Satu hari sebelum Janis menghilang
"Apa yang ingin kau lakukan, Raib?"
"Malam ini aku hanya akan memberikan sedikit pelajaran untuk para badebah yang sudah menyakiti Raja Niel dan Ratu Alice."
"Aku ikut!" Seru Janis.
Raib tentu terkejut, memberikan sedikit pelajaran yang ia maksud sepertinya tidak cocok atau lebih baik tidak boleh diketahui oleh Janis apa maksudnya. "Kita tidak akan pulang malam ini, Janis. Sebaiknya kau kembali, biar aku yang memberikan pelajaran kepada para pengkhianat itu."
"Aku ingin ikut, Raib. Aku ingin memberikan pelajaran secara langsung kepada mereka yang ikut andil dalam insiden tewasnya kedua orang tuaku. Bahkan jika harus membunuh mereka sekalipun aku tidak peduli. Darah dibalas dengan darah, maka nyawa pun harus dibalas dengan nyawa."
Tidak seperti biasanya, hari ini Janis tampak menggebu-gebu. Jika mengingat tentang kematian orang tuanya memang selalu berhasil membuat emosi Janis mendidih. Setelah mendapat persetujuan dari Raib, Janis dengan segera pulang ke rumah untuk mengemas beberapa barang-barangnya, persiapan untuk petualang kelananya bersama Raib.
"Kau ingin pergi kemana, Janis? Selarut ini?" Charlotte yang tak sengaja melihat Janis sedang berkemas pun bertanya. Tak biasanya gadis itu merapihkan bajunya di almari.
"Aku ingin keluar, dari rumah ini."
Charlotte menghampiri Janis. "Apa yang kau katakan?"
"Aku ingin keluar Charlotte, dari rumah ini."
Charlotte menatap Janis bingung, gadis itu terus memasukan beberapa pakaian dan barangnya ke dalam ransel.
"Ada apa Janis? Kenapa kau tiba-tiba menjadi seperti ini."
Janis menatap Charlotte sebentar. "Kau pembohong. Katamu ayah dan ibuku sudah meninggal, namun kenyataannya tidak Charlotte. Ibuku masih hidup. Kau memisahkan diriku dengan ibuku."
"Siapa yang mengatakan ibumu telah tiada? Ia ada, kekal dalam hatimu."
"Omong kosong. Ibuku benar-benar masih hidup Charlotte, kau tidak bisa menipuku lagi." Janis berjalan keluar kamar yang tentunya akan diikuti oleh Charlotte.
"Aku tidak berbohong. Demi Tuhan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa Ratu Alice dan Raja Niel dimasukan ke dalam satu liang lahat yang sama."
"Apakah ada bukti yang bisa ku lihat? Elen atau siapapun itu yang bisa memastikan bahwa itu adalah benar-benar orang tuaku?"
Charlotte terdiam. Karena memang pada kenyataannya tidak ada siapapun yang melihat wajah mengenaskan Raja Niel dan Ratu Alice untuk yang terakhir kalinya.
"Tidak ada, kan? Kau tidak bisa membuktikan apapun kepadaku."
Janis melanjutkan langkahnya hingga tak sengaja bertemu dengan Elen di ruang tengah. "Ada apa, Janisa?"
"Kau sama seperti kakamu. Seorang pembohong."
"Apa yang kau bicarakan?"
Belum sempat Janis menjawab, Raib yang entah bagaimana caranya dapat memasuki rumah tersebut kini sudah berdiri di hadapan Janis, Elenio dan Charlotte yang mencoba untuk menahan Janis.
"Elen, maafkan aku. Sebenarnya selama ini aku tidak pernah mencintaimu, aku hanya mencintai Raib. Pria inilah yang aku cintai, maka ku kembalikan cincin pemberian darimu ini."
Bagai tersambar petir di siang bolong, Elen tentu terkejut. Gadis itu ingin mengakhiri hubungan mereka tanpa alasan?
"Aku harus pergi, di atas kebohongan apa yang telah kalian berikan kepadaku, aku akan tetap mengucapkan terima kasih karena sudah mau merawatku dengan tulus."
