Bab 01

41 17 6
                                    

Halo, Yesabel Janisa G

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk melamar sebagai staff di Neo Link Company. Namun dengan berat hati harus kami sampaikan, bahwa surat lamaran saudari belum memenuhi standar kualifikasi perusahaan kami.
Demikian surat ini kami sampaikan, terima kasih atas perhatian dan partisipasi saudari.

Hormat kami,
Kepala Personalia

Janis mengembuskan nafasnya pelan. Ck, penolakan lagi. Dari puluhan surat lamaran yang Janis kirimkan, belum ada satupun dari mereka yang berhasil menarik perhatian para manajer diluar sana, setidaknya dalam kurun waktu dua bulan terakhir.

Gadis berkuncir dua itu menutup laptop kesayangannya dan merebahkan diri di sofa empuk yang berada persis di ruang tengah. Bohong jika Janis tidak merasa kecewa, karena nyatanya pekerjaan itu adalah harapan terakhir yang ia punya. Ia menaruh seluruh ekspetasi dan harapannya pada perusahaan tersebut. Namun, Janis bisa apa? Tidak ada yang bisa ia lakukan selain kembali berusaha, mencari info lowongan pekerjaan dari berbagai platfrom.

Ia melamun, menatap langit-langit atap rumahnya sambil berpikir keras, bagaimana cara menghasilkan uang dalam waktu cepat agar bisa membayar tagihan listrik yang membengkak. Tabungan yang selama ini ia simpan untuk rencana kuliah sudah nyaris habis, mungkin hanya cukup untuk makan selama dua minggu ke depan. Terkadang, Janis masih tidak menyangka bahwa ia akan berada dikondisi yang benar-benar memprihatinkan.

Lamunannya terpaksa buyar begitu mendapat panggilan telepon dari Yuke.

"Halo, Yuk."

"Halo, Janis. Kamu sekarang lagi dimana?"

"Di rumah. Kenapa?"

"Partner ngajar aku hari ini izin, soalnya lagi sakit. Kamu bisa bantu aku ngga? Back up jadi tutor pengganti."

Yuke adalah salah satu teman Janis yang ia temui di bangku sekolah menengah atas. Keduanya belum bisa dikatakan sebagai sahabat, namun cukup dekat untuk mengetahui sepak terjang jalan hidup satu sama lain. Saat ini Yuke bekerja di salah satu akademi les ternama, sebagai seorang tutor yang mengajar mata pelajaran matematika.

"Tutor pengganti buat mata pelajaran apa Yuk?"

"Tutor pengganti pelajaran Bahasa Inggris. Ayolah Nis, bantu aku. Untuk fee nya lumayan kok. Ongkos pulang sama perginya nanti aku yang bayarin, deh."

Janis diam sejenak. Sebenarnya, Bahasa Inggris adalah bahasa yang sudah ia kuasai diluar kepala. Karena sejak taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, orang tuanya selalu mendaftarkan Janis di sekolah bertaraf internasional. Belum lagi dulu Janis sering bepergian ke luar negeri. Kemampuan speakingnya mungkin boleh diuji, seiring dengan seringnya Janis berinteraksi dan mempelajari kultur bahasa internasional tersebut. Namun masalahnya adalah Janis belum pernah mengajar dan tidak familier dengan kegiatan ini.

"Halo, Janis? Gimana, kamu mau ngga?" Suara lembut Yuke berhasil menyadarkan lamunan Janis.

"Ehm, boleh deh, Yuk." Lagipula, saat ini Janis sangat butuh uang untuk menyambung hidupnya.

"Oke. Untuk jadwalnya sore ini ya, Janis. Jam empat sore, di gedung Dandelion, Jalan Gatot Subroto. Nanti aku bantu share location."

Setelah panggilan terputus, Janis segera bergegas menyiapkan materi dan bahan ajar apa yang ingin ia berikan sambil berkali-kali meyakinkan dirinya sendiri, bahwa tidak ada salahnya kan untuk mencoba?

