Tidak banyak yang berubah dari seisi rumah sebelum Septian meninggalkan rumah ini dengan percuma. Septian hanya bisa menghela nafas pelan meratapi semua yang telah terjadi di rumah ini, rumah yang semulanya indah berubah menjadi berantakan dan meninggalkan kenangan-kenangan buruk.
"Sep udah Sep gak usah di dengerin apa kata Bunda, mendingan kita ke atas buat beresin pakaian lo, gua bantu," tukas Galvin berdiri di samping Septian yang baru saja akan mencuci piring.
"Gua babu di sini, puas?" ucap Septian dengan acuh dan mulai mencuci piringnya dengan teliti, toh Septian sering melakukan aktivitas ini di rumah maupun di Coffe.
"Sep.."
"Udah sana ah jangan ganggu gua. Btw kamar gua masih sama, kan?" Galvin menganggukan kepalanya.
Tangannya terarah untuk mengambil kunci kamar Septian yang semulanya memang sudah berada di tangannya sejak dimana ia membersihkan kamar Septian.
"Ini."
"Thanks."
Seeakan tidak mau menganggu Galvin pun memutuskan untuk pergi ke dalam kamarnya untuk membersihkan tubuhnya dan meninggalkan Septian sendirian.
"Gua layak berada di rumah ini," gumam Septian.
Septian hanya berusaha kuat untuk tidak terlihat begitu menyedihkan. Siapa yang tidak sakit melihat tingkah orang tuanya barusan? Tentu saja Septian juga punya hati.
Tidak ada pertanyaan apa kabar bahkan dimana mereka tidak bertemu hampir dua tahun lamanya.
Selama dua tahun ini, Septian merayakan semuanya sendirian. Tanpa ada keluarga di sisinya, dan lihatlah Septian masih bisa berdiri tegap menatap dunia dengan haru.
"Kenapa kamu kembali ke rumah ini?" tanya Lisna yang tiba-tiba saja datang dari arah belakang dan duduk di salah satu kursi meja makan.
Tanpa menoleh, Septian terkejut. Berusaha menahan tubuhnya untuk tidak menoleh ke arah Lisna, karena mau bagaimana juga rasa rindu dan haus kasih sayang itu ada.
"Bunda ikir kamu menolak ajakan Galvin," sambung Lisna.
"Karena aku kangen sama Bunda, walau aku tahu Bunda gak mungkin kangen sama aku," kata Septian dengan suara pelan.
Kedua tangannya masih sibuk mencuci piring. Setidaknya ada hal yang membuat Septian bisa menahan dirinya.
"Bunda hidup baik-baik saja tanpa kamu," ucap Lisna.
"Syukurlah. Aku selalu berdoa agar hidup Bunda baik-baik saja dan hidup bahagia," balas Septian.
Lisna tersenyum tipis. Pandangannya terarah menatap punggung tegap Septian, anak itu terlihat lebih kurus dari pada Galvin hanya saja tinggi badannya nyaris sama.
"Galvin sayang sama kamu, jadi jangan pernah kamu mengecewakan Galvin."
Septian menganggukan kepalanya. "Bunda gak sayang aku?"
Entah mempunyai keberanian dari mana Septian berani menanyakan hal itu.
Septian terkekeh merasa bahwa Lisna tidak kunjung membalas pertanyaan sederhananya.
"Cuci piring nya udah selesai, apa lagi yang bisa aku bantu?" tanya Septian membalikan tubuhnya membuat ia bisa melihat keberadaan Lisna di depannya.
"Rasa sayang itu telah habis setelah semuanya selesai," ucap Lisna.
Septian menganggukan kepalanya. "Aku paham, karena sejak dulu pun Bunda gak pernah menatap aku secara tulus. Padahal aku anak Bunda, kan?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Septian In September || END
FanfictionIkut serta dalam project 30 day writing challenge with sassi & Semesta Rasi "Hubungan yang sesungguhnya adalah ketika sama-sama sudah tidak saling berada di rumah yang sama." Zelvanio Manuella Septian, harus menelan semua sakit yang di layangkan ked...