بسم الله الرحمن الرحيم
___________________________________
Setiap manusia memiliki episode bahagia di hidupnya. Bukan hanya tentang duka dan luka
_____________________________Langit malam yang benderang dengan sinar purnama mengantarkan pada gelap yang menentramkan. Selepas menutup mushaf qurannya. Nanza membuka jendela kamar menatap pada cakrawala yang bertabur bintang.
Nanza tidak pernah membayangkan akan sampai pada titik ini. Keadaan dimana ia mendapati malam dengan hati yang luas akan ketenangan karna badai telah berlalu.
Meski tidak semua badai berlalu. Bahkan badai baru tiba. Tidak menyurutkan rasa syukurnya atas pencapaian saat ini. Ia bahkan tidak pernah menyangka bisa melewatinya.
Ujian baru ini bahkan tidak membuatnya marah lagi. Ia tahu ini cara baru Tuhan untuk memberinya kekuatan. Hikmah baru, pelajaran baru yang tentunya akan membawa warna baru bagi kehidupan selanjutnya.
Bahwa memang benar jika kita sudah membiasakan diri akan ujian. Selalu melapangkan hati dan menghadapinya dengan penuh sabar tawakal akan mendatangkan kebiasaan yang membuat kita selalu berhusnudzon tentang apa yang terjadi bahwa itu baik untuk kita.
Setelah cukup lama menatap keindahan cakrawala. Nanza keluar kamar setelah melepas mukenanya. Membiarkan rambut panjangnya tergerai. Berjalan menuju kamar Pradana yang berada tepat di sebelah kamarnya. Kamar itu dulu milik kedua orang tua. Pradana mengurung diri di sana setelah apa yang terjadi.
"Pa, ini Anura," seru Nanza berkabar sambil mengetuk pintu.
Tak mendapati jawaban membuat Nanza membuka perlahan pintu yang tidak terkunci itu. Tidak ada lampu menyala hanya penerangan dari sinar purnama dari jendela yang sedang di tatap Pradana dalam diam.
"Papa..," panggil Nanza pelan. Mendekat kearah Pradana.
Ayahnya itu tampak kacau dan berantakan. Matanya bengkak dan pandangannya tampak kosong.
Pradana mendongak menatap Nanza dengan sedikit terkejut. Lalu sekejap menangis dan memeluk Nanza.
"Eleah..." Gumam Pradana dalam isak nya.
Nanza tanpa hijab dengan rambut panjang coklatnya tergerai sama persis dengan Eleah apalagi wajah keduanya begitu mirip hampir kembar. Karnaya Pradana seperti melihat Eleah didepannya. Pria paruh baya itu dalam ilusinya. Apalagi Nanza sebegitu mirip dengan mendiang istrinya itu.
" Eleah maafkan aku..," isak Pradana.
"Papa ini Anura..," kata Nanza dengan tangannya terampil mengusap punggung Ayahnya menenangkan.
Pradana telah sampai pada apa yang ia tanam. Ia merasa saat ini adalah bagian dari apa yang di perbuat. Ia merenung bahwa inilah yang dia dapat atas pengkhianatan. Eleah mungkin saja tidak dendam tapi kesakitan perempuan itu dulu di balas melalui anak perempuannya yang lain.
"Eleah." Pradana terus bergumam dalam isaknya.
"Papa, hei ini Ananda lihat dulu," ujar Nanza lembut melepas pelukan menangkup wajah Pradana yang basah oleh air mata tersenyum mengusap kedua sisi pipi ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biru Anuradha | END
RomanceBukan untuk mengeluh atas apa yang menimpa hidup. Bukan hukuman atas apa yang telah terjadi. Nanza hanya tidak tahu bagaimana merajut kembali benang putus bernama percaya. Disaat begitu banyak rasa dan kasih yang ditawa...