"Janis itu teman saya tapi gak begitu dekat. Kita kenal pas SMA, pernah ada di satu kelas yang sama."
Pria itu mengangguk kecil, mendengarkan Yuke bercerita sejak beberapa menit yang lalu.
"Hidupnya terbilang mudah saat itu. Memiliki prestasi, keluarganya harmonis dan hidup sebagai anak yang terlahir di keluarga yang kaya raya..,"
"Tapi ya namanya juga roda kehidupan, gak selamanya hidup itu akan dapet bahagianya terus. Suatu hari ibunya meninggal dunia karena kecelakaan, ayahnya pun terjerat kasus suap dan katanya terbukti bekerjasama dengan beberapa sindikat mafia."
Raib menahan nafasnya ketika Yuke juga dengan detail menjelaskan penyebab kematian Sonia disebabkan oleh kecelakaan yang sampai saat ini masih diusut pelaku serta kejadian yang sebenarnya. Raib dan Janis, keduanua benar-benar saling terhubung satu sama lain.
"Udah dua pekan ini dia menghilang tanpa kabar. Rumahnya kosong, teman atau saudara pun dia gak punya selain saya."
"Sebelum menghilang, apa ada gelagat aneh tentang temanmu itu?" Setelah cukup lama menjadi pendengar, kini Raib beralih menanyakan hal yang mungkin saja bisa menjadi kunci yang bisa mengaitkannnya dengan Janis.
"Tidak ada. Semuanya normal dan berjalan kaya biasanya."
"Sudah coba lapor polisi?"
Yuke mengangguk. "Udah, tapi ya biasalah banyak hal yang perlu diurus sana-sini. Gak ada respon positif juga dari pihak kepolisian."
Sekali lagi, Raib mengangguk. Ia merapihkan sisa selebaran kertas yang sepertinya masih akan disebarkan oleh Yuke. "Terima kasih atas informasinya, semoga temanmu segera ditemukan. Sampai jumpa."
Raib lari begitu saja tanpa membiarkan Yuke untuk segera menanyakan siapakah nama pria itu.
***
"Charlotte."
Merasa terpanggil, Charlotte segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Janis yang dipapah oleh Elen diambang pintu kamarnya. "Ada apa Janis? Ada yang kau butuhkan?"
Janis menggeleng, lantas melirik Elen sekilas sebelum melanjutkan rencana permintaan maafnya pada si sulung. "Maaf."
"Maaf untuk?"
"Maaf karena selalu merepotkanmu, apalagi dengan apa yang baru saja aku lakukan kepadamu sore tadi. Aku benar-benar ingin mengucapkan maaf setulus hati."
Charlotte memegang bahu Janis dengan erat. "Apa yang kau bicarakan? Tak perlu meminta maaf. Apapun akan kulakukan selama kau baik-baik saja dan tetap tinggal bersama keluarga ini, menemaniku, menemani Elen juga Elea..,"
"Bukankah sudah pernah ku katakan, kau akan tetap jadi bagian dari keluarga ini apapun yang terjadi, Janis."
Sungguh, ketika berhadapan dengan Charlotte tak ada yang bisa Janis rasakan selain ketulusan dan kesungguhan ya g kuat terpancar dari wanita tangguh itu dalam menjaga adik-adiknya termasuk Janis.
"Terima kasih Charlotte, sudah mau selalu menerimaku dengan tangan terbuka apa adanya. Namun maaf kali ini aku tak bisa mendengarkanmu, aku harus kembali ke Valarion untuk memastikan sesuatu yang sangat amat penting. Aku berjanji kembali dari kota itu, aku akan menceritakan semuanya kepadamu, tentang apa yang sebenarnya terjadi padaku tanpa terkecuali."
Dengan keputusan awal Charlotte yang sama sekali tak mengizinkan Janis pergi, tentu wanita itu secara terang-terangan menatap Elen, berharap sang adik mau membantunya melarang Janis untuk pergi kemanapun ditengah kesehatannya yang memburuk. Namun sayang, saat ini Elen sudah berada di pihak Janis. Pria itu tersenyum, meyakinkan Charlotte bahwa ia akan pergi menemani Janis dan menjaga gadis itu apapun yang terjadi.
"Baiklah, aku kalah. Tak ada siapapun yang berada di pihak ku kali ini."
