Kalandra merapikan dasi kupu-kupu mungil yang terpasang apik di leher sang putra. Pemuda itu tersenyum lembut, tangannya yang tadi merapikan dasi bergerak untuk mengelus rambut lebat Keandra.
"Pa-Pa-Pa."
Pemuda itu kembali tersenyum kemudian menoleh ke samping, "Liat, anak kita udah mulai bisa ngomong, sayang."
Matanya memandang lurus ke depan, menatap hangat bingkai foto yang berisikan foto pernikahannya.
Enam bulan berlalu, rasa sakitnya sama sekali tidak berubah. Setiap harinya sama seperti hari pertama yang Kalandra rasakan.
Dulu, hampir satu minggu penuh Kalandra tidak keluar dari kamar mereka. Jika saja Richard tidak mendobrak untuk masuk, mungkin Kalandra akan segera menyusul Zendaya saat itu juga.
Kalandra hampir merasa kehilangan jati dirinya, Kalandra merasa bahwa hidupnya benar-benar kehilangan arah.
Namun, tangis kecil Keandra saat itu mampu membuat dirinya seakan kembali hidup. Saat melihat mata putranya, Kalandra merasa sedang menatap mata teduh sang istri.
Ucapan Raja saat di pemakaman kembali terulang di benaknya, Raja benar. Dirinya masih memiliki tanggung jawab untuk membesarkan Keandra.
Selama enam bulan, Kalandra melakukan semuanya diiringi kerinduan dan rasa sakit yang teramat besar.
Lamunan Kalandra buyar saat tepukkan lembut terasa di jemarinya. Pemuda itu turun dari ranjang kemudian menggendong sang putra lalu melangkah menuju bingkai besar itu.
Dengan tangan yang sedikit bergetar, Kalandra mengelus bagian wajah Zendaya yang terlihat sangat cantik, atensinya beralih kearah sang putra yang senantiasa tersenyum.
"Kean mirip Mama, ya?" tanya Kalandra pelan, tatapannya kembali beralih kearah bingkai, "berarti ... cinta yang Mama punya buat Kean besar, sayang."
Kesedihan kembali hinggap di hatinya, apa rasa cinta yang Zendaya miliki untuknya dulu juga sebesar ini?
"Mamama~."
Kalandra mengusap kasar air matanya, "Iya, sayang, ini Mama. Kean kangen Mama?"
Pemuda itu tertawa getir saat tangan mungil Keandra menepuk permukaan foto mereka.
"Papa juga kangen Mama...."
"Kalan."
Pemuda itu menoleh kearah sumber suara, di depan pintu sana berdiri seorang wanita yang selama ini menjadi pegangannya.
"Iya, Ma," balas Kalandra sembari mendekati wanita itu.
Lana tersenyum lembut, "Ayo, berangkat, nanti kita telat, loh."
Kalandra mengangguk sambil mengikuti langkah ibunya. Setelah kepergian Zendaya, Kalandra memutuskan untuk kembali tinggal di rumah orang tuanya.
Selain membutuhkan arahan dalam membesarkan Keandra, Kalandra juga ingin menyembuhkan lukanya.
Rumah itu penuh dengan kenangan, walaupun hanya sedikit kenangan indah yang tercipta, rumah itu tetap identik dengan sang istri.
Zendaya yang menata seluruh isi dan juga pelataran rumah mereka. Setiap sudut rumah itu penuh akan Zendaya.
Kalandra belum siap, Kalandra takut dirinya hidup dalam bayang-bayang bahwa Zendaya masih hidup. Kalandra ingin berusaha untuk putranya, untuk masa depan Keandra.
***
Inka menatap bayangannya di cermin, dengan balutan kebaya sederhana berwarna biru langit, Inka sama sekali tidak merasa bahagia. Rasanya hambar entah karena apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBIVALEN [END]
Fiksi RemajaAmbivalen; perasaan bercabang dua yang bertentangan. Seperti ... Mencintai dan membenci dalam waktu yang bersamaan. Mereka hanya punya satu pilihan, mempertahankan cinta atau kebencian. Karena nyatanya hanya satu perasaan yang akan menang, dan se...