"Selamat datang kembali di rumah ini, Janisa." Seorang wanita dewasa menyambut Janis dan Elea diikuti oleh seorang pria jangkung yang tampak seumuran dengan Janis. Pria itu melihat Janis dengan wajah yang sangat amat datar namun tatapan matanya begitu menghunus, menyiratkan sesuatu yang tidak Janis ketahui apa artinya dan tentunya berhasil membuat gadis itu semakin merasa tidak nyaman di tempat asing ini.
Tuhan, aku ingin pulang!
"Charlotte, biarkan Ka Janis masuk. Dia pasti kelelahan."
"Ah ya, maaf Janis. Aku sangat senang kamu kembali ke rumah ini."
Janis mengekori wanita dewasa bernama Charlotte itu bersama Eleanor. Matanya menelisik setiap sudut ruangan yang benar-benar mirip dengan rumah asli neneknya di kampung halaman sang ayah. Setiap dinding dipenuhi oleh figura berisi foto yang Janis yakini adalah foto Eleanor bersama keluarganya, jika dilihat dari banyaknya wajah Eleanor, Charlotte dan laki-laki dingin itu dari kecil, remaja hingga beranjak dewasa.
Karena terlalu fokus melihat-lihat, Janis sampai tak menyadari bahwa Charlotte menuntunnya menuju lantai dua. Baru menginjak anak tangga pertama, Janis sudah tersandung dan hampir saja terjatuh akibat tak memperhatikan langkah. Dengan sigap, pria jangkung yang tak ia ketahui namanya itu menahan Janis, melingkarkan tangannya dipinggang ramping gadis itu.
"Kau, masih saja ceroboh. Perhatikan langkahmu!"
Dada Janisa berdebar, antara terkejut karena hampir saja terjatuh atau karena peringatan yang dibisikan pria yang tak Janis ketahui namanya itu tepat di telinga kiri Janis. Bulu kuduknya bahkan meremang begitu mendengar suara berat bariton tersebut. Ritme debar jantungnya semakin tak karuan ketika menyadari jarak keduanya begitu dekat, ia bahkan bisa merasakan helaan nafas hangat yang menyapu permukaan leher jenjang Janis.
"Ah, aku minta maaf," ucap Janis canggung sambil buru-buru menegakkan kembali tubuhnya. Charlotte dan Elea yang menjadi saksi atas kejadian itu diam-diam mengulum senyum, rasanya sudah lama sekali mereka tidak melihat Elenio-laki-laki satu-satunya dalam keluarga ini mengekspresikan perasaannya sejak Janis tiba-tiba menghilang dari rumah.
"Biar aku yang mengantar Janisa ke kamar," tutur Elenio tanpa ingin dibantah. Pemilik nama kecil Elen itu menautkan jarinya pada jari mungil Janis, mencoba menyalurkan kehangatan agar gadis itu merasa aman bersamanya. Sejak pertama kali melihatnya, Elen dapat melihat raut wajah tak nyaman di wajah Janis.
Langkah keduanya terhenti di depan sebuah pintu berwarna cokelat yang banyak ditempeli stiker moomin, salah satu tokoh utama dalam komik Finlandia. Janisa sangat menyukai kartun yang satu ini. Apalagi salah satu kenangan terbaiknya bersama Bagas adalah ketika Janis selalu meminta kepada sang ayah untuk dibelikan koleksi merchandise moomin hingga yang paling terbaru saat beliau bepergian ke luar negeri dan hebatnya semua itu selalu dituruti demi sang putri. Janis bahkan memiliki lemari khusus untuk menyimpan mainan dan oleh-oleh berbau moomin yang selalu ayah ya berikan dari berbagai belahan dunia. Wah sungguh kenangan lekat yang manis.
Tangkai pintu diputar dan pintu kamar pun terbuka. Memperlihatkan isi ruangan yang tampak rapih dengan warna putih gading minimalis. Wangi bunga camelia juga langsung menyambut dan memanjakkan indra penciuman Janis ketika memasuki ruangan yang katanya adalah kamar pribadi miliknya. Tak begitu banyak barang, hanya ada satu ranjang king size, dua lemari dan satu nakas kaca kecil yang terdapat banyak sekali lilin aromaterapi di dalamnya.
"Istirahatlah. Aku akan panggilkan madam Elis agar beliau segera menyiapkan kebutuhanmu."
