Berpegang pada peta yang dipinjamkan oleh pemilik penginapan, pagi ini Elen berangkat menuju pasar terbesar di Kota Valarion. Ia sudah izin pada Paman Sam dan mengatakan bahwa ia akan pergi sebentar untuk mencari kue apel pesanan Elea.
Semilir angin mulai berhembus, Elen memperkirakan tak sampai dua minggu lagi musim dingin akan tiba. Kendati begitu suasana di pasar ini tetap ramai pengunjung, karena pasar ini merupakan salah satu pasar paling lengkap di kota ini, semua kebutuhan tersedia disini. Tak heran para warga berbondong-bondong datang untuk berbelanja semua kebutuhan mereka.
"Permisi tuan, bisakah kau tunjukan padaku dimana persisnya toko kue ini?" Elen bertanya pada salah seorang pedagang gandum yang ada disana. Elen agak kesulitan menemukan toko kue itu.
"Kau jalanlah terus sampai toko buku, lalu kau bisa lihat disebelah kanan toko buku itu ada satu-satunya bangunan bertingkat, kau naiklah ke lantai dua dan disanalah toko kue itu berada."
"Baik, terima kasih banyak, tuan." Elen membungkuk sopan lalu melangkahkan kakinya mengikuti arahan pedagang baik hati yang baru saja ia temui.
Satu dua toko terlewati. Banyak pedagang yang dengan ramah menyapa hingga merayu Elen untuk sekadar mampir melihat barang yang mereka jajakan.
The Deli Bake's
Langkahnya terhenti di sebuah bangunan tua bertingkat. Ia melirik sekilas
peta yang ia bawa lantas melangkahkan kakinya masuk ketika merasa yakin bahwa bangunan di hadapannya ini adalah toko kue yang ia cari.Lantai satu ditempati oleh cofee shop yang tampak sepi pengunjung, biar begitu wangi kue yang tersaji di lantas atas sudah menguar di indra penciuman Elen begitu pria itu membuka pintu.
Tidak seperti yang ada di bayangan Elen, toko roti yang katanya sangat enak dan banyak digemari itu tidak seramai yang Elen pikirkan. Hanya ada empat sama lima orang yang sedang mangantre di depan Elen menuju kasir.
"Kita bertemu lagi, Elenio Maverick."
Suara itu, suara asing yang sialnya Elen kenali. Suara yang mengawali semua mimpi-mimpi buruknya.
"Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi, disini, tanpa putri Janis. Walaupun pertemuan ini hanyalah pertemuan yang tak disengaja..,"
"Sebab aku kira kita tidak akan pernah berjumpa lagi, kecuali di surga suatu saat ini. Dalam kondisi yang sama. Sama-sama memperebutkan putri Janis."
"Jangan pernah kau bawa-bawa Janis," lugas Elen memperingatkan.
Elen tidak sudi rasanya jika nama Janis disebut oleh pria lain apalagi jika itu adalah Raib orangnya.
Ya. Raib Ladomir.
Laki-laki jangkung semampai dengan rambut sepanjang bahu yang sepertinya tampak jauh lebih panjang dari pertemuan terakhir mereka, ia adalah orang yang entah bagaimana ceritanya bisa memasuki kehidupan Janis dan Elen. Pria yang membuat perubahan besar dalam hidup Janis sebelum akhirnya gadis itu menghilang.
"Kenapa? Kau masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa Janis telah tiada?"
Elen diam. Sejak sebuah kabar yang menyebutkan Janis meninggal dunia, Elen memang tak pernah percaya sebelum melihat langsung jasad perempuan itu di depan matanya. Sampai akhirnya Janis kembali, dengan keadaan sehat tanpa kurang satupun walaupun ia kehilangan seluruh ingatannya.
Jika Raib belum mengetahui bahwa Janis masih hidup dan telah kembali maka pasti mereka belum bertemu dan Elen akan tetap bungkam.
"Janis tidak pernah kemana-mana, ia selalu berada di lubuk terdalam hati dan pikiranku. Jika memang kau menganggap aku beluk bisa menerima kenyataan setelah kehilangan Janis, ya, kau benar." Tak peduli dengan kue apel yang Elea inginkan, ia akan meminta maaf nanti, yang terpenting ia harus pergi menjauh dari Raib dan segera pulang menemui Janisa.