Yesabel Janisa Gauri, putri tunggal dari pasangan Bagaskara El Gauri—seorang jaksa kondang dan Sonia Tiffani si koki multitalenta. Hidupnya pernah sangat sempurna karena terlahir dari keluarga harmonis nan terpandang yang berkecukupan, sebelum sebuah mimpi buruk merenggut semuanya. Sonia meninggal dunia dalam insiden kecelakaan beruntun. Bagas sangat mencintai Sonia. Ia merasa sangat terpukul dan kehilangan saat Sonia tiada. Salah satu hal yang ia lakukan guna melupakan mendiang sang istri adalah dengan sibuk bekerja tanpa tau waktu dan menyalurkan emosinya dengan minum-minuman keras. Kala itu Janis masih berada di tahun kedua sekolah menengah atas dan sebagai anak yang baru beranjak dewasa, tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis sepanjang malam ketika menyadari bahwa keluarga kecilnya mulai hancur.

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Hingga satu tahun kemudian, tepat pada hari kelulusannya, Bagas lenyap bak ditelan bumi setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi dan tak pernah kembali hingga detik ini. Ayahnya terbukti melakukan suap dan bekerjasama dengan sindikat gelap dalam dunia mafia. Sejak saat itulah kehidupan Janis berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak ada lagi putri Janisa, yang tersisa kini hanyalah raga tanpa jiwa yang kehilangan arah bak Hachi yang kehilangan ibunya.

***

Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Matahari sudah kembali ke peraduan, menarik gulita untuk bekerja sebagaimana mestinya.

"Oke. That's all form ms Janis, nice to meet you guys. I am hopefully we can meet again."

Jadwal mengajarnya sudah usai. Tanpa sapaan atau setidaknya satu kalimat ucapan terima kasih, para anggota les mulai keluar dari ruangan satu persatu. Janis hanya bisa menghela nafas pelan. Huh, sudah berapa banyak helaan nafas berat yang Janis hembuskan hari ini?

Walau jadwal mengajar pertama dalam hidupnya berjalan dengan lancar, namun ada sejumput rasa sedih yang muncul dihatinya. Dari dua puluh lima anggota les, hanya ada dua belas orang yang hadir hari ini. Sisanya? Mereka semua mendadak absen saat megetahui tutor pengganti mereka adalah Yesabel Janisa, putri dari seorang buronan negara. Mereka yang hadir pun bersikap apatis kepada Janis dengan mengabaikan eksistensinya.

Bukan sekali dua kali Janis merasakan diskriminasi yang nyaris membuatnya menangis. Tak terhitung sudah berapa banyak mulut manusia diluar sana yang menggunjing atau mungkin memaki Bagas yang saat ini lebih dikenal sebagai jaksa kriminal. Tentu semua itu berimbas pada masa depan Janis sebagai putri satu-satunya.

Tak ingin terlalu larut dalam sedihnya, Janis memutuskan untuk pulang. Awalnya ia berencana untuk pulang bersama Yuke, namun gadis itu masih ada kelas mengajar tambahan sampai jam setengah delapan malam. Tentu Janis enggan menunggu, lebih baik ia pulang dan beristirahat.

Kereta yang ia tumpangi akan tiba sepuluh menit lagi. Janis duduk sambil memangku tasnya dan berbaur dengan penumpang lain, menunggu kereta yang akan membawa mereka hingga tujuan.
Ia terdiam sambil sesekali mengamati keadaan sekitar. Mengamati sekelompok mahasiswa beserta teman-temannya, keluarga kecil yang baru saja pulang berlibur, hingga sepasang muda-mudi yang tampak malu-malu bergandengan di peron kereta. Janis termenung, merasakan gelenyar aneh di dada yang kian ia kenali.

Merasa sendiri ditengah keramaian adalah salah satu hal yang paling Janis benci, namun anehnya ia mulai terbiasa akan hal itu. Dua tahun tanpa siapapun di sisinya membuat cukup banyak perubahan dalam hidup Janis.

Sore ini, tanpa komando air mata Janis luruh begitu saja. Sungguh, ditengah hari-harinya yang tak mudah, ia sangat merindukan Bagas dan berharap pria itu muncul setidaknya satu kali dalam pandangannya.

"Ayah, Janis kangen banget."

Titik KoordinatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang