Janis lega begitu ia bisa melihat makam ibunya kembali. Hal pertama yang Janis kunjungi setelah kembali adalah makam Sonia, ah ia tidak ingin kembali lagi ke dunia itu, dunia yang hanya memberikan Janis tekanan lebih banyak karena hidup sebagai bayang-bayang orang lain.
"Sore neng."
"Eh, sore juga Pak Subur. Gak libur pak?" Tentu Janis hanya berbasa-basi.
"Engga atuh neng, tukang jaga kuburan kaya saya mah gak ada liburnya."
"Neng, saya udah tau nama adiknya almarhumah ibu Sonia. Kemarin soalnya beliau datang lagi kesini."
Janis yang awalnya biasa saja kini dibuat penasaran karena laki-laki misterius itu kembali muncul. Entah apa maksud dan tujuan pria itu juga hubungan apa yang membuat orang tersebut mengunjungi makam ibunya dalam kurun waktu yang bisa dikatakan rutin.
"Siapa pak? Barangkali itu kakaknya mamah, karena memang mamah punya saudara yang sekarang tinggal di Singapura."
"Namanya Raib neng, masih muda. Sepantaran sama neng Janis, jadi nggak mungkin sih kayanya kalau itu adiknya almarhumah ibu Sonia."
Janis tertegun sebentar. Nama itu asing namun tidak terasa asing. Secara personal ia memang tidak mengenal orang bernama Raib tersebut. Namun Janis ingat, sesaat setelah ia berbicara pada Elen tentang diri yang sesungguhnya, pria itu juga menyebutkan nama Raib sebagai orang yang tak ingin ia temui lagi. Pria itu juga yang menjadi alasan Elen dan Charlotte mengkhawatirkan Janis ketika ia meminta untuk pergi ke Valarion, sebab Elen terakhir kali melihat Raib berkeliaran di kota tersebut.
Mengapa pria itu mengunjungi makam ibunya? Ada urusan apa? Sedangkan mereka pun sama sekali tak pernah bertemu. Yang membuat Janis terkejut adalah ia baru sadar, jika pria itu sudah mengunjungi makan Sonia sebelum Janis menyadari adanya dimensi lain dan pria itu sempat bertemu dengan Elen di Valarion, artinya Raib dengan bebas pergi ke dunia manapun yang ia mau kapan saja? Wah, Janis dibuat merinding hanya dengan membayangkannya saja.
Setelah berdoa dan menceritakan betapa plot twistnya hidup yang sedang ia jalani kepada Sonia, Janis segera beranjak menuju rumah yang sudah lama ia tinggali.
"Kue lapisnya, neng."
Janis tersentak begitu seorang wanita paruh baya yang sedang menjajakan daganganya muncul tiba-tiba di sekitar Janis. Janis terkejut ketika melihat nenek yang menjual kue itu adalah orang yang sama dengan penjual kue yang Janis beli di stasiun.
"Eh, engga dulu ya bu, maaf." Ia menolak dengan sopan. Karena saat ini Janis sama sekali tidak memiliki sepeser pun uang. Setelah kembali ke rumah, Janis berencana untuk meminjam uang pada Yuke untuk biaya hidupnya. Sebab tepon pintarnya tertinggal di dunia yang tak ingin Janis kunjungi lagi, ia hanya memiliki laptop yang sepertinya juga akan ia gadai dalam waktu dekat.
Wanitu tua itu hanya mengangguk lalu mencekal tangan Janis ketika ka hendak pergi. "Tunggu, Janis."
Janis melotot, bagaimana nenek tua itu ia bisa tau namanya?
"Nenek kenal saya?"
"Kembalilah pada Elen, tidak lama lagi kau akan menemukan jawabannya, sayang."
Lagi, Janis dibuat terkejut ketika sang nenek menyebutkan nama Elenio secara jelas tepat dihadapannya. Ketika hendak bertanya lebih lanjut apa maksud dari perkataan tersebut, si nenek sudah pergi dibawa oleh seorang pria muda berjaz hitam, orang-orang berbadan besar yang lebih cocok dikatakan sebagai seorang bodyguard.
***
"Janis! Ini kamu beneran Janisa El Gauri?!" Yuke terkejut begitu melihat sosok yang sudah ia cari-cari belakangan ini. Matanya berkaca-kaca, tak menyangka temannya itu pulang dalam keadaan utuh tanpa kurang satupun. Sangking senangnya ia bahkan tak sadar langsung menubruk Janis begitu saja begitu ia datang.
"Kok kamu bisa ada di rumah aku?" Janis terheran-heran.
"Kamu kemana aja? Aku khawatir banget, aku takut terjadi apa-apa sama kamu, Janis."
Janis mengusap punggung Yuke yang tampak bergetar karena menangis. Ia tersenyum kecil, sepertinya status pertemanan mereka harus naik satu tingkat hari ini. Janis tak menyangka Yuke akan peduli padanya selama ia menghilang.
"Aku gak apa-apa, Yuke. Nih, lihat buktinya aku baik-baik aja."
"Gimana aku ngga khawatir, kamu menghilang tiba-tiba tanpa kabar. Rumahmu kosong, ngga ada satupun orang yang bisa ku tanyai tentang kabar dan keberadaan kamu. Apalagi diluar sana ada pembunuh berantai yang masih jadi buronan polisi, aku takut kamu jadi salah satu korbannya."
Janis tertawa melihat wajah Yuke yang tampak lucu ketika sedang panik. "Kamu lucu banget, hahaha."
"Jangan ketawa, aku serius Janis."
"Iya maaf. Makasih ya Yuke karena udah peduli sama aku..,"
"Terus ini kenapa kamu bisa ada dirumahku? Kamu ngga bayarin tunggakan listrik ku kan, Yuk?"
"Ya enggaklah, mana ada uang aku bayar tagihan listrik rumahmu yang segede istana ini."
Alis Janis menukik tajam. "Lah terus siapa yang bayar? Harusnya udah diputus nih soalnya aku belum bayar tiga bulan."
"Pacarmu yang bayar Janis. Mending sekarang kamu mandi dan siap-siap ketemu pacarmu, selain menghilang dari aku ternyata kamu juga kabur dari pacarmu itu ya. Kasian dia."
"Hah? Pacarku? Aku gak punya pacar."
"Udah gak usah malu, gak apa-apa kok, pacarmu ganteng jadi gak usah malu atau nyembunyiin dariku gitu."
"Aku beneran gak punya pacar, Yuke!"
"Ih parah, Mas Raib tidak diakui sebagai pacar. Aku sih kalau jadi dia bakal marah."
Raib. Lagi-lagi nama itu.
"Kamu ketemu sama Raib?" tanya Janis serius. Pria itu selalu berada dijangkauan terdekat Janis, ada apa?
"Iya, waktu aku lagi bagi-bagi berita kehilangan kamu. Dia bantuin aku dan dia bilang kalau dia pacarmu."
Janis terdiam, daripada bingung ia lebih penasaran mengapa pria bernama Raib itu selalu terhubung dengan Janis.
"Udah sana mandi dulu, kamu kelihatan kumel banget. Abis darimana sih?"
Janis tak menjawab. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah mencoba tak mempedulikan kebetulan yang terjadi kepadanya. Ia akan berterima kasih kepada pria itu jika memiliki kesempatan untuk bertemu dilain waktu karena telah membayarkan tunggakan listrik yang tak mampu Janis selesaikan.
"Ini apa, Yuk? Punya kamu?" tanya Janis ketika melihat sebuah kotak kecil yang berada di ruang tamu, tampak seperti kado.
"Nah itu tuh, pacarmu juga nitipin itu untuk kamu."
Tanpa banyak bertanya lagi Janis pun mulai membuka kotak kecil itu. Tak ada yang istimewa, hanya beberapa lembar foto yang dapat membuat mata sipit Janis membulat sempurna. Ada dua lembar foto disana, foto pertama adalah foto Janis dengan seorang pria yang Janis yakini bernama Raib, pria yang ia temui di stasiun belum lama ini. Di foto kedua ia melihat foto ibunya—Sonia yang terlihat sedang melamun di istana yang Janis tau betul dimana letaknya. Di Kota Valarion.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat
FantasyBanyak hal yang berubah dalam hidup Janis setelah kematian sang ibu. Hidupnya yang semula bak putri kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ayahnya menghilang tanpa jejak sebagai buronan negara, ia pu...