***
Empat belas hari sebelum Janis menghilang
Sore itu Janis sedang jalan-jalan di sebuah taman yang cukup jauh dari paviliun. Mencari objek unik yang akan ia gambar menjadi sebuah lukisan, menyalurkan kegemarannya seperti rutinitas biasa. Ia berjalan seorang diri tanpa ditemani Elen ataupun Charlotte dan Elea.
"Putri Janis?"
Merasa ada yang memanggil namanya, Janis pun menoleh, lantas mengerutkan kening ketika melihat seorang pria mendekat ke arahnya.
"Siapa kau?"
Tangan pria itu menjulur ke arah Janis. "Aku Raib." Berharap Janis mau membalas kembali uluran tangannya.
Namun bukannya demikian, Janis malah memundurkan langkah, khawatir bahwa lelaki yang kini tengah berada di hadapannya adalah orang jahat.
"Apa yang kau inginkan, Raib? Jika kau ingin merampas atau mencuri sesuatu dariku, kau salah orang karena aku tidak memiliki apapun."
Raib tertawa kecil. Walau tidak terlalu kentara namun ia bisa melihat raut wajah khawatir di wajah cantik Janis. Raib dapat memakluminya, siapa yang tidak takut jika diajak berkenalan oleh pria asing yang memiliki tampang seperti preman? Rambut gondrong, celana belel juga rompi lapuk yang membalut tubuh Raib. Siapapun yang melihatnya pasti akan mengira Raib adalah seorang bandit yang sedang mencari mangsa.
"Aku tidak ingin apapun, aku hanya ingin balas budi padamu."
Janis kebingungan.
"Ah maksudku, balas budi pada ibumu. Ratu Alice."
"Ibuku sudah tiada, Raib. Semua orang tau itu. Lagipula tidak perlu membalas hal baik yang pernah dilakukan ibuku padaku, cukup kau simpan."
"Siapa bilang ibumu sudah tiada? Ibumu masih hidup."
Kini giliran Janis yang tertawa. Ia kembali melangkahkan kakinya, berjalan meninggalkan Raib yang dengan sengaja ia tinggal di belakangnya. "Memang kenyataannya seperti itu tuan, ibuku sudah meninggal."
"Apa kau pernah melihat jasadnya? Setidaknya satu kali dalam hidupmu?"
"Aku tidak melihatnya namun ia memang sudah tiada."
"Tidak ada yang melihat jasadnya, semua orang di negara ini menganggap Raja Niel dan Ratu Alice sudah tiada namun tidak ada yang pernah melihat jasadnya."
Egosentris Janis yang ia telan selama ini agak sedikit tersentil hari itu, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat untuk menyakinkan bahwa kedua orang tuanya memang sudah tiada dalam sebuah insiden kelam. "Aku memang tidak melihatnya atau mungkin semua orang di negara ini tidak melihat jasad mereka, tapi Charlotte melihatnya. Ia melihat bagaimana ayah dan ibuku dikubur dalam satu liang lahat yang sama."
Raja Niel dan Ratu Alice tewas dalam insiden gerilya hebat yang dilakukan oleh para pengkhianat, jasadnya ditemukan dengan kondisi yang sangat mengenaskan hingga Janis yang saat itu masih belum cukup dewasa pun dilarang melihat wajah kedua orang tuanya untuk yang terakhir kali.
"Charlotte? Seseorang yang telah membawamu jauh ke kota terpencil ini?"
"Ah lupakan. Siapapun dia dan terlepas dari niat balas budiku, aku akan menunjukan padamu sesuatu yang tak bisa diketahui orang-orang."
Janis terdiam. Siapa sebenarnya orang ini? Mengapa ia sangat memaksa Janis?
"Aku harus izin kepada Charlotte lebih dulu."
"Jika kau ingin mengetahui sebuah kebenaran besar, kita tidak ada waktu untuk itu, putri Janis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat
FantasyBanyak hal yang berubah dalam hidup Janis setelah kematian sang ibu. Hidupnya yang semula bak putri kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ayahnya menghilang tanpa jejak sebagai buronan negara, ia pu...