Raib sudah diamankan oleh kerajaan Valarion dan pria itu sudah mengetahui kebenarannya. Kebenaran yang selama ini menyesatkan ia juga Janis tentang Ratu Alice dan Ratu Elisa yang sesungguhnya. Gelang pria itu pun sudah berada di tangan Janis. Selesai semua hal yang perlu ia tuntaskan di kota ini. Bagas pun sudah berpamitan kepada Ratu Elisa. Tak mudah meninggalkan tempat yang sudah dua tahu belakangan ini ia jadikan sebagai rumah untuk singgah. Namun begitulah kehidupan, Bagas rasa sudah cukup ia lari dari masalah dan kini saatnya untuk menjalani hidup dengan apa adanya, menerima kenyataan yang ada.
Kini Janis dan Elen sedang dalam perjalanan menuju kota Sourbridge. Namun tak hanya mereka berdua, kini ada Bagas juga yang ikut pergi ke kota Valarion. Menemani Janis untuk bertemu dengan Charlotte dan Elea dan pamit kepada Maverick bersaudara.
Selama perjalanan menuju Sourbridge, Janis hanya melihat pemandangan di sekelilingnya dengan perasaan yang tak bisa ia artikan. Perjalanan waktu yang hanya akan terjadi sekali seumur hidup. Ia pasti akan merindukan Elen, Charlotte, Elea dan madam Elis. Tak hanya itu, ia pasti akan merindukan bagaimana indahnya kota Sourbridge yang selalu menemaninya beberapa waktu belakangan ini. Jujur saja Janis sangat sedih namun ia juga senang ketika ia menemukan ayahnya kembali. Ia akan melanjutkan hidupnya bersama Bagas, cinta pertamanya.
"Ada yang sedang kamu pikirkan, Janis?" Tanya sang Ayah sambil mengelus puncak kepala sang putri.
Janis menggeleng. "Engga ayah, Janis cuma lagi ngebayangin pasti suatu saat nanti Janis pasti akan kangen sama tempat ini."
"Pasti."
Tak terasa perjalanan yang memakan waktu selama kurang lebih tiga jam itu sudah berlalu dan Elen sudah memarkirkan mobilnya tepat di halaman rumah Maverick. Begitu turun, Janis segera menarik Bagas menuju pintu samping rumah itu, menunjukan ukiran yang sama persis seperti yang pernah ayahnya buat.
Forever my first, Janis
"Ayah, liat. Ini persis sama apa yang pernah ayah buat di Norewgia, kan?"
Bagas sempat tertegun, sama seperti Janis dulu ketika melihat rumah ini sangat persis seperti rumah orang tuanya. Dan ketika melihat ukiran itu membuat Bagas melempar jauh ingatannya ketika pertama kali Sonia melahirkan Janis dulu, anak yang pertama kali menjadikan Bagas sebagai orang tua.
"Siapa yang membuat ini?"
"Tentu aku." Elen ikut menghampiri anak dan ayah tersebut.
"Kau begitu mencintai putriku, uh?"
"Tentu. Aku sangat-sangat mencintai putrimu."
Bagas tertawa. Andai Elen adalah bagian dari dunianya, sudah ia pastikan ia akan menitipkan Janis pada pria itu ketika Bagas menjalani hukumannya nanti.
"Tuan Elen, nona Charlotte sudah kedatanganmu."
"Ah ya, mari masuk."
Elen, Bagas dam Janis memasuku rumah tersebut. Secara pribadi Janis sangat penasaran bagaimana reaksi Charlotte ketika melihat wajah ayahnya yang mirip dengan Raja Oliver, terlebih hubungan Charlotte dan Raja Oliver dulu sangat dekat.
"Kau sudah kembali El—Raja Niel?!" Sesuai prediksi, Charlotte sangat terkejut hingga ia menutup mulutnya dengan telapak tangan saking terkejutnya.
"Salam kenal Charlotte, nama saya Bagas bukan Raja Niel."
"Bagaimana bisa? Kau tampak seperti Raja Niel."
"Aku adalah ayah Janis, Janisa El Gauri."
Janis tersenyum melihatnya. "Kau ingat aku pernah berjanji akan menjelaskan semuanya ketika sudah kembali? Maka aku akan menjelaskan semuanya hari ini."
Charlotte semakin bingung. Mereka pun memutuskan untuk duduk di ruang tengah dan menceritakan semuanya dari awal. Tentang Janis yang ternyata bukanlah Janis yang sesungguhnya, kebenaran tentang Ratu Alice yang memiliki kembaran, kesalah pahaman Raib dan Janis hingga semuanya tanpa terkecuali. Tentu tidak mudah bagi Charlotte dan Elea yang ikut mendengarkan cerita tersebut untuk mempercayai semuanya, sama seperti Elen pada awalnya. Namun begitulah kenyataannya, tak ada satupun cerita yang Janis tutup-tutupi.
