|| 59 | Dua Rasa Yang Berbeda ||

1.5K 54 2
                                    

Octella duduk di lantai dengan bersandar pada kaki ranjang. Gadis itu memeluk erat sebuah bingkai foto sembari menatap kosong kearah pintu yang tertutup.

Matanya yang memerah terus menghasilkan air mata yang tak pernah berhenti, namun tak ada isak tangis yang terdengar.

Kamar yang semula rapi sekarang menjelma seperti kapal pecah dengan barang-barang yang berserakan dimana-mana.

Gadis itu melepaskan pelukan pada bingkai kemudian menatap foto yang berada di dalamnya. Jemari Octella yang penuh goresan luka mengelus pelan foto seorang pemuda yang merangkulnya.

"Kenapa, Kal? Lo bilang lo ngga sama kaya mereka, lo bilang sampai kapanpun gue masih punya lo, tapi nyatanya lo pergi. Lo ngga nepatin semua janji yang lo buat sendiri. Kal ... Gue ngga akan berharap kalo lo ngga ngasih gue harapan itu," ungkap Octella sembari terisak kecil, matanya terpejam berusaha menahan laju air matanya.

"Lo cintanya sama gue kan, Kal? Bukan sama dia, tapi kenapa lo tetep pilih dia? Gue kurang apa? Apa yang salah dari gue sampe lo lebih milih dia?"

Octella kembali menangis sambil menyandarkan kepalanya pada foto Kalandra. Isak tangis yang semula terdengar samar kini mulai membesar, di iringi dengan punggungnya yang bergetar.

Suara pintu kamar yang terbuka membuat Octella mengangkat kepalanya. Mata gadis itu menatap datar seorang pria yang berdiri di depan pintu dengan raut wajah tak terbaca.

Octella meletakkan bingkai itu di lantai kemudian bangun dari duduknya, gadis itu juga menghapus air matanya dengan kasar.

"Ngapain Papa ke sini? Mau ngetawain aku? Atau mau membanggakan diri karena semua ucapan Papa terjadi sama aku? Papa mau apa?!"

Miko menggelengkan kepalanya tak percaya, "Hati kamu benar-benar tertutup sama pikiran negatif tentang Papa, El. Papa ke sini karena Papa khawatir El, Azran bilang kamu sama Kalandra udah putus, Papa takut kamu ngelakuin hal bodoh lainnya, dan Papa ngga tega ngeliat Mama kamu nangis setiap hari karena mikirin kamu," ungkap Miko dengan raut wajah penyesalan dan kekecewaan yang terlihat jelas.

Octella terkekeh sinis, "Papa sendiri yang dorong aku buat selalu berpikiran buruk tentang Papa, dan apa tadi? Azran yang bilang? Apa Azran yang paksa Kalandra buat putusin aku?"

Gadis itu melangkah mendekati Miko yang masih terdiam di depan pintu kamarnya yang sudah terbuka. Mata Octella menatap penuh benci kearah sang ayah.

"Puas liat aku kaya gini? Papa pasti seneng kan liat aku menderita kaya gini? Akhirnya perlakuan aku sama Kaneisha terbalaskan, Papa puaskan? PAPA PUASKAN LIAT AKU YANG BERANTAKAN KAYA GINI, HAH?!" jerit Octella sembari mencengkram kerah baju sang ayah.

Miko melepaskan cengkraman itu dengan paksa, pria itu balik mencengkram bahu Octella yang sedang menatapnya tajam.

"Papa ngga pernah punya pikiran kaya gitu! Papa ngga pernah nyalahin kamu atas semua perlakuan yang kamu berikan! Papa khawatir, Papa khawatir sama keadaan kamu! Kamu anak Papa, El, wajar kalo Papa khawatir!" ungkap Miko sambil mengguncang pelan bahu putrinya.

Octella terkekeh sinis dengan air mata yang terus mengalir, "Anak? Papa tau? Sejak Papa pilih untuk pergi dari kehidupan aku, sejak hari itu juga Papa kehilangan hak untuk panggil aku sebagai anak! Dan, kalo emang Papa khawatir, seharusnya Papa ngga biarin orang lain hancurin kebahagiaan aku! Papa bilang Papa peduli tapi Papa paksa orang yang aku cintai untuk pergi! Brengsek tau ngga?!"

Setelah mengatakan itu Octella menghempaskan cengkraman Miko. Gadis itu menghapus kasar air matanya yang tidak berhenti mengalir.

"Tapi orang yang kamu cintai itu udah beristri, Octella!"

"Apa salahnya?"

"Dia punya an-

"APA SALAHNYA, PA?! PAPA JUGA DULU PUNYA ISTRI, PUNYA ANAK, TAPI KENAPA CUMA AKU YANG NGGA BOLEH?!"

