"Besok Raja Oliver meminta kita untuk datang kembali ke Valorian."
"Ada apa?"
"Ia ingin kita melanjutkan tugas yang sebelumnya tertunda, melukis wajah istrinya untuk kado pernikahan mereka."
Elen melirik Janis yang kini tengah menatapnya juga, bibir gadis itu bergerak tanpa suara namun dapat Elen menangkap apa kalimat yang keluar dari mulutnya. "Ada apa?" Itulah kira-kira yang Janis tanyakan kepada Elen.
"Di awal musim dingin ini, paman?"
"Maka dari itu, karena sudah memasuki musim dingin Raja Oliver meminta kita untuk datang secepatnya agar tidak mengganggu waktu libur kami."
"Baiklah paman, terima kasih atas informasinya. Aku akan menemui mu esok pagi."
Sambungan telepon yang dilakukan Elen dan Paman Sam terputus.
"Maaf Janis, sepertinya aku tidak bisa menemanimu bermain ski besok."
Janis reflek mengerucutkan bibirnya.
Usai melakukan doa bersama dan ditutup dengan acara makan malam, tinggalah Elen dan Janis di ruang tengah. Keduanya menghabiskan sisa malam dengan berbincang satu sama lain. Hingga sampailah pada pembahasan dimana Elen berjanji akan menemani Janis bermain ski beberapa hari ke depan selama musim dingin untuk mengusir rasa bosan gadis itu. Namun sepertinya janji itu belum bisa terlaksana dalam waktu dekat, mengingat Elen baru saja dihubungi oleh Paman Sam untuk kembali ke Valarion, melakukan tugasnya yang sempat tertunda karena insiden tidak terduga.
"Baiklah Elen, aku tidak apa-apa. Kita bisa melakukannya dilain waktu."
"Tapi wajahmu tidak berkata demikian, nona."
Janis menggaruk dahinya yang tak gatal. Jujur saja, ia kecewa. Ia benar-benar sangat bosan berada di dalam rumah ini tanpa melakukan apapun.
"Elen."
"Ya?"
"Jika aku ikut denganmu ke Valarion, apa boleh?"
Sebenarnya tak perlu berpikir dua kali untuk mengatakan iya pada apa yang baru saja Janis pinta. Hanya saja, ingatan Elen langsung terlempar jauh pada pertemuannya dan Raib tempo lalu yang tak disengaja. Ia khawatir Janis dan Raib akan bertemu tanpa sengaja di kota itu.
"Jika tidak boleh tidak apa-apa Elen. Aku bisa menunggumu kembali."
Namun melihat wajah iba Janisa, Elen tidak tega. Ia menghela nafas pelan sebelum memutuskan keputusan yang cukup berat untuknya pribadi. "Baiklah, kau bisa ikut denganku besok. Aku akan bilang pada Paman Sam nanti..,"
"Sekarang istirahatlah, perjalanan menuju Valarion besok akan lebih panjang karena salju turun begitu lebat."
Janis mengangguk lalu dengan patuh mengikuti perintah Elenio untuk segera beristirahat. Sedangkan Elen masih mencoba meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak khawatir atas ketidaksengajaan yang mungkin saja bisa terjadi antara Janisa dan Raib.
***
Salju berjatuhan dengan konsistensi yang cukup rapat. Jelas mengganggu beberapa aktivitas namun tidak sampai merugikan. Pagi ini para pelayan istana tengah menyiapan jamuan untuk menyambut tamu spesial yang tak lain dan tak bukan adalah Samuel—si pelukis ajaib dari Sourbridge bersama asisten pribadinya yaitu Elen.
"Kau ingin pergi kemana nyonya?" Seorang maid terlihat khawatir melihat sang majikan perempuan keluar dari kamarnya dengan mantel tebal, pakaian yanh dibutuhkan untuk bepergian ke luar ruangan.
"Aku hanya hendak keluar sebentar, mengambil gaun ku..,"
"Tidak jauh, hanya di pasar kota."
Maid itu menghampiri, berusaha menahan kepergian sang ratu yang terasa mencurigakan. "Kau bisa menunggunya di istana, nyonya. Biar aku yang akan menjemput gaunmu disana. Lagipula cuaca diluar tidak bisa diprediksi, bagaimana jika tiba-tiba terjadi badai ekstrem?"
"Tidak, aku yang akan mengambilnya sendiri. Aku perlu mencoba gaun itu secara langsung karena gaun itulah yang akan ku gunakan untuk acara pada hari ini..,"
"Percaya padaku, aku tidak akan melalukan hal-hal yang akan membuatmu susah hari ini."
Maid itu diam, tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa kepada para dewa agar Ratu Elisa tidak melakukan hal-hal yang dapat membuat Raja Oliver murka, sebab perempuan itu memang dapat dipercaya namun ia tidak terduga.
Tak hanya para pelayan di istana yang tengah sibuk, Elen pun yang biasanya pendiam kini sibuk memberikan kalimat pa ja g berupa hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama Elen tidak disisinha, juga peringatan-peringatan kepada Janis, berharap gadis itu mau mendengar ucapannya.
"Kau dengar, Janis?"
"Kau sudah mengatakan hal itu sebanyak tiga kali, Elenio Maverick."
Paman Sam yang berada ditengah-tengah keduanya hanya bisa tertawa.
Janis memang diizinkan untuk ikut pergi ke Kota Valarion bersama Elenio dan Paman Sam, namun sayangnya gadis itu tidak bisa masuk ke kawasan istana mengingat Janis termasuk salah satu orang yang tidak berkepentingan jika dilihat dari aturan kerajaan. Maka dari itu selama Elen dan Paman Sam bertugas, Janis akan pergi mengelilingi kota Valarion bersama supir yang membawa mereka saat ini.
Setelah menempuh waktu yang cukup lama, akhirnya kendaraan yang mereka tumpangi tiba di pelataran istana. Janis tercengang melihat bangunan megah dan mewah itu dengan mata kepalanya langsung. Walaupun rumahnya di bumi juga tak kalah besar bak istana, namun seumur hidupnya ia benar-benar belum pernah melihat istana sungguhan.
"Woah, indah sekali."
"Istana milik ayahmu dulu jauh lebih indah dari ini."
"Benarkah?"
Elen mengangguk, menatap manik mata Janis yang tampak bersinar. "Aku masuk dulu, kau berhati-hatilah. Selalu eratkan mantelmu, Janis."
Kini giliran Janis yang mengangguk, menatap punggung Elen dan Paman Sam yang mulai menjauh.
"Pak, tolong antar saya ke pasar di pusat kota, ya."
Selama menunggu Elenio dengan pekerjaannya, Janis bertekat untuk pergi ke pasar yang berada di pusat kota Valarion, pasar yang beberapa waktu lalu Elen kunjungi.
Sehari setelah kunjungan pertama Elen di kota ini, Elea marah karena pria itu tak membelikan sesuatu yang dijanjikan sendiri oleh Elen. Sebuah kue apel yang sudah lama Elea idam-idamkan. Maka dengan inisiatif Janis akan mencarikan kue apel itu hari ini.
Walau musim dingin tiba, para pedagang di kota Valarion tidak menyurutkan semangat dagang mereka. Dilihat dari banyaknya kios yang tetap buka walau mungkin pembeli tidak seramai biasanya. Janis mengangkat syal yang melilit di lehernya sebatas hidung, lalu menilik satu demi satu toko yang ia lewati. Sungguh pemandangan yang menyegarkan mata.
"Akh." Dari arah belakang, seseorang entah disengaja atau tidak menabrak bahu Janisa, untung saja ia tidak teejatuh di tumpukan salju yang menggunung.
"Maaf nona, aku tidak sengaja."
"Ah ya, aku tidak ap—"
Janis tercengang dengan apa yang baru saja ia lihat. Walau hanya sekilas namun ia dengan jelas melihat wajah Bagas—wujud ayahnya yang lain muncul dihadapannya hari ini. Rasanya kini Janis benar-benar percaya dengan adanya dunia paralel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat
FantasíaBanyak hal yang berubah dalam hidup Janis setelah kematian sang ibu. Hidupnya yang semula bak putri kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ayahnya menghilang tanpa jejak sebagai buronan negara, ia pu...