"Malam ini aku akan kembali, ke tempat asalku." Tibalah untuk Janis mengucapkan salam perpisahan kepada sulung di keluarga Maverick.
"Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah menjagaku dengan baik, kau menjagaku selayaknya adik kandungmu sendiri. Terima kasih karena sudah memberikan Janis banyak cinta sebanyak yang kau punya. Kau adalah kakak terbaik yang pernah ada."
Mata Charlotte berkaca-kaca. Ia siap menangis. Lalu tanpa babibu ia segera memeluk Janis mungkin untuk yang terakhir kalinya. "Kau sangat mirip seperti Janis, wajahmu, suaramu semuanya tanpa terkecuali. Hatiku sakit mengetahui bahwa kau bukanlah Janis yang selama ini aku kenal, namun aku bersyukur, karena kamu mengobati rasa rinduku pada Janis. Senang bisa mengenalmu, Janis."
Perpisahan yang indah. Janis tak pernah menyangka ia akan mengalami hal ini seumur hidupnya, sebuah pengalaman yang tak akan Janis temui dimanapun.
***
Jam sudah menunjukan pukul tujuh malam. Janis dan Bagas sudah bersiap menuju stasiun diantar oleh Maverick bersaudara. Ketika sampai di stasiun Elea menangis hingga meraung-raung, tak rela melepas kepergian Janis—kakak yang begitu ia cintai.
Janis mengusap rambut Elea pelan. "Jangan menangis, Elea."
"Aku pasti akan merindukanmu, Janis."
"Aku pun, aku akan lebih merindukanmu. Tolong jaga Charlotte untuk ku ya? Jangan nakal, aku tau kau adalah adik yang baik."
"Bila aku rindu aku harus bagaimana? Aku tidak bisa menghampirimu begitupun sebaliknya."
Janis tesenyum. Ia memberikan sebuah cincin yang ia custom namanya. "Ini untukmu, bila kau rindu kau bisa memanggil namaku maka kau akan merasakan kehadiranku, di hatimu."
"Dilain waktu, bahkan jika itu mesti di kehidupan selanjutnya, aku harap kita bisa bertemu kembali Janis. Aku sungguh-sungguh menyayangimu."
"Aku pun begitu."
Janis menatap seluruh sudut stasiun, tempat asing yang ia pernah singgahi. Masih lekat di ingatannya ketika Janis pertama kali datang disini dan seperti orang bodoh yang tak mengetahui apapun, ia kebingungan hingga berakhir tertidur layaknya tunawisma. Lalu keesokan harinya ia bertemu dengan Elea hingga gadis itu membawanya ke keluarga Maverick dan disitulah kehidupan Janis berubah.
Charlotte merengsek maju, memeluk Janis. "Hati-hati dan jaga kesehatanmu."
"Kau juga Tuan Bagas, jaga kesehatanmu."
Bagas tersenyum pasti.
Setelah Charlotte menguar pelukannya giliran Elen yangmenghampiri Janis. Ia memberikan sebuah cincin tunangan yang sebelumnya ia jadikan kalung.
"Hadiah untukmu."
"Tidak seharusnya aku menerima ini bukan? Ini milik Janis bukan milik ku."
"Kini akan kuberikan kepadamu, jadi mulai hari ini cincin itu milikmu."
Janis menerima cincin itu menghargai pemberian yang diberikan oleh Elen.
Pengeras suara sudah mengumumkan jadwal keberangkatan kereta, menandakan Janis dan Bagas haru segera memasuki gerbong kereta.
"Aku pamit, ya." Janis berbalik, meninggalkan kota ini dengan perasaan lapang. Di dalam gerbong Janis melihat Elen, Charlotte dan Elea melambaikan tangannya hingga kereta yang membawa Janis melaju menembus lorong waktu.
***
Janis terkejut ketika mendengar suara bising akibat banyaknya orang yang secara tiba-tiba memasuki gerbong kereta. Janis melirik jam yang melingar di pergelangan tangannya, jam delapan pagi, waktunya orang-orang pergi bekerja. Beberapa orang dalam gerbong melirik Janis dan Bagas yang masih tertidur dengan tatapan sinis.
"Ah, ia sudah kembali ke kehidupannya."
Janis sengaja tidak membangunkan Bagas karena ayahnya tampak kelelahan. Tak peduli dengan bagaimana pandangan orang-orang terhadap Janis dan ayahnya mereka akan menghadapinya bersama-sama.
Janis hanya menyampirkan senyum terbaiknya untuk membuktikan kepada dunia bahwa ia baik-baik saja.
End.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat
FantasyBanyak hal yang berubah dalam hidup Janis setelah kematian sang ibu. Hidupnya yang semula bak putri kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ayahnya menghilang tanpa jejak sebagai buronan negara, ia pu...