin rumah ini gitu aja, Kak," balas Septian.

"Lo serius?" tanya Galvin terkejut.

"Lo pikir gua punya duit dari mana bisa beli rumah ini?"

"Iya juga," pikir Galvin. Septian menghela nafas panjang, mengapa rasanya semakin ragu untuk pamit.

"Kak sebelumnya gua mau nanya, lo tahu kenapa Bunda benci sama gua?" tanya Septian.

Galvin menggelengkan kepalanya. Sudah jalan tiga tahun paska orang tua mereka bercerai, sampai sejauh itu pun Galvin tidak tahu mengapa sang bunda bisa membenci Septian.

"Semua yang terjadi dua tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 29 september gua selalu ingat, Kak. Hari dimana gua tidak di terima dimana pun. Mungkin jika bukan karena Kakek, gua udah jadi gelandangan atau bahkan udah mati karena kelaparan," tukas Septian.

"Kenapa lo ngomong serem banget sih, Sep?"

"Karena apa yang gua alami itu seserem itu, Kak. Beberapa langkah setelah gua keluar dari rumah, saat itu juga gua gak punya tujuan," gumam Septian sekuat tenaga untuk menahan air matanya yang akan merembes keluar dari pelupuk matanya.

"Kedua tatapan tajam Bunda sama Ayah buat gua takut, dan saat itu juga gua ngerasa kalau gak ada yang mengharapkan gua di dunia ini. Lagi-lagi jika bukan karena Kakek, mungkin gua udah mati," sambung Septian.

"Tatapan kecewa Ayah terekam jelas di ingatan gua, Kak. Padahal gua gak tahu kenapa Ayah sekecewa itu sama gua, dan tatapan Bunda seolah marah. Selama ini gua selalu berpikir gua itu salah apa dan letak kesalahan gua dimana."

"Dan sekarang gua harus balik lagi ke rumah itu, rumah dimana yang menimbulkan trauma buat gua sendiri," lirih Septian memalingkan pandangannya.

"Kalau lo gak mau kembali ke rumah gak papa, Sep. Maaf kalau kesannya gua memaksa lo," kata Galvin.

"Gua gak tahu semua apa yang terja---

"Gua tetap akan kembali ke rumah itu, gua mau menggobati trauma gua sendiri. Lagi pula sebenci-bencinya orang tua kepada anak gak mungkin mereka ngebunuh gua kan?" tukas Septian

Flashback on

"Kamu ikut Bunda mu," tukas Galih menatap Septian dengan tajam.

Saat itu, Septian baru saja menginjakan rumah setelah pulang dari sekolah. Septian yang tidak mengerti dengan penuturan Galih hanya menyernyitkan dahinya.

"Maksud Ayah apa?" tanya Septian tidak mengerti.

"Hak asuh Dero jatuh kepada tangan saya, sedangkan hak asuh Galvin jatuh kepada tangan Bundamu. Dan kamu terserah mau bagaimana," ucap Galih.

"Kok terserah, Septian gimana? Yah, Bun?" tanya Septian menatap Galih dan Lisna secara bergantian.

"Saya tidak sudi membawa kamu untuk tinggal dengan saya," ucap Galih dengan tegas, sangat tega menatap Septian dengan tajam.

Septian In September || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang