Bab 13

1.1K 98 1
                                    

Galvin
|Sep, mau pindahan kapan?|

"Ini anak gak sabaran apa gimana?" gerutu Septian.

Ini sudah hari kedua dimana setelah malam kejadian Septian di serang oleh orang-orang yang sama sekali tidak Septian kenal, bahkan melihat wajah orangnya pun tidak.

Menjadikan Septian was-was jika berada di luar sendirian, takut orang-orang itu kembali menyerangnya tanpa alasan.

Hari ini juga Septian memutuskan untuk masuk sekolah setelah tiga hari meliburkan diri karena luka-lukanya yang belum menggering. Sebenarnya dalam keadaan demam dan pusing pun Septian bisa aja memaksakan diri untuk masuk sekolah, tetapi jika luka-luka yang bisa di lihat orang lain maka Septian memutuskan untuk tidak masuk sekolah.

"Kayaknya gua kudu makan dulu," gumam Septian membuka kulkasnya. Helaan nafas pelan terdengar, rupanya kulkas nya saat ini sedang kosong hanya tersisa kopi berkemasan kaleng dan beberapa buah yang sudah tidak segar lagi.

"Aelah gua lupa kagak belanja," gerutu Septian. Walaupun begitu Septian tetap mengambil kopi kemasan kaleng tersebut untuk mengganjal perutnya.

Biasanya jika Septian sedang sakit, Lea atau Rafka lah yang selalu membantunya membelikan keperluan dapur tetapi mungkin saja mereka lupa.

Dering telpon yang masuk ke hp nya membuat atensi Septian teralihkan dan dengan cepat menganggkat telpon yang ternyata dari Rafka

'Apa, Raf?'

'Gua di depan, ayo berangkat. Gua kagak mau kesiangan ya bego."

Septian terkekeh mendengar umpatan Rafka di akhir kalimatnya.

'Iya ini gua keluar.'

Sambil berjalan menuju pintu utamanya, tidak lupa mengunci pintu dan menutup gerbang. Semalam Rafka memang menawarkan diri untuk menjemputnya dengan alasan tidak memperbolehkan Septian untuk membawa motor atas perintah dari Lea.

"Coy."

"Ayo!" ajak Rafka.

Septian menganggukan kepalanya dan naik ke atas motor yang akan di kendarai oleh Rafka.

"Lea sama siapa?" tanya Septian.

"Paling sama si Naila," balas Rafka sambil menghidupkan motornya dan mereka berangkat menuju sekolah di tengah-tengah kota Jakarta yang tidak pernah sehari pun tidak macet.

"Lo pagi-pagi udah minum kopi aja, yang bener weh, Sep. Mau gua aduin Lea?" tanya Rafka teringat sempat melihat Septian yang membuang kaleng kopi ke tempat sampah yang ada di depan rumah Septian.

"Kagak ada yang bisa gua makan kecuali tuh kopi," balas Septian seadanya.

"Tau gitu tadi gua nyuruh Lea bawain bekal buat lo."

"Lo berdua gak capek apa gua repotin terus?" Dalam keadaan menyetir Rafka menggelengkan kepalanya.

"Temen deket gua cuma lo sama Lea, jadi sebisa mungkin gua mau ngejaga kalian. Soal ngerepotin itu bukan masalah buat gua," tukas Rafka.

"Lagian ada kalian gua jadi kagak kesepian," sambung Rafka.

"Ya dah thanks, Raf," ucap Septian.

"Mau beli bu---

"Kagak-kagak mending gua kagak makan dari pada harus makan bubur bikin enek perut gua tau gak, emang nya gua elo yang suka banget sama tuh bubur," gerutu Septian dengan wajah kesalnya.

***

Lea melirik ke arah Septian yang sedari tadi menunduk sambil memegangi perutnya, Lea memperhatikan wajah Septian yang terlihat lebih pucat dari biasanya. Lea menjadi khawatir jika ternyata Septian sakit. Di liriknya lah Rafka yang ternyata sedang tidur.

Septian In September || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang