|| 44 | Setiap Langkah Mempunyai Titik Untuk Berhenti ||

1.3K 40 2
                                    

Kalandra membawa putranya yang baru saja di mandikan untuk berjemur di teras rumah sebentar, sebelum dirinya berangkat kuliah.

Entah kenapa Kalandra merasa dirinya sedikit terikat dengan bayi kecil ini. Bayi yang mati-matian Kalandra tolak kehadirannya, dan sialnya hanya dengan satu sentuhan itu mampu membuat darah Kalandra berdesir.

"Ternyata kamu, ya, yang waktu itu panggil Papa di mimpi," bisik Kalandra sembari mengelus pipi bulat putranya, "maaf, ya, dulu Papa ngebuat kamu ngerasa sendiri."

Ada rasa sakit tersendiri ketika Kalandra mengatakan hal itu, bibirnya tersenyum getir ketika bayi kecil ini sama sekali tidak mengerti apa yang dirinya ucapkan.

Kalandra menoleh kearah jendela kamarnya dengan pandangan sendu lalu kembali menoleh kearah putranya.

"Papa tau Papa yang salah, tapi Papa bakal perbaiki semuanya," ucap Kalandra pelan, pemuda itu mendekatkan wajahnya, "Kean, doain Papa, ya? Semoga Papa bisa dapetin Mama kamu, sekali lagi."

...

Raja menghentikan motornya di depan rumah sang pujaan hati. Pemuda itu langsung turun dari motor ketika melihat Fahri yang berada di depan rumah.

"Selamat pagi, Om," sapa Raja ramah, pemuda itu juga menyalami Fahri yang hanya di balas deheman singkat oleh pria itu.

"Mau ngapain kamu kesini?" tanya Fahri dengan wajah datar.

Raja tersenyum canggung, "Mau jemput Inka, Om, udah janjian kemarin mau berangkat bareng."

Fahri mengangguk-anggukkan kepalanya, tapi wajah pria itu sangat ketara bahwa dirinya tidak suka. Deheman pelan dari Fahri membuat Raja refleks menoleh kearah pria itu.

"Saya harap kamu tidak menjalin hubungan apapun sama anak saya, karena saya tidak mau anak saya memakan harapan yang hanya omong kosong itu," ucap Fahri tiba-tiba membuat Raja melunturkan senyumnya, tapi sebisa mungkin Raja kembali tersenyum tipis.

"Iya, Om, kita cuma berteman, saya cukup sadar diri tentang perbedaan kami."

Raja berusaha menekan rasa cintanya, Fahri benar, tidak ada yang salah dari apa yang pria itu ucapkan. Namun, Raja tidak bisa menampik bahwa rasanya cukup menyakitkan.

Fahri tersenyum senang, "Bagus, lagipula Inka akan saya jodohkan dengan seseorang yang akan mampu menuntun anak saya di masa depan."

Raja yang tadinya menunduk lantas mendongak mendengar apa yang Fahri ucapkan. Pemuda itu mencengkram erat helm yang berada di tangannya.

"Kenapa Om ngga suruh Inka cari pendampingnya sendiri?" tanya Raja berusaha menahan rasa sakit yang tiba-tiba muncul dihatinya.

Fahri mengernyitkan dahinya bingung, "Untuk apa? Lagipula Inka sudah setuju."

Raja kehilangan kata-kata mendengar jawaban Fahri, bahkan pemuda itu tetap diam ketika Inka keluar dari rumah.

"Kalian ngobrol apa?" tanya Inka curiga karena melihat Raja yang hanya diam.

Fahri menggeleng, "Cuma obrolan biasa, cepet berangkat nanti kalian telat."

Setelah mengatakan itu, Fahri langsung melangkah menuju rumah. Inka beralih menatap Raja yang masih terdiam sambil melihat kearah Fahri.

"Ja, kenapa sih?" tanya Inka sembari mengguncang tubuh pemuda itu.

Perlahan Raja menoleh sembari tersenyum canggung, "Ah, ngga papa, ayo berangkat. Ini helmnya."

Inka menerima itu dengan wajah bingung, sementara Raja tetap diam selama berkendara. Ucapan Fahri selalu berputar di otaknya.

Raja menghentikan motornya di depan parkiran fakultas Inka. Saat Inka memberikan helm itu, Raja sudah tersenyum seperti biasanya.

AMBIVALEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang