|| 10 | Apa ... Terlambat? ||

2.1K 71 1
                                    

Pagi lain di minggu ini, saat matahari terbit di situlah semua kegiatan Zendaya berawal. Saat ini wanita itu tampak sedang mengaduk sayur berkuah di panci. 

Zendaya memasak dalam keheningan, wanita itu sama sekali tidak mau menganggu Kalandra yang tertidur di sofa ruang tamu.

Tangan Zendaya melepas spatula dengan tiba-tiba lalu mencengkram bagian bawah perutnya yang tiba-tiba terasa kram.

"Shh," Zendaya meringis pelan, tubuhnya sedikit menunduk menahan rasa kram yang tiba-tiba itu.

"Sa-sakit," ucap Zendaya entah kepada siapa, tubuhnya hampir terjatuh namun di tahan oleh sebuah lengan yang tiba-tiba merangkul bahunya.

"Kenapa?" tanya Kalandra pelan, pemuda itu menuntun Zendaya untuk duduk di kursi meja makan.

Zendaya menggeleng pelan, matanya tertutup menahan rasa kram yang masih menyerang perutnya. Kalandra melepas rangkulan itu lalu bergerak untuk mengambil segelas air hangat.

"You okay?" tanya pemuda itu sambil mensejajarkan badan mereka.

Zendaya yang tiba-tiba di perlakukan seperti itu mendadak merinding tanpa sebab. Sudah lama sekali Kalandra tidak bersikap seperti ini.

"Ngga papa, cuma kram dikit," jawab Zendaya seraya menerima gelas yang di sodorkan pemuda itu.

Kalandra mengangguk pelan lalu berdiri dan kembali melangkah menuju kamar. Meninggalkan Zendaya yang terdiam, mencerna sikap Kalandra barusan.

Apa ini ... awal baru untuk mereka?

...

Tampaknya Zendaya harus mengubur dalam-dalam harapan yang terbentuk tadi pagi. Jelas perlakuan Kalandra tadi karena pemuda itu baru bangun tidur dan masih dalam keadaan linglung.

Pasalnya setelah kejadian itu, Zendaya memberanikan diri untuk melangkah. Namun langkah Zendaya harus terhenti karena sikap Kalandra kembali seperti semula.

"Gue harus apa? Gue lagi berusaha buat nerima lo, tapi kelakuan Papa lo kaya gitu," bisik Zendaya sambil mengelus perutnya lembut. Setelah kejadian semalam, Zendaya berjanji untuk mencoba menerima semuanya, jika dirinya bisa.

Wanita itu menghela nafas pasrah, saat ini dirinya sedang berada di taksi untuk menuju rumah sakit. Hari ini adalah jadwal pemeriksaan nya.

Dan hari ini adalah kali pertama Zendaya pergi sendirian, biasanya selalu bersama Nava. Sejujurnya Zendaya takut, kurang dari tiga bulan lagi bayi ini akan lahir. Apa yang harus Zendaya lakukan?

Taksi berhenti di rumah sakit, wanita itu keluar dan langsung menuju ruangan dokter Hanna. Secara sederhana, Zendaya langsung menghapal letak ruangan itu.

"Permisi," ucap Zendaya sambil membuka pintu sebuah ruangan.

Kedatangannya di sambut hangat oleh seorang dokter yang cukup berumur. Senyum yang selalu di tampilkan oleh dokter Hanna sedikit menghilangkan rasa gugup Zendaya.

"Selamat pagi, Zendaya," ucap dokter Hanna ramah.

Zendaya tersenyum tipis, "Pagi dokter."

Dokter Hanna memulai proses pemeriksaan kepada Zendaya, mulai dari berat badan, lingkar lengan, tekanan darah hingga detak jantung Zendaya dan detak jantung si bayi.

Setelah semuanya selesai, dokter Hanna mempersilahkan Zendaya untuk duduk. Dokter itu tersenyum lembut seraya menatap Zendaya.

"Sulit, ya?"

Zendaya jelas tau apa yang dokter Hanna tanyakan, dirinya hanya mengangguk pelan. Jelas sangat sulit, apalagi Zendaya harus menghadapi ini sendirian.

"Aya ... Aya belakangan ini selalu banyak pikiran ya? Aya sering minum obat tidur?" tanya Hanna lagi.

AMBIVALEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang