Nava duduk di depan Dokter Hanna dengan perasaan cemas, wanita itu tetap mendengarkan apa yang Dokter itu katakan.
"Dok, bagaimana cara kami untuk mengatasi baby blues yang dialami Zendaya? Sampe sekarang dia belum bisa menerima bayinya, Dok," ungkap Nava dengan nada lirih.
Dokter Hanna sedang melakukan pemeriksaan untuk Zendaya dan bayinya di kediaman mereka, sekarang Nava dan Dokter wanita itu sedang berada di ruang tamu.
Dokter Hanna menghela nafas pelan, "Bu, saya rasa apa yang Zendaya pendam bukan hanya tentang bayinya. Karena biasanya baby blues terjadi karena si ibu merasa frustasi saat mengurus bayinya sendirian, si ibu merasa terbebani sehingga menimbulkan perasaan sedih, marah, dan kesal yang berlebihan kepada bayinya. Tapi, bukannya Zendaya tidak mengurus bayinya sendiri? Jadi, kalau dikatakan kondisi Zendaya karena dia mengalami baby blues agak kurang tepat menurut saya. Mungkin ada hal lain yang memicu hadirnya depresi kepada Zendaya."
Kedua tangan Nava saling meremas, wanita itu mengingat apa saja yang telah putrinya alami. Tentu saja semua perlakuan dan perkataan Dero juga sangat memicu kondisi Zendaya menjadi seperti ini.
Apalagi kata-kata yang Dero ucapkan sebelum semua musibah ini terjadi, pasti itu sangat menyakiti Zendaya. Belum lagi kesalahpahaman yang terjadi antara Zendaya dan Kalandra.
"Saya harus apa, Dok?" tanya Nava dengan nada bergetar.
"Coba tanya pelan-pelan kenapa Zendaya jadi seperti ini, katakan pada Zendaya kalo bayinya tidak ada sangkut pautnya dengan semua yang Zendaya alami, bagaimana Zendaya harus menerima bayinya," jawab Hanna, wanita itu mengelus bahu Nava dengan lembut, "saya tau ini tidak mudah, tapi Zendaya jelas sangat membutuhkan seluruh keluarganya untuk terus bertahan. Usahakan untuk terus terlihat bahagia disekitarnya, jangan sampai Zendaya berpikir jika dirinya dan anaknya membawa kesedihan untuk kalian semua."
...
Kalandra menghela nafas lelah, pemuda itu mendudukkan diri di kursi yang berada di belakang meja kasir. Seorang pria yang berada di meja kasir lantas menoleh kearahnya.
"Gimana? Cape ngga?"
Kalandra terkekeh pelan, "Cape, bang."
Pria itu ikut tertawa, tangannya mengusap rambutnya yang sedikit gondrong, "Nanti juga terbiasa, gue suka banget ngeliat anak kuliahan yang demen kerja kaya gini."
Kalandra hanya merespon dengan senyum kecil, pemuda itu lalu beralih untuk membalas pesan yang baru saja Octella kirim.
Pria berambut gondrong itu mengalihkan pandangannya kearah pintu ketika mendengar pintu kaca itu terbuka.
"Kal, ada pelanggan tuh."
Kalandra sontak menyimpan ponselnya lalu berjalan kearah pelanggan yang baru saja tiba. Langkahnya memelan ketika merasa bahwa dirinya mengenal orang ini.
"Papa?"
Richard menoleh, pria itu tersenyum bangga melihat putranya yang membawa buku menu kepadanya.
"Hey, gimana hari ini? Rame?"
Kalandra mengangguk singkat, "Rame, Pa."
"Oke, jadi Papa boleh pesen?"
Kalandra langsung memberikan buku menu itu kepada Richard, tangannya bersiap-siap untuk mencatat pesanan pria itu.
Richard tersenyum tipis ketika melihat Kalandra yang begitu fokus mencatat seluruh pesanannya. Pria itu mengangguk singkat saat Kalandra pamit untuk mengambil pesanan.
Matanya tak lepas dari punggung putranya yang perlahan mulai mengecil, dan senyum bangga yang Richard tunjukkan tak pernah luntur sedikitpun.
Sekitar sepuluh menit, Kalandra kembali dengan nampan di tangannya, tentu saja Richard menyambut pemuda itu dengan wajah gembira.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBIVALEN [END]
Ficção AdolescenteAmbivalen; perasaan bercabang dua yang bertentangan. Seperti ... Mencintai dan membenci dalam waktu yang bersamaan. Mereka hanya punya satu pilihan, mempertahankan cinta atau kebencian. Karena nyatanya hanya satu perasaan yang akan menang, dan se...