Miko kembali terdiam, entah harus berapa kali Miko menjelaskan bahwa kondisi mereka berdua berbeda. Jelas semuanya tidak bisa di sama ratakan.

"Kenapa cuma aku yang selalu di tinggalin?! Kenapa selalu aku yang ngga bisa milih apa yang aku mau?! Aku juga manusia, Pa! Aku punya perasaan! Sekalipun orang ngecap aku sebagai orang jahat, aku tetap manusia! Aku ngga bisa cegah dimana hati aku jatuh!"

...

Kalandra mengunci pintu rumah dengan wajah berseri, pemuda itu kemudian langsung bergegas menuju kamar tidur, tempat dimana suara gumaman halus itu terdengar.

Dirinya langsung tersenyum saat melihat Zendaya yang sedang menghadap Kalandra yang berbaring di sebelah wanita itu.

"Hai," sapa Kalandra sedikit canggung, namun saat melihat respon Zendaya yang tersenyum dan membalas sapaannya, pemuda itu kembali melebarkan senyuman.

Kalandra berjalan mendekat, "Gue bawa cake lagi, kali ini rasa cokelat. Gue beli sendiri bukan di kasih."

Zendaya menerimanya tanpa mengatakan apapun, hal yang membuat Kalandra tersenyum haru adalah Zendaya langsung membuka dan mencicipi cake yang dia bawa.

Gue bingung harus pake cara apalagi gue bersyukur, Ay?

Kalandra mengalihkan pandangannya kearah sang putra yang masih bergerak lincah. Pemuda itu berpindah tempat kemudian duduk di pinggiran ranjang.

"Kean, kok belum tidur sih?"

Melihat sang anak yang terus meracau tidak jelas membuat rasa lelah yang Kalandra rasakan langsung menghilang entah kemana.

"Mau apa, hm?" tanya Kalandra saat melihat tangan Keandra yang seakan-akan meminta untuk di gendong, "nanti bobo sama Papa, ya? Tapi Papanya mandi dulu, oke?"

Zendaya memperhatikan Kalandra yang asik berinteraksi dengan putra mereka, tangannya masih menggenggam sepotong cake cokelat.

Wanita itu mengalihkan pandangannya kearah jendela, "Besok gips gue udah di lepas."

Kalandra beralih menatap sang istri dengan raut gembira, "Bagus dong? Nanti gue bakal ngajarin lo jalan, dan setelah itu gue bakal bawa lo kemanapun lo mau."

Kalandra sedikit bergeser mendekat, pemuda itu perlahan menggenggam kedua tangan Zendaya sehingga membuat cake di tangan wanita itu terjatuh kedalam kotak.

Zendaya menatap Kalandra dengan pandangan tak terbaca, begitupula Kalandra yang sebenarnya tidak bisa menyebutkan tatapan apa yang sedang dirinya berikan.

"Gue tau, Ay, sesulit apa lo buat percaya lagi sama gue, tapi untuk kali ini gue ngga akan pernah lagi lepasin genggaman tangan kita. Sepenuhnya gue sadar, Aya, kalian berdua yang tertulis di garis takdir gue. Sekuat apapun gue nolak, gue ngga bisa apa-apa, itu bukan berarti gue pasrah sama takdir gue, Ay, tapi gue udah buka hati buat nerima kalian tanpa ada rasa tertekan sedikitpun. Harusnya dari awal gue bersyukur karena garis takdir gue seindah ini, Tuhan udah kasih gue keluarga kecil yang sempurna, ngga seharusnya dulu gue ngerasa terbebani," ungkap Kalandra dengan mata berkaca-kaca, kepalanya terus menunduk seolah-olah tak mempunyai keberanian untuk sekedar menatap Zendaya, "maaf, maaf karena aku telat buat ngerti semuanya, maaf karena terlalu lama biarin kamu melangkah sendirian, maaf karena aku, kamu jadi kaya gini, aku minta maaf. Tolong jangan berpikiran untuk menghadirkan perpisahan di antara kita, aku bener-bener minta maaf."

Zendaya menggigit bibirnya untuk menahan isak tangis yang hendak keluar. Matanya yang sudah berderai air mata terus menatap Kalandra yang menangis sambil menumpukan kepala di genggaman mereka.

Maaf karena gue ngga bisa melangkah lebih jauh, Kalandra. Gue mungkin bisa maafin semuanya, tapi gue tetep ngga bisa....

.

.

.

.

helowww aku kembali:))
huhu maaf ya aku bener-bener hilang timbul, up nya jadi lama sekarang:((((
tapi tetap jangan lupa vote dan komen, ya
dan tungguin cerita ini terus sampai tamat
tbc.

AMBIVALEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang