Kicauan burung kenari di pekarangan rumah megah milik keluarga Gauri berhasil mengusik mimpi indah Janisa. Ia reflek menyipitkan mata ketika sinar matahari berhasil menerobos masuk kedalam kamarnya. Pagi ini ia terbangun dengan kondisi setengah kacau. Kepalanya terasa sangat amat berat, rasanya seperti habis bertarung dan mendapatkan serangan straight dari seorang petinju andal.
Beberapa album foto terlihat berserakan di atas kasur. Tadi malam, Janis menghabiskan waktunya dengan menjelajah masa lalu melalui album foto keluarga yang sudah lama tersimpan di dalam lemari. Andai kalian dapat melihat betapa mengerikannya wajah Janis saat ini, itu semua ia dapatkan karena menangisi semua moment hangat yang tergambar dalam setiap lembar foto tersebut hingga pukul satu dini hari.
Hari ini Janis berencana mengunjungi makam Sonia, untuk mengobati rindu pada sang ibu setelah dua bulan belakangan ini sibuk dengan segala macam urusannya. Walau sedikit pening, namun Janis segera beranjak dari kasurnya tanpa membuang waktu dan segera bersiap-siap.
Hal pertama yang hendak ia lakukan adalah memasak dan sarapan, mengingat semalam ia melewatkan jam makan malam yang mengakibatkan cacing-cacing diperutnya berdemo meminta untuk segera di isi pagi ini. Kaki mungil Janis melangkah menuruni anak tangga, dari atas ia bisa melihat betapa kosongnya rumah megah ini, baik penghuni ataupun barang nyaris tidak ada satupun yang tersisa. Rumah ini adalah aset satu-satunya yang Bagas tinggalkan untuk Janis. Salah satu hal yang membuat Janis bersyukur adalah ia masih bisa menempati rumah dan seluruh kenangan di dalamnya, walaupun sebagian barang-barang di rumah ini sudah nyaris habis terjual.
"Berita terkini. Jasad seorang pria tanpa kepala dan tangan ditemukan di kawasan wisata Angke. Identitas korban belum teridentifikasi, namun polisi menduga usia korban berada dalam rentang usia dua puluh sampai empat puluh tahun. Saat ini jasad korban berada di salah satu rumah sakit di Cengkareng untuk menjalani serangkaian proses autopsi..,"
"Polisi masih menyelidiki lebih lanjut apakah kasus ini mengarah kepada kasus pembunuhan khususnya kasus pembunuhan berantai, mengingat empat hari lalu ditemukan dua jasad tanpa identitas dengan pola yang sama dan sampai saat ini belum ada keterangan lebih lanjut mengenai hasil autopsi."
Janis bergidik ngeri saat mendengar berita terbaru dari siaran langsung yang sedang ia simak di telepon selulernya ketika sedang memasak sarapannya. Kawasan wisata Angke adalah salah satu fasilitas umum yang paling ramai dikunjungi di sekitar perumahannya. Membayangkan bagaimana mayat ditemukan di tempat yang selalu ramai setiap harinya, membuktikan bahwa pelakunya sangat berani dengan segala resiko yang akan terjadi. Akhir-akhir ini memang sedang marak kasus penemuan mayat disekitar lingkungan Janis, walaupun korban yang ditemukan sejauh ini selalu laki-laki namun tetap saja Janis was-was, apalagi ini terjadi disekitar lingkungannya. Ditambah indikasi bahwa kasus tersebut bisa saja adalah bagian rangkaian kasus pembunuhan berantai semakin menambah radar mawas diri pada Janis.
Tak heran jika dunia bukan lagi menjadi tempat tinggal yang aman. Melihat bagaimana manusia seringkali hilang kendali dan mendatangkan malapetaka entah untuk dirinya sendiri atau orang disekitarnya, cukup untuk meyakinkan bahwa manusia adalah makhluk paling menakutkan di dunia ini.
***
"Loh, neng Janis?"
"Eh, Pak Subur. Gimana kabarnya? Sehat?"
"Puji syukur sehat. Neng Janis kemana aja baru kelihatan lagi?"
"Ada, Pak saya gak kemana-mana. Belakangan ini memang lagi cukup sibuk, jadi belum sempat jengkuin ibu."
Sejak Sonia meninggal dunia, Janis memang selalu mengunjungi maka ibunya setidaknya satu minggu sekali. Wajar jika pak Subur—salah satu pengurus makam disana menyadari ketidakhadiran Janis dalam kurun waktu dua bulan terakhir.
Janis mengernyit heran ketika melihat seikat bunga Aster putih di atas gundukan makam Sonia. Bunganya masih tampak baru, sepertinya belum lama ini ada yang mengunjungi makam Sonia selain sang putri.
"Pak Subur, ada yang datang ke makam ibu ya selain saya?"
Pak Subur yang kebetulan sedang merapihkan makam yang berada tepat disamping makam Sonia bepikir sejenak. "Oh iya neng, kalau bapak gak salah ingat empat hari yang lalu adiknya ibu datang kesini. Dia bawain ibu bunga itu," kata Pak Subur sambil menunjuk bunga yang dimaksud.
Sedangkan Janis kebingungan, adiknya Sonia? Adik darimana? Sonia adalah putri bungsu dari dua bersaudara dan satu-satunya kakak Sonia kini menetap di Singapura bersama keluarga kecilnya.
"Adiknya ibu?"
"Iya, neng. Waktu itu bapak lihat ada yang datang kesini, laki-laki dan umurnya gak beda jauh sama neng Janis. Wajahnya asing banget, bapak belum pernah liat dia mampir. Pas Bapak tanya, katanya beliau adiknya almarhumah ibu Sonia."
Ia diam sejenak, berusaha menebak siapa sosok yang Pak Subur maksud. Namun ratusan kali pun Janis mencoba berpikir, semua akan sia-sia karena tak ada satupun orang yang melintas di benaknya. Setelah Sonia meninggal dan ayahnya terjerat kasus, tak ada satupun orang baik keluarga ataupun kerabat yang ingin terlibat dengan Janis. Jangankan untuk sekadar menyapa atau menanyakan kehidupan sebatang karanya, semuanya menjauh dan mendadak lupa dengan apa yang pernah diberikan oleh kedua orang tuanya.
"Ya udah, terima kasih banyak ya Pak informasinya."
Ah, masa bodo dengan rasa penasarannya, yang terpenting orang misterius itu tidak macam-macam dan beprilaku aneh di tempat peristirahatan Sonia. Janis mulai menabur kelopak bunga mawar dan krisan di atas gundukan tanah hingga ujung batu nisan. Sepeninggal Pak Subur yang merapihkan makam lain, Janis mulai bercerita banyak hal. Menceritakan bagaimana betapa sulitnya hidup sebagai putri dari seorang Bagaskara Gauri, terlebih dua bulan belakangan ini, putri kecilnya pontang-panting hanya demi sepeser uang. Janis pernah hidup serba berkecukupan, kehilangan materi dalam sekejap tentu tidak mudah namun kehilangan orang-orang yang selalu berada di sisi Janis jauh lebih sulit. Bahkan setelah dua tahun berlalu, Janis masih belum terbiasa dan urung menerima apa yang terjadi dalam hidupnya.
Suasana hatinya mendung seiring gelapnya langit Jakarta. Belum puas melepas rindu dengan Sonia namun rintik hujan memaksa Janis untuk segera mengangkat kaki dan beranjak pulang. Walau berat, Janis tau dirinya adalah gadis yang kuat. Seberat apapun masalahnya tak ada cara lain untuk mundur dan menyerah dengan hidupnya. Janis artinya kemuliaan Tuhan. Bagas memberikan nama itu bukan tanpa alasan. Saat Janis kecil Sonia pernah mengatakan bahwa Bagas berharap putrinya dapat tumbuh dengan baik tanpa kurang satupun dan selalu berada dalam lindungan Tuhan. Dan Janis meyakini hal itu, ia yakin Tuhan akan selalu menyertai Janis apapun keadaannya baik suka maupun duka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat
FantasyBanyak hal yang berubah dalam hidup Janis setelah kematian sang ibu. Hidupnya yang semula bak putri kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ayahnya menghilang tanpa jejak sebagai buronan negara, ia pu...