Belum sempat Charlotte dan Elen menjawab, Janis dengan tergesa pergi meninggalkan rumah itu bersama Raib. Laki-laki yang baru dikenalnya beberapa waktu belakangan ini.
Malam itu, setelah memutuskan untuk pergi bersama Raib, untuk pertama kali dalam hidupnya Janis melakukan hal kriminal. Ia membantu Raib menculik seorang pria yang menjadi tangan kanan Oliver, orang yang telah membunuh kedua orang tuanya dalam insiden pengkhianatan terbesar yang pernah ada sepanjang sejarah. Mereka menculik Arga—pria itu menggunakan sedikit kekerasan.
Raib menghajar pria itu hingga pingsan dan memasukannya ke dalam koper. Setelah itu mereka menaiki kereta dengan santai seolah tidak ada yang terjadi.
"Lalu kita akan pergi kemana? Raib?"
"Kita akan pergi ke dunia yang belum pernah kau kunjungi sebelumnya. Apakah kau siap?"
Janis mengangguk.
Tak butuh waktu lama untuk melintasi waktu dan ruang dimensi lain, Janis dan Raib akhirnya sampai di kota bernama Jakarta.
Raib adalah seorang penjelajah waktu abadi, ia dapat pergi kemanapun sejak kecil karena diwariskan kunci utama untuk membuka portal dua dunia.
"Kita sudah sampai."
"Janis memandang pemandangan disekitarnya takjub. Banyak sekali gedung-gedung tinggi yang dihiasi oleh lampu dengan berbagai macam warna, membentuk citylight yang tak akan bisa ditemui di tempatnya berada.
"Bisakah kau menungguku disini? Aku akan mengurus beberapa hal lebih dulu."
Janis mengangguk mengerti. Ia menunggu Raib di tempat yang tak ia ketahui namanya. Karena terlalu fokus melihat-lihat sekitar, Janis baru menyadari bahwa Arga sudah sadar dan berhasil melarikan diri dari koper sempit itu. Janis kepalang panik, ia segera memberitahu Raib dan mereka memutuskan untuk mengejar Arga menggunakan mobil yang memang sudah Raib pesan. Arga tidak boleh hilang begitu saja, ia harus mendapat hukuman yang setimpal atas apa yang pernah ia buat. Maka dari itu mereka harus menemukan Arga secepat mungkin dan melakukan misi sesuai tujuan awal mereka.
"Itu dia!"
Mobil yang dikendarai Janis dan Raib memempercepat laju, mengejar Arga yang entah bagaimana caranya pergi menggunakan mobil yang entah darimana pria itu bisa dapatkan.
Janis sempat melirik Raib sekilas ketika mobil yang mereka tumpangi semakin cepat. "Berhati-hatilah Raib kit—"
Belum sempat Janis menyelesaikan ucapannya, mobil yang dikendarai sandra mereka yang kabur itu mendadak berhenti, menabrak sebuah mobil yang berada jauh di depannya. Mobil yang Janis dan Raib kendarai pun turut menambah daftar jumlah mobil yang dicatat sebagai kecelakaan beruntun.
Malam itu, Janis dan Raib terluka sedangkan Arga tewas. Tak hanya Arga, seorang wanita tak bersalah yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya ikut menjadi korban hingga tewas bersama supir yang berada di dalamnya. Pada insiden itu tak ada yant Raib pedulikan selain keselamatan Janis, ia segera membawa Janis sebelum lokasi kejadian ramai dikerumuni warga.
"Kau tidak apa, Janis?"
Janis menggeleng. Tentu ia sedang kenapa-napa. Ia memuntahkan cairan berisi darah sebanyak dua kali. Raib semakin khawatir, ia terlalu takut terjadi sesuatu pada Janis hingga tak menyadari bahwa korban tak bersalah yang ikut tewas dalam insiden ini adalah Sonia, ibu dari Janisa El Gauri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat
FantasyBanyak hal yang berubah dalam hidup Janis setelah kematian sang ibu. Hidupnya yang semula bak putri kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ayahnya menghilang tanpa jejak sebagai buronan negara, ia pu...