Dengan bibir setengah pucatnya Janis tersenyum. "Terima kasih, Charlotte."
"Kembalilah dengan selamat jika tidak ingin aku murka."
Janis mengangguk lantas segera berkemas untuk pergi dibantu oleh Elea serta madam Elis dan segera berangkat dengan mobil yang Paman Sam pinjamkan kepada Elen.
Selama perjalanan tak ada yang membuka suara. Janis sibuk dengan pikiran yang tengah melalang buana dengan sebuah kata 'seandainya'. Seandainya benar itu adalah Bagas, maka Janis bingung apakah ia harus bahagia? Atau justru bingung karena ayahnya bisa datang ke dunia yang penuh teka-teki ini. Seandainya jika pria itu bukanlah Bagas, siapkah ia menelan pil kecewa yang ia ciptakan seorang diri? Sebab rasanya Janis lebih bisa menerima alasan mengapa Bagas bisa berada di dunia paralel ini dibanding kenyataan bahwa kemanapun ia pergi tak akan ia temukan Bagas sebagai seorang ayahnya.
Lamunan Janis buyar begitu saja, ketika Elen tak sengaja menginjak pedal rem secara mendadak guna menghindari lubang yang berisikan salju selama tiga puluh senti meter.
"Maaf," aju Elen sambil menatap Janis, memastikan gadis disampingnya bail-baik saja.
"Gue gak apa-apa. Lo, hati-hati nyetirnya."
Elen mengangguk lalu kembali menjalankan mobilnya pelan.
"Gak ada yang mau lo tanyain tentang gue? Tentang siapa sebenarnya gue dan kenapa gue bisa sampai nyasar di dunia ini?"
Setelah pengakuannya beberapa jam yang lalu, Elen sama sekali tak mengajukan pertanyaan yang normalnya dilontarkan ketika ia penasaran atas insiden atau momen yang terjadi. Namun Elen tidak, pria itu hanya diam dan bersikap seperti biasa layaknya tak terjadi apapun.
"Aku tidak akan bertanya jika kau tidak bisa memberikanku jawaban atas pertanyaan yang aku berikan."
"Yaudah, gue aja yang tanya..,"
"Seberapa besar rasa cinta lo buat Janis?"
Elen diam beberapa saat, memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan acak Janis. "Bukankah kau yang paling tau dan kau pun harusnya bisa merasakan seberapa besar cintaku padamu."
"Gue mana bisa rasain. Janis tuh yang bisa."
"Kau juga, Janisa."
Janis menghela nafasnya pelan. Betul juga sih, ia juga Janis. Namun tetap ia tidak bisa benar-benar merasakan seberapa besar cinta yang Elen bosa berikan untuk Janis yang sesungguhnya.
Kapok dengan jawaban Elen yang tak memuaskan, Janis memutuskan untuk tidak lagi bertanya. Ia lebih memilih melihat butiran salju yang jatuh ke tanah dibalik kaca mobilnya hingga setelah melakukan waktu beberapa jam di perjalanan, mereka pun sampai kembali di Kota Valarion, lebih tepatnya kini mereka berada di pasar kota tersebut.
Janis mengajak Elen untuk ikut mencari sebuah toko baju yang tempo lalu tak sengaja ia lihat. Toko tersebut ada, namun tampaknya hari ini tidak ada tanda-tanda gerainya dibuka. Ketika langit mulai gelap, mereka memutuskan untuk bermalam dan berencana akan datang kembali esok hari.
Namun keesokan harinya pun tetap sama, tak ada tanda-tanda toko itu akan dibuka bahkan sampai hari ketiga, keempat dan kelima. Yang lebih sial adalah, setelah Janis dan Elen mengorek informasi seputar toko tersebut, tak ada satupun yang tau mengenai siapa pemilik atau setidaknya penjaga toki tersebut. Toko tersebut tampak minim informasi, selain satu-satunya informasi yang Janis bisa ketahui adalah bahwa toko tersebut pasti akan buka jika seorang Ratu datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat
FantasiBanyak hal yang berubah dalam hidup Janis setelah kematian sang ibu. Hidupnya yang semula bak putri kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ayahnya menghilang tanpa jejak sebagai buronan negara, ia pu...