Octella menoleh kearah Kalandra yang bersandar di senderan sofa. Mereka masih dalam posisi ini sejak semalam, sekarang bahkan sudah hampir pukul tujuh pagi.
Gadis itu mengambil tangan Kalandra, menautkan jemari mereka lalu meletakkan di pangkuannya.
"Kapan lo mulai kuliah?"
Kalandra menoleh menatap genggaman tangan mereka, "Kurang dari seminggu lagi udah mulai kuliah."
"Semangat, sayang. Jangan sampe kecapean apalagi kebanyakan pikiran," ucap Octella lalu senyum lebar.
"Iya," balas Kalandra lalu kembali menutup matanya, tangannya yang lain terangkat untuk memijat pelipisnya pelan.
Octella menghela nafas jenang, "Lo sebenernya kenapa, Kal? Lo ngga mau cerita sama gue?"
Pemuda itu bangkit setelah menghela nafas kasar, tatapan tajamnya mengarah kepada kekasihnya itu.
"Gue belum bisa cerita sekarang, El," ucap Kalandra seraya mengusap wajahnya kasar, "udahlah gue mau pulang."
Octella langsung berlari mendahului Kalandra yang hendak berjalan menuju pintu. Gadis itu merentangkan tangannya melarang Kalandra untuk pergi dari sana.
"Okey, sorry, gue janji ngga akan nanya-nanya lagi, tapi please jangan pergi dulu. Seenggaknya sarapan di sini dulu, ya? Gue khawatir sama kondisi lo, Kal," ucap Octella lalu melangkah mendekat. Perlahan gadis itu memeluk Kalandra yang tetap diam.
"Maaf," bisik Octella ketika merasakan tangan Kalandra membalas pelukannya.
Kalandra menumpukan dagunya di puncak kepala sang kekasih, "Gue yang minta maaf, maaf karena ngga bisa cerita apapun sama lo."
Octella mengangguk, "Ngga papa, jangan pulang, ya?"
...
Raja menatap kosong tubuh Zendaya yang masih berbaring. Terlihat berbeda dari biasanya, perut wanita itu sudah tidak bulat lagi. Sebelah kakinya sudah terpasang gips, belum lagi sepanjang lengan yang tergores benda tajam.
Wajah Zendaya juga memiliki beberapa luka ringan, tetapi adiknya ini masih sangat cantik seperti biasanya.
Pemuda itu menghela nafas pelan, jemarinya terangkat hanya untuk menusuk pelan punggung tangan Zendaya.
"Kapan lo mau bangun?" tanya Raja pelan, matanya menatap kebelakang, tempat dimana Nava dan Lana yang masih tertidur lelap. Sedangkan kedua orang tuanya berada di luar untuk melihat anak Zendaya.
"Lo ngga mau ceritain kenapa lo bisa jadi kaya gini?"
Raja masih setia menatap Zendaya yang terlelap nyaman, "Aya ... Ngga mau liat anak lo?"
Tubuhnya tersentak kaget ketika tangan Zendaya bergerak pelan, belum lagi dengan mulutnya yang terbuka seakan sedang menghirup udara.
"Aya?!"
Raja langsung menekan tombol merah yang berada di sebelah monitor. Suaranya juga berhasil membangunkan kedua wanita di belakangnya.
"Aya kenapa, Raja?! Aya kenapa?!" tanya Nava khawatir.
Raja hanya menggeleng pelan, tak lama kemudian Dokter memasuki ruangan itu dan langsung mendekati Zendaya. Kekhawatiran kembali menyerang ketika Dokter mulai memeriksa keadaan Zendaya yang kembali tenang.
"Gimana, Dok?" tanya Lana pelan.
Dokter tersebut menoleh, "Tidak terjadi apapun, tubuh pasien mulai merespon dengan baik. Terus ajak komunikasi, pasien akan segera sadar."
Setelahnya Dokter laki-laki itu pamit untuk pergi. Mereka yang ada di sana langsung mendekat kearah Zendaya dengan perasaan bahagia.
Nava mengelus rambut putrinya dengan lembut, "Ayo sadar, sayang. Kita semua nungguin kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBIVALEN [END]
Ficção AdolescenteAmbivalen; perasaan bercabang dua yang bertentangan. Seperti ... Mencintai dan membenci dalam waktu yang bersamaan. Mereka hanya punya satu pilihan, mempertahankan cinta atau kebencian. Karena nyatanya hanya satu perasaan yang akan menang, dan se...