Janis mengangguk menuruti perintah Elen, walau kini otak mungilnya bertanya-bertanya siapa madam Elis? Dan masih berapa banyak orang asing yang perlu dia temui di rumah ini?
"Kamu tidak apa jika ku tinggal sendiri?" tanya Elen memastikan. Ia melirik tangan kirinya yang masih berada dalam genggaman Janis. Sepertinya gadis itu tidak sadar, Elen pun tak ada niatan untuk memberitahu bahwa tangan mereka masih bertaut.
Mengetahui kemana pandangan Elen menuju, dengan sedikit canggung Janis segera menyuar genggaman mereka. "Ya, I'm okay."
"Baiklah, aku akan keluar. Selamat istirahat, Janisa," ucap Elen dengan nada yang sangat amat lembut sebelum akhirnya punggung pria itu menghilang dari balik pintu.
***
Katanya setiap manusia pasti pernah atau akan merasakan setidaknya sekali titik paling rendah dalam hidupnya masing-masing. Dan bagi Elen, titik terendah itu adalah saat mengetahui masa lalu gadis yang sangat ia cintai hingga berakhir dengan kehilangan sosok tersebut. Elen sudah terbiasa dengan kehilangan, orang tuanya meninggal sejak Elen kecil. Disaat bocah berumur dua tahun itu belum mengerti apapun tentang dunia. Ia sudah terbiasa hidup tanpa kasih sayang orang tua. Charlotte lah yang selalu menjaga Elen dan menggantikan peran kedua orang tuanya hingga Elen tidak merasa kurang sedikitpun. Kendati begitu, walau sudah terbiasa dengan kehilangan, hilang tetaplah hilang, ada ruang hampa yang tertinggal dalam sudut hatinya setiap kali ia kehilangan orang terdekatnya.
"Janis, tampak seperti orang yang berbeda, ya?" Lamunan Elen buyar ketika sang kakak memasuki ruang baca di sudut rumah, tempat yang selalu menjadi spot favorit Elenio Maverick.
"Biasakan ketuk pintu dulu, Charlotte."
Charlotte terkekeh kecil. Ia menghampiri Elen yang sedang menatap ke luar jendela, melihat daun di musim gugur yang dengan pasrah menjatuhkan dirinya ke tanah.
"Kau baik-baik saja, Elen?"
Charlotte meletakan secangkir teh hangat di atas meja kerja Elen, membiarkan asapnya mengepul di udara. "Maksudku setelah Janisa kembali dan melihat apa yang sudah terjadi diantara kalian, apakah kau baik-baik saja."
"Aku akan baik-baik saja selama Janis berada disisiku." Tak ada keraguan sedikitpun yang keluar dari mulut Elen, sebab baginya Janis seperti kafein yang mempengaruhi stimulasi seluruh pikirannya. Dalam beberapa kesempatan, Janis bahkan dapat berubah menjadi morfin yang sangat Elen butuhkan walau pria itu tau bahwa hal tersebut membahayakan.
Secara tidak langsung, Elen menegaskan bahwa apapun hal yang terjadi diantara Janis dan dirinya, semua baik dan buruknya akan Elen hadapi selama Janis tidak menghilang dari pandangan. Sebagai seorang kakak, tentu Charlotte sangat menghargai itu, jika Elen bahagia maka ia pun bahagia. Hanya saja ketika memutar kembali peristiwa apa yang sudah terjadi diantara mereka, Charlotte lebih mengkhawatirkan keadaan Elen dari biasanya.
"Kau tau Elen, aku akan selalu menghargai setiap keputusan yang kau ambil dalam hidupmu jika itu membuat dirimu bahagia. Namun satu hal yang harus kamu ingat, beberapa hal dalam hidup ini tidak bisa kau paksakan sesuai kehendakmu. Lepaskan jika memang perlu dilepas, sebab sesekali kau pun perlu melepas dasi yang mencekik agar tetap bisa bernafas," ucap Charlotte lalu berbalik meninggalkan ruangan. Membiarkan Elenio menikmati kesendiriannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat
FantasyBanyak hal yang berubah dalam hidup Janis setelah kematian sang ibu. Hidupnya yang semula bak putri kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ayahnya menghilang tanpa jejak sebagai buronan negara, ia pu...