"Permisi tuan, nyonya sudah kembali." Seorang pelayan wanita membungkuk sopan kepada Raja Oliver dengan membawa sebuah informasi yang dapat membuat Elen membuang nafas lega.
Paman Sam dan Elen dibuat menunggu sekitar tiga puluh menit lamanya untuk melakukan tugas mereka. Tanpa sepengetahuan Raja Oliver, sang ratu nekat pergi seorang diri demi sebuah gaun di pasar kota. Dengan waktu selama itu Elen tentu gelisah sebab semakin lama ia berada di istana maka semakin lama juga Janis harus menunggunya diluar sana.
"Bawa ia masuk, segera."
Elen mencuri-curi pandang kepada Raja Oliver, pria itu tampak tengah menahan amarahnya agar tidak meledak di hadapannya dan Paman Sam. Pria itu jelas kesal dengan apa yang sudah dilakukan oleh si istri.
"Selamat siang-Ratu Alice?" ucap Paman Sam yang kini sedang melihat seseorang di depan pintu masuk dengan raut wajah terkejut.
Elen akhirnya melihat sosok istri yang selama ini disembunyikan oleh Raja Oliver, ia pun sama terkejutnya dengan Paman Sam ketika melihat wanita anggun dengan gaun minimalis berwarna putih gading yang melekat ditubuhnya.
Wanita itu hanya mengangguk sambil tersenyum canggung dan langsung mengambil posisi duduk di sebuah kursi yang sudah disiapkan untuk properti.
Jantungnya berdebar begitu cepat melihat Ratu Alice, orang yang sudah lama dinyatakan meninggal dunia dalam sebuah insiden mengenaskan itu kini sedang berada dihadapannya dengan sejumput senyum di ujung bibirnya.
"Ini istriku. Kalian mungkin terkejut melihatnya, namun aku tidak ingin menjelaskan apapun sebelum deklarasi tentang pernikahanku keluar secara resmi. Jadi, aku harap tidak ada pertanyaan dari kalian dan pastikan tidak ada yang tau tentang hal ini."
Apa yang dikatakan Raja Oliver jelas memperingatkan Elen dan Paman Sam untuk tutup mulut tentang hubungan pernikahan mereka sampai waktu pengumuman tiba. Paman Sam dengan santai mengangguk dan mulai melakukan tugas utamanya, yaitu melukis potret Raja Oliver bersama sang istri.
Wanita itu tersenyum manis sambil duduk dengan Raja Oliver yang tampak merangkulnya mesra dari belakang. Elen tidak bisa bersikap tenang dan berpura-pura tidak tau seperti yang dilakukan oleh Paman Sam, sebab wanita yang berada di satu ruangan yang sama dengannya adalah Ratu Alice, seseorang yang sangat berjasa dalam kehidupan Elen sekaligus sosok ibu dari seorang Janis.
"Fokus, Elen. Kita selesaikan ini dengan cepat," bisik Paman Sam kepada Elen tanpa bisa didengar oleh siapapun. Pria tua itu jelas tau apa yang Elen rasakan, namun ada baiknya mereka menyelesaikan tugas mereka dulu sebaik mungkin dengan mengenyampingkan hal pribadi yang ada di dalamnya.
Sepanjang waktu berjalan, Elen berusaha tetap profesional walau pikirannya berkecamuk. Dari semua hal yang secara gamblang Elen pertanyakan kepada dirinya sendiri, ada satu hal yang membuat dirinya sangat amat penasaran. Mengapa Ratu Alice tidak mengenali Elenio sama sekali?
***
Bagi setiap orang, definisi rindu mungkin bisa saja berbeda-beda. Bagi Janis sendiri, rindu adalah sebuah perjalanan panjang mengurai waktu tanpa temu di ujung pilu. Tak pernah ada perasaan sepilu ini selain rindu, rindu yang perlahan-lahan menggunung tanpa sanggup Janis hitung untuk ayahnya.
Janis menyelesaikan pembayaran dengan cepat setelah mendapatkan sekotak kue apel yang Elea inginkan. Langkahnya tergesa-gesa, membelah kerumunan manusia yang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Air matanya menggenang di pelupuk mata, tanpa sadar semua ingatan tentang ia dan ayahnya berputar begitu saja dikepala seiring dengan langkahnya yang melangkah begitu cepat.
Janis sadar orang yang tadi tidak sengaja bertubrukan dengannya bukanlah sang Bagas, pria itu hanyalah seorang manusia yang hidup di dunia ini dan kebetulan pria itulah yang memiliki raga sang ayah. Namun tetap saja, Janis merasa ia perlu bertemu dengan pria itu, melihat wajahnya dengan jelas, menatapnya lekat-lekat untuk membunuh semua rindu yang telah lama membelenggu.
"Ayah, kemana sih?"
Janis menggeleng pelan. "Ah, maksud gue orang yang mirip ayah." Ia terus melangkah sambil meracau tidak jelas. Melewati puluhan toko dengan suhu dingin yang semakin meningkat.
Salju turun kian deras. Buku jari Janisa sudah memutih dan supir yang mengantarnya mungkin sudah menggerutu sebab menunggu Janis yang tak kunjung kembali. Namun egosentris Janis lebih besar daripada akal sehatnya dan Janis rasa tidak ada salahnya memberi makan ego yang selama ini ia tenggelamkan dalam-dalam.
Broadway Galleria
Janis menyipitkan matanya, dalam radius beberapa meter dan salju yang semakin deras turun, ia melihat sosok yang sedang dicari tengah menutup rolling door toko yang tampak seperti toko pakaian. Tanpa membuang banyak waktu Janis sesegera mungkin menghampiri.
Namun sayang, sepertinya lagi-lagi semesta tidak berkenan memberikan Janis lepas dengan rindunya begitu saja. Tiba-tiba saja dadanya kembali merasakan nyeri luar biasa, persis seperti beberapa waktu lalu. Dengan sekuat tenaga, Janis berusaha mengalahkan nyeri di dadanya dan memaksakan dirinya untuk terus berjalan menghampiri pria itu dengan langkah yang mulai terseok.
Namun diluar kendali Janis, nafasnya pun kian terasa berat. Janis merasa pasokan udara yang ia hirup semakin menipis hingga akhirnya ia terjatuh di atas gundukan salju. Sebelum kesadarannya habis, ia masih bisa melihat pria yang mirip Bagas itu tersenyum hangat sambil menatap langit.
"Ayah, ada Janis disini."
***
Satu jam yang lalu
Ratu Elisa menunggu dengan gelisah di depan sebuah toko baju yang sudah menjadi langganannya belakangan ini. Sudah tiga puluh menit ia menunggu namun tak ada tanda-tanda si pemilik toko akan datang untuk membuka tokonya, menandakan pemilik toko tersembut terlambat dari waktu yang sudah mereka sepakati sebelumnya. Jika begini maka ia juga pasti akan terlambat untuk kembali ke istana.
"Maaf sudah membuatmu menunggu lama, nyonya."
Tak lama setelah itu, akhirnya sang pemilik toko datang. Ia datang dengan nafas tersengal-sengal, sepertinya pria itu berlari saat menempuh perjalanannya menuju toko. Elisa hanya bisa tersenyum maklum dan mempersilahkan pria itu membuka tokonya sesegera mungkin.
"Ini gaunmu, nyonya."
Elisa meraih gaun itu dan mencobanya. Seperti biasa, long dress minimalis dengan warna putih gading itu sangat pas membalut tubuhnya, semuanya sangat pas tanpa kurang satupun. Maka dari itu, Elisa berpikir ia tak perlu berlama-lama lagi ia segera meminta sang pemilik toko untuk membungkuskan gaun itu untuknya.
Diluar sangat dingin meski ia sudah menggunakan mantel dengan sarung tangan beserta syalnya. Tangannya gemetar akibat menahan dingin cukup lama saat berada diluar ruangan.
Si pemilik toko yang melihat tangan gemetar itu pun tak luput dari rasa bersalahnya. Ia melangkah ke ruangan lain yang berada di toko itu, lantas kembali dengan membawa secangkir cokelat hangat sertas satu buah kantung yang berisi gaun milik wanita tersebut di dalamnya.
"Minumlah, sekali lagi mohon maaf atas kesalahanku hari ini. Akan ku berikan kau potongan harga untuk pesanan kau selanjutnya."
"Aku sudah tidak memiliki waktu," kata Ratu Elisa jika dilihat dari gerakan tangan yang ia ayunkan.
"Aku sangat menghargai jika kau mau meminumnya sebagai bentuk permintaan maafku."
Awalnya Ratu Elisa menolak. Ia sudah terlambat, ia bahkan sudah tak memiliki waktu untuk sekadar menyeruput minuman itu. Namun karena ia juga merasa tak enak hati, maka Ratu Elisa memutuskan untuk menetap lebih lama dan menghabiskan cokelat hangatnya sebelum pulang.
Diam-diam, pria pemilik toko itu tersenyum. Sudut hatinya bergetar hebat dan merasakan hangat yang luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat
FantasyBanyak hal yang berubah dalam hidup Janis setelah kematian sang ibu. Hidupnya yang semula bak putri kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ayahnya menghilang tanpa jejak sebagai buronan negara